"Jamunya Mas," Suara merdu mendayu berjalan lenggak lenggok menawarkan Jamu yang Ia gendong setiap pagi. "Halo Sayang, biasa ya! Buat Mas. Jamu Kuat!" "Eits, Mr, Abang juga dong! Udah ga sabar nih! Jamunya satu ya!" "Marni Sayang, jadi Istri Aa aja ya Neng! Ga usah jualan jamu lagi!" Marni hanya membalas dengan senyuman setiap ratuan dan gombalan para pelanggannya yang setiap hari tak pernah absen menunggu kedatangan dirinya. "Ini, jamunya Mas, Abang, Aa, diminum cepet! Selagi hangat!" Tak lupa senyuman manis Marni yang menggoda membuat setiap pelanggannya yang mayoritas kaum berjakun dibuat meriang atas bawah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Main Hakim Sendiri
"Saya bukan L****e! Dan Saya gak pernah morotin siapapun!" Teriak Marni yang sejak tadi belum memiliki kesempatan karena terus diserang oleh kedua wanita yang sudah kesetanan mengamuk.
"Mana ada L****e ngaku!" Nyolot si Wanita masih akan menyerang Marni namun ditahan beberapa warga yang memisahkan.
"Ya Allah Gusti! Dek! Kamu ngapain disini! Walah ini kok banyak orang!" Joko segera menerobos kerumunan warga yang mengerubungi Marni dan dua wanita pengeroyoknya.
"Lah Kamu juga kenapa ada disini Sum! Mbakmu kenapa ga ditahan." Joko melirik Adiknya yang sudah dalam keadaan acak-acakan sama dengan Ijah istrinya Joko.
"Kamu ga usah belain si L****e Mas! Sini Kamu! Duit Kamu nguli Kamu kasih sama nih L****e kan?" Ijah melotot tatapan mata merah begitupun raut wajahnya melampiaskan kemarahan.
"Loh,Loh, Dek. Kamu jangan asal nuduh! Mas ga ada kasih uang apa-apa sama Marni. Mas paling langganan Jamu aja. Ya kan Mar?" Joko menenangkan Istrinya yang tak mau disentuh. Tangan Joko di gubris saat akan merangkul Ijah Istrinya.
Marni menatap nyalang kepada Mereka. Tak sedikitpun Marni gentar. Ia tak salah. Kenapa harus Ia di sudutkan seperti ini. Main Hakim Sendiri.
"Sampeyan datang langsung ngereog, ngelabrak Saya padahal Saya tidak tahu apa-apa! Sekarang tanya langsung sama bojo koe! Kemana uangnya ga disetor ke Kamu! Jangan asal nuduh!" Kali ini ucapan Marni terdengar penuh kemarahan.
Sorot mata Ijah melirik tajam pada Joko, "Uangnya betul kok ga Mas kasih Marni, ga dikasih ke siapa-siapa juga," Joko menjawab hati-hati, yakin kalau jujur Ijah akan semakin mengamuk.
Saat ketegangan menyelimuti Ijah dan Joko, ponsel Joko berdering, namun Joko mendiamkannya.
"Jangan-jangan itu selingkuhannya! Angkat coba!" Salah satu warga memprovokasi.
Ijah yang sudah naik pitam meraih ponsel Joko yang berada di saku celana Suaminya. Beberapa warga yang melihat ikut penasaran siapa yang menelepon Joko.
Ijah segera menekan tombol di ponsel menerima panggilan yang diabaikan Joko.
"Eh A****g! Lu udah berani ya ga angkat telepon Gue! Bayar utang Lu T****L! Jangan kabur Lo!"
Ijah terkejut setengah mati, bukannya suara perempuan seperti yang ada dalam pikirannya malah makian dari laki-laki yang terdengar marah dan membahas perihal hutang piutang.
"Sampeyan siapa ya?"Ijah dengan terbata menjawab.
"Oh, Lo bininya! Bilang tih sama Laki Lo! Kalo punya utang bayar! Jangan minjemnya doang! Makanya kalo ga punya duit ga usah main Judol! Laki Lo tuh kecanduan Judol! Dimana Laki Lo! Bilang sama Gw! Jangan kayak B****i ngumpet dibawah ketek bini!"
Ijah segera memutus panggilan tersebut. Mata Ijah sudah membulat sempurna. Rasanya tanduk dan khodam Ijah mau keluar mengetahui rupanya Joko malah masih terjerat Judol.
Padahal Ijah sudah sering bilang, berhenti karena sudah habis barang-barang Mereka di jual Joko.
Tanpa banyak cincong dan tak ada kata maaf pada Marni, Ijah dan Sumi sang Ipar segera menyeret Joko dari hadapan semua warga yang menyaksikan.
"Dek, ampun, Dek. Jangan ngono toh! Sakit ini kuping Mas!" Joko memegangi telinganya yang diseret Ijah dan Sumi pulang.
"Sudah, yang lain bubar. Marni sebaiknya Kamu beresin itu pecahan botol-botol Jamumu." Pak RT meminta bubar dan segera meninggalkan rumah petak Marni.
Tak ada seorangpun yang mau membantu Marni. Senyum getir tersungging di bibir Marni.
Marni menatap nanar botol Jamu yang berserakan di tanah. Semua pecah. Hancur. Bahkan bakul Jamu miliknya rusak tak berbentuk.
Kalo sudah begini, siapa yang harus disalahkan. Marni memunguti sisa-sisa kerusuhan dan membereskannya.
Hati Marni sakit. Hanya Si Mbah yang terlintas di kepalanya.
"Mbah, Mereka jahat sama Marni. Marni harus bagaimana?"
Langit seakan tahu kesedihan dan rasa pilu yang kini menyelimuti relung hati Marni.
Seketika rintik gerimis menyapa Bumi. Meredakan amarah di hati Marni yang masih berkobar tak terima perlakuan Istri Joko yang Main Hakim Sendiri.
Marni bingung, malu juga dengan kejadian hari ini. Seharian Marni tak keluar rumah kontrakannya. Tubuhnya sakit-sakit paska diserang dua wanita laknat yang main asal tuduh.
"Ish," Marni membersihkan luka dibeberapa tangannya dan sudut bibirnya yang sempat kena tamparan Ijah dan Sumi.
"Begini banget nasibku, bukan untung malah buntung. Enak saja Mereka habis rusak semuanya dan Aku sampe luka begini malah kabur! Dasar laki-laki kerjanya ngapusi wanita. Ngebohongi Istri malah Aku yang kena sasaran."
Malam semakin larut, Marni terduduk lemas di sudut ruangannya, ruangan yang biasanya dipenuhi dengan aroma rempah-rempah sekarang hanya tercium bau pesakitan dan kesedihan. Tubuhnya masih memar, bekas hujan pukulan yang dilepaskan Ijah dan Sumi atas tuduhan yang tidak berdasar. Dengan mata sembab, dia menatap panci-panci yang biasa digunakannya untuk menyeduh jamu. Kini, mereka hanya seonggok logam yang menyimpan cerita pahit.
Di sudut lain, pecahan kaca botol jamu berserakan, seperti hatinya yang remuk. Ijah dan Sumi, dengan marah, telah menghancurkan segala yang ia bangun dengan tangan dinginnya. Marni perlahan membuka kaleng kecil tempat ia menyimpan uang hasil penjualan jamu. Lembar demi lembar ia hitung dengan hati yang gundah, mempertimbangkan masa depan yang kini serba tidak pasti.
Haruskah ia melanjutkan usaha jamu yang telah membesarkan namanya atau mencari pekerjaan baru yang mungkin lebih stabil di pabrik? Marni menghela napas panjang, keputusan besar menanti di malam yang sunyi, keputusan yang akan menentukan arah hidupnya setelah tragedi ini.
Marni terbangun. Merasakan sekujur tubuhnya nyeri semua. Biasanya sepagi ini Marni sudah sibuk menggodok Jamu untuk jualan, hari ini malah Marni merasakan seluruh tubuhnya sakit bahkan beberapa luka mulai membiru.
"Ya Allah Gusti, ini badanku panas sekali." Marni mengusap peluh disudut dahinya.
Meski berat dan terasa nyeri disana sini, Marni memaksakan bangun, tenggorokannya merasa haus.
"Alhamdulillah." Marni memejamkan mata, lumayan segelas air membasahi tenggorokannya yang kering.
"Gusti, badanku remuk rasanya." Marni perlahan mendudukan tubuhnya.
Sedikit menyingkap kausnya, Marni terkejut rupanya di perutnya ada legam memar.
"Ya Allah Gusti, paringi sehat. Marni ga mau mati konyol Gusti!" Marni menutup kembali kaus yang ia kenakan.
Marni berjalan perlahan, mencari kaleng tempat ia menyimpan obat. "Coba minum ini deh. Siapa tahu sakitku hilang. Kok ya apes bener Marni, badan sakit semua yang pekakas dagang juga ambyar semua. Sudah jatuh Marni ketiban tangga ini sih." Awalnya tak mengeluh tapi lama-lama diingat-ingat ya nelangsa juga Marni rasakan.
Suara perut Marni menandakan lapar. "Baru inget dari kemaren Marni ga makan. Ya Allah Gusti, yo urip nelongso tenan! Sabar! SABAR!" Marni mengusap dadanya menentramkan amarah yang masih terasa bila teringat kejadian kemarin.