NovelToon NovelToon
My Secret Husband

My Secret Husband

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Aliansi Pernikahan
Popularitas:16k
Nilai: 5
Nama Author: lestari sipayung

Kelanjutan dari Kurebut Suami Kakak Tiriku, kisah ini mengikuti Rei Alexander, anak angkat Adara dan Zayn, yang ternyata adalah keturunan bangsawan. Saat berusia 17 tahun, ia harus menikah dengan Hana Evangeline, gadis cantik dan ceria yang sudah ditentukan sejak kecil.

Di sekolah, mereka bertingkah seperti orang asing, tetapi di rumah, mereka harus hidup sebagai suami istri muda. Rei yang dingin dan Hana yang cerewet terus berselisih, hingga rahasia keluarga dan masa lalu mulai mengancam pernikahan mereka.

Bisakah mereka bertahan dalam pernikahan yang dimulai tanpa cinta?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

MALAM YANG MENCURIGAKAN

Suasana kamar begitu sunyi, hanya suara detak jam yang berdenting pelan di dinding, seolah menghitung detik demi detik dalam keheningan. Lampu utama sudah dimatikan, menyisakan cahaya temaram dari lampu tidur di sudut ruangan yang memancarkan siluet lembut di antara mereka.

Di atas ranjangnya, Hana berbaring membelakangi Rei, tubuhnya diam seolah sudah terlelap. Namun, kelopak matanya yang sesekali bergerak menunjukkan bahwa pikirannya masih terjaga, bergelayut pada banyak hal yang terus berputar dalam benaknya.

Di ranjang seberang, Rei juga belum bisa memejamkan mata. Ia menatap langit-langit kamar tanpa fokus, pikirannya dipenuhi tanda tanya. Ada sesuatu yang terasa janggal pada Hana akhir-akhir ini—sesuatu yang sulit ia abaikan. Gerak-geriknya berbeda, seakan ada hal yang ia sembunyikan, dan semakin hari, semakin sulit bagi Rei untuk mengabaikan perasaan itu.

Pandangan Rei perlahan beralih ke meja nakas di samping Hana. Ponsel gadis itu tergeletak begitu saja di atas permukaannya. Hana memang bukan tipe yang sering bermain ponsel sebelum tidur, tapi entah kenapa, malam ini perasaan Rei terasa lebih gelisah. Ada sesuatu yang mengusik pikirannya.

Perlahan, Rei bangkit dari tempat tidurnya, bergerak hati-hati agar tidak menimbulkan suara sekecil apa pun. Matanya tetap terpaku pada ponsel Hana yang tergeletak di atas nakas, seakan benda itu memanggilnya.

Tangannya sempat ragu di udara sebelum akhirnya mengulurkan jemarinya dan menggenggam ponsel itu. Ia bisa merasakan dinginnya permukaan layar di ujung jarinya, tetapi yang lebih dingin adalah perasaan yang tiba-tiba menyusup ke dalam hatinya.

Hana tidak pernah mengunci ponselnya—kebiasaan yang jarang ditemui di zaman sekarang. Rei selalu menganggapnya sebagai hal yang sepele, tetapi malam ini, kebiasaan itu justru membuatnya semakin penasaran.

Dengan sedikit ragu, ia mengusap layar dan membukanya. Matanya dengan cepat menyapu tampilan awal, mencari sesuatu yang bisa menjawab kegelisahan yang mengganggunya.

Saat menemukan sebuah pesan yang dikirim kemarin, dadanya terasa mencelos.

Itu dari Nathan.

Jemarinya sedikit gemetar saat membuka pesan itu, membaca setiap kata dengan teliti.

Kita ketemu di kafe depan minimarket, aku tunggu.

Jantung Rei berdetak lebih cepat, rasa tidak nyaman mulai menyelimuti hatinya. Otaknya segera menghubungkan potongan-potongan kejadian yang sempat ia anggap wajar sebelumnya.

Kemarin malam, Hana tiba-tiba ingin keluar rumah. Saat itu, dia hanya mengatakan ingin pergi ke minimarket. Rei tidak curiga karena alasannya terdengar sederhana. Tapi sekarang, setelah melihat pesan ini, semuanya terasa berbeda.

Jadi, apakah itu alasan sebenarnya? Bukan untuk ke minimarket, tapi untuk menemui Nathan?

Rei menelan ludah, merasakan amarah yang perlahan menggelegak di dadanya. Ia masih duduk diam di tepi ranjangnya, tetapi pikirannya sudah berkecamuk, dipenuhi berbagai kemungkinan yang membuatnya semakin sulit bernapas.

Perasaannya bercampur aduk—kecurigaan dan kekesalan. Apakah Hana membohonginya? Apakah dia menyembunyikan sesuatu darinya?

Tanpa sadar, genggamannya di ponsel Hana semakin erat. Napasnya sedikit memburu saat ia mengalihkan pandangannya ke arah gadis itu yang masih membelakanginya, seolah benar-benar terlelap.

Tapi Rei tahu.

Hana pasti belum tidur.

Tanpa ragu lagi, ia memanggilnya. Suaranya terdengar tenang, tapi penuh ketegangan yang tertahan.

"Hana."

Panggilannya terdengar datar, tapi cukup tajam untuk menembus keheningan kamar, menciptakan getaran halus di udara yang sejenak terasa beku.

Hana, yang masih terjaga di balik selimutnya, tersentak. Namun, alih-alih langsung merespons, ia hanya mengerjapkan mata, berpura-pura tidak mendengar, seolah berharap suara itu hanya ilusi malam.

Tapi Rei tidak mudah tertipu. Dia tahu. Dia selalu tahu. Hana pasti belum tidur.

"Hana, bangun."

Kali ini suaranya lebih dingin, menusuk keheningan yang sejak tadi hanya diisi oleh tarikan napas teratur dan detak jam di dinding.

Hana perlahan membuka mata. Jantungnya berdegup tidak karuan, seakan memberi isyarat bahaya yang belum bisa ia pahami sepenuhnya. Ia menggigit bibir, berusaha menenangkan dirinya sebelum akhirnya, dengan gerakan lambat, ia berbalik menghadap Rei.

Matanya masih sedikit mengantuk, kelopak yang berat itu berkedip beberapa kali sebelum ia akhirnya mengeluarkan suara. "Apa?" tanyanya pelan, suaranya serak karena baru saja terbangun.

Namun, Rei tidak langsung menjawab. Ia hanya menatap gadis itu lama, sorot matanya tajam dan menusuk, seakan berusaha menelanjangi isi pikirannya, mencari sesuatu yang Hana sendiri mungkin tak ingin ia temukan.

Lalu, dengan gerakan yang tenang tapi tegas, tanpa terburu-buru, Rei mengangkat ponsel Hana. Ia memiringkan layar ke arah gadis itu, memperlihatkan sesuatu yang seketika membuat napas Hana tercekat—sebuah pesan dari Nathan, terpampang jelas di sana.

Hana langsung membeku. Jantungnya serasa berhenti berdetak untuk sesaat, seolah udara di sekelilingnya mendadak membeku bersama tubuhnya.

"Jelaskan ini," kata Rei.

Nadanya tidak tinggi, tapi ada sesuatu dalam suara itu—sesuatu yang tajam, menusuk, dan menekan dadanya begitu kuat hingga Hana merasa sulit bernapas.

Tangannya secara refleks mencengkeram selimut, mencoba mencari pegangan di tengah kepanikan yang tiba-tiba melandanya. Ia menelan ludah, lalu dengan gerakan kaku, ia terduduk. Napasnya memburu, sementara pikirannya berputar, mencoba mencari alasan, mencari cara agar bisa lolos dari situasi ini.

Bagaimana bisa Rei tiba-tiba membuka ponselnya? Bagaimana bisa ia membaca pesan itu? Seharusnya, ponselnya terkunci. Seharusnya, pesan semalam tetap tersembunyi.

Tapi tidak.

Kini semuanya terbuka. Rei tahu. Rei sudah membaca. Dan Hana tahu, tidak ada gunanya lagi mengelak.

"Emm, itu..."

Suara Hana nyaris tak terdengar. Lidahnya terasa kelu, pikirannya kosong, dan keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya.

Namun sebelum ia bisa menyusun kalimat, suara Rei kembali terdengar.

"Kenapa kau membohongiku, Han?"

Kali ini nadanya lebih tajam, sedikit membentak, cukup untuk membuat Hana terlonjak dan spontan memejamkan mata.

Ketika ia kembali menatap Rei, sorot mata pria itu berbeda—gelap, penuh kekecewaan, dan ada sesuatu di sana yang membuatnya ngeri. Hana tidak pernah melihatnya semengerikan ini sebelumnya.

1
na Nina
please double up kak
na Nina
lanju kak udah 19.42
Na Noona
lanjuttt gak
na Nina
lanjut ga kak, double up dong
na Nina
lanjutttt
na Nina
kak bisa ga sih double up, aku suka ceritanya..
klo nunggu sehari satu,, kaya kurang puas. maaf
na Nina
lanjut kak
Na Noona
lanjut dong, dri kemarin ga up up
Ayu Sipayung: Sedang proses kk, sabar ya.....

jangan lupa baca karya terbaru author sembari menunggu up selanjutnya ya...
total 1 replies
Na Noona
belum up tor
na Nina
lanjut
na Nina
lanjut tor
Na Noona
up tor
Na Noona
up tor, aku sukaaa ceritanya
Chachap
kurang panjang
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!