NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:996
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Turun Gunung

Acara kemping selesai. Semua anggota pendaki menggendong barang bawaan mereka. Saatnya menuruni gunung. Jam menunjukkan pukul 10 pagi, tetapi udara masih terasa segar, menggelitik hidup. Rombongan berisikan 15 orang—8 laki-laki dan 6 perempuan. Mereka bergerak hati-hati, menyusuri batu terjal, setiap langkah mereka penuh kewaspadaan. Langit yang cerah tadi pagi mulai berubah mendung, tanpa ada tanda-tanda akan hujan.

Tiba-tiba, butiran air hujan turun perlahan, seperti tidak sengaja, membasahi tanah dan tubuh mereka. Hujan yang datang tanpa peringatan. Tidak ada yang menyangka, saat mereka memulai perjalanan tadi pagi, cuaca akan berubah drastis.

Kabut tipis terbentuk di antara pohon-pohon, menyelimuti mereka dalam diam. Suara burung-burung terbang berkelebat, mencari tempat berteduh dari hujan yang turun semakin deras. Mereka semua terpaksa melanjutkan perjalanan, bergerak dengan cepat, mencari tempat berteduh agar tidak terjebak hujan yang semakin deras.

Namun yang paling menakutkan bagi mereka adalah hipotermia. Suhu tubuh yang menurun drastis akibat cuaca dingin dan basah. Dalam keadaan seperti ini, penurunan suhu tubuh bisa sangat berbahaya. Menghadapinya membutuhkan kewaspadaan tinggi dan keputusan yang cepat. Setiap langkah mereka terasa lebih berat, tekanan semakin terasa di dada.

Rizal, yang memimpin perjalanan, tetap tenang. Sebagai leader, dia tahu apa yang harus dilakukan. “Tetap fokus! Jangan sampai terpeleset, kita harus cari tempat berteduh secepatnya,” teriak Rizal, suaranya menggetarkan udara.

Susi yang berjalan di tengah rombongan, sedikit tertinggal, tampak melihat Naima yang di sebelahnya. Naima masih tampak tenang, namun ada sesuatu dalam tatapannya—kecemasan yang samar, namun tidak bisa ia sembunyikan. Naima memang terlihat tegar, tetapi di dalam hatinya, ketakutan mulai merayap. Hujan dan kabut ini mengingatkan pada kejadian-kejadian masa lalu yang sulit ia lupakan. Kali ini, ia tidak bisa lari.

Bimo dan Malik, yang memantau di belakang, saling bertukar pandang, khawatir melihat rombongan yang semakin rapat. Malik merasakan beban yang lebih berat saat ia melihat kondisi Naima yang semakin cemas. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi kata-kata tak kunjung keluar. Ia mengatur napas, berusaha menenangkan dirinya, karena ia tahu, di tengah kondisi seperti ini, setiap detik berharga.

“Sabar, kita hampir sampai di tempat yang aman,” Malik berusaha meyakinkan Bimo, meskipun hatinya sendiri mulai penuh dengan kecemasan. “Hujan akan segera reda,” tambahnya, meski ia tahu perasaan itu lebih untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Bimo.

Di depan, Rizal terus memimpin dengan percaya diri, namun di dalam dirinya, ia juga merasakan tekanan yang semakin besar. Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi jika mereka tidak menemukan tempat berteduh segera. Wajahnya yang tegas tak menunjukkan kecemasan, namun di dalam hatinya, ia tahu waktu mereka semakin sempit.

Setiap langkah semakin sulit. Hujan yang deras dan kabut yang semakin tebal menambah beban mereka. Semua orang tahu bahwa mereka harus bergerak cepat, tapi tidak ada yang berani terburu-buru. Hipotermia adalah musuh yang tak tampak, dan mereka harus berjuang melawan waktu.

“C'mon, tinggal sedikit lagi!” teriak Rizal, matanya menyapu sekitar mencari tanda-tanda tempat aman. Teriakannya seperti memberi semangat bagi yang lain, meski mereka semua tahu, mereka hanya bisa berharap cuaca segera bersahabat.

Di tengah perjalanan yang menegangkan itu, Naima melirik sekilas ke arah Malik. Ia tahu mereka semua berjuang untuk bertahan, tetapi hatinya merasa semakin berat. Bertahan... hanya itu yang bisa mereka lakukan sekarang.

Cuaca yang semakin tak bersahabat membuat setiap langkah terasa lebih berat. Suara hujan yang mengguyur hutan semakin keras, menyatu dengan gemuruh air yang mengalir deras di bawah mereka. Rombongan pendaki menuruni jalur terjal dengan hati-hati, setiap langkah penuh perhitungan. Namun, kesulitan belum berakhir.

"Zal, ada gubuk di bawah kita, kesana dulu," ucap Bimo, matanya menyapu ke bawah, mencari tempat yang lebih aman.

“Dimana?” tanya Rizal, berusaha memastikan.

Bimo mengarahkan telunjuknya, menunjuk sebuah gubuk kecil yang nyaris tersembunyi di balik pepohonan. "Di bawah, deket air curuk."

Semua mata mengikuti arah jari Bimo, dan akhirnya, mereka melihatnya. “Ah, iya ada.” Mikaya mengangguk, mengingatkan yang lain.

“Kita kesana dulu, Zal. Gw udah ga kuat, yang lain juga sama,” Mikaya menambahkan dengan wajah yang sedikit pucat.

Rizal mengangguk cepat, menilai situasi. “Oke, semuanya ke bawah. Pastikan kalian hati-hati karena licin.”

Namun, sebelum mereka semua bergerak, Malik yang lebih dulu melihat situasi, mengatur rencana. "Biar gw dulu yang turun. Ini terjal, jadi butuh tali," ujar Malik, tangannya sudah mengeluarkan tali dari tasnya.

Malik mengikatkan tali di tubuhnya dengan cekatan dan mulai turun perlahan, menuruni sisi tebing yang curam. "Semuanya pakai tali untuk turun," ucapnya sambil menjaga keseimbangan.

Rizal memberi komando untuk memulai, sementara Bimo memantau dari atas, memastikan semuanya berjalan lancar. Ketika gilirannya tiba, Mikaya mulai turun, namun dalam prosesnya, kakinya tergelincir, dan tubuhnya jatuh bebas beberapa inci.

Namun, secepat kilat, Malik melompat untuk menangkapnya, mendarat dengan kedua kaki tegak di bawah.

“Makasih, Malik,” kata Mikaya, sedikit terkejut namun terlihat lega.

“It’s oke,” jawab Malik, dengan senyuman tenang, meskipun dalam hatinya, ia merasa lebih cemas daripada yang ia tunjukkan.

Bimo, yang melihat kejadian itu, tidak bisa menahan sedikit ejekan, “Eh Malik, Lo masih sempet-sempetnya caper. Aim jadi bermod tuh.”

Naima mendengus, bibirnya sedikit terangkat seolah tidak peduli. Tapi, rasa canggung muncul begitu mendalam. Mengingat betapa jarangnya dia bisa bicara dengan Malik.

Susi yang melihat ekspresi Naima dengan cepat menendang tungkai Bimo, membuat Bimo meringis kesakitan. “ga sekarang, ini bukan waktunya bercanda,” kata Susi dengan nada tegas.

Rizal yang sedang mengawasi, melirik Naima yang tampak sedikit melamun. “Jangan bengong, selanjutnya, Aim,” tegurnya dengan nada yang sedikit lebih keras.

“Ah, sorry,” Naima cepat mengalihkan pandangannya, merasa tidak enak dengan situasi yang ada. Ia menarik tali dengan hati-hati, mengikatnya di tubuhnya. Perlahan, ia mulai turun. Meskipun keringat dingin mulai membasahi pelipisnya, Naima tetap fokus, berusaha tidak terpeleset.

Pendaratannya sempurna. Naima menatap gubuk yang semakin dekat, memberi sedikit perasaan lega. Tidak lama setelah itu, Susi mengikuti dengan gesit, dan Bimo serta Rizal turun dengan mahir, hampir tanpa kendala.

Dengan cermat, mereka akhirnya sampai di depan teras gubuk. Terlihat seperti tempat yang aman untuk berteduh, meski hanya sementara. Gubuk kecil yang terlihat utuh itu menjadi pelipur lara di tengah cuaca yang semakin buruk. Angin dingin menggerakkan daun-daun yang terbasahi hujan, tapi mereka merasa lebih tenang kini.

Kondisi sempit dalam gubuk membuat semuanya saling berdesakan. Naima terjebak di sudut, bersebelahan dengan Malik. Tubuh mereka terhimpit, dan Naima bisa merasakan detak jantungnya yang makin cepat. Saat tubuh mereka semakin dekat, tangan Naima secara tidak sengaja menyentuh jemari Malik, mentransfer rasa hangat yang membuat Naima terkejut. Dalam sekejap, Naima refleks menarik tangannya, berusaha menghindar dari sentuhan itu.

Malik yang menyadari perubahan itu, menatapnya dengan cemas. “Naima, kamu ga papa?” tanyanya, suaranya penuh kekhawatiran. "Tangan kamu dingin."

Naima mencoba mengendalikan diri. Suasana itu membuatnya merasa semakin canggung, dan tanpa bisa menghindar, dia menjawab dengan suara datar, “Iya, ga papa,” sambil mengalihkan pandangan. Meskipun kata-katanya terdengar biasa, perasaan di dalam hatinya justru semakin bergejolak.

“Eh, Mikaya, Lo…!” seru Bimo panik, suaranya tercekat. Tubuh Mikaya terkulai lemas di sampingnya, tubuhnya yang biasanya penuh energi kini terlihat rapuh. Tidak ada kesadaran, hanya nafas terengah-engah yang terdengar samar. Uap keluar dari tubuh Mikaya, seolah tubuhnya melepaskan panas berlebih. Mikaya sudah mencapai batasnya.

Bimo panik, gemetar. “Mikaya, Lo denger gw nggak? Mikaya?” Bimo mengguncang lembut tubuh Mikaya, berharap ada reaksi. Tapi Mikaya tetap tak bergerak.

“Ada yang punya minyak kayu putih atau semacamnya ga?” teriak Rizal, suaranya penuh kecemasan. Langkahnya cepat, mencari-cari benda yang bisa membantu. “Cepet, bantu cari!”

“Eh, gw,” sahut Susi, hampir terjatuh dalam usahanya menggapai tas ranselnya. Dengan tangan gemetar, ia merogoh tas dan mengeluarkan botol minyak kayu putih. “Ini, Bimo,” ujarnya, meski suaranya terdengar cemas.

Bimo segera memijatkan minyak ke bagian tubuh Mikaya yang tampak tegang, berharap bisa meredakan kelelahan yang jelas-jelas sudah melampaui batas. Namun, rasa cemas semakin menumpuk. Mikaya... selalu tampak kuat dan tangguh, namun hari ini dia terlihat begitu rapuh.

“C’mon, Mikaya, Lo harus bangun,” Bimo berbisik, menahan emosi yang ingin meledak. Ia tak ingin menunjukkan betapa khawatirnya dia, tapi tidak bisa menahan kekhawatirannya.

Rizal berdiri di samping mereka, matanya tajam, penuh perhatian, meski tetap berusaha tetap tenang. “Kita nggak punya banyak waktu. Mikaya, Lo harus bertahan,” katanya dengan nada tegas, mencoba memberi kekuatan pada Mikaya yang terkulai.

Susi yang semula hanya diam, kini tampak sangat khawatir. “Ini nggak baik. Apa yang kita harus lakuin, Rizal?” tanyanya dengan nada panik, matanya mencari solusi.

“Siapapun yang punya jaket tebal tahan panas, gw pinjem. Kita harus cegah selagi belum samapai hipotermia,” ucap Malik dengan suara penuh kekhawatiran, matanya cepat menilai kondisi Mikaya yang semakin memprihatinkan.

“Kita bawa ke dalam gubuk, gw ga tau ini gubuk siapa. Tapi ini satu-satunya tempat yang bisa kita pake,” Naima menambahkan, suaranya terdengar sedikit panik namun tetap berusaha memberi arahan. "Cepat!" lanjutnya, tak sabar melihat kondisi Mikaya yang semakin lemah.

Seseorang mengetuk pintu, namun tidak ada yang menyahut. Semua di dalam ruangan terpaku, merasakan ketegangan yang makin membuncah. Keputusan harus diambil cepat, dan tidak ada lagi ruang untuk pertimbangan. Tanpa kata, beberapa orang berinisiatif mendobrak pintu. Suara kayu yang patah seolah membelah heningnya udara, menambah suasana darurat yang mencekam.

“Yang lain gimana? Kalo ngerasa ga enak badan, langsung bilang,” ucap Rizal, nada suaranya tegas namun penuh rasa peduli. Dia melirik satu per satu anggota tim, menilai apakah mereka baik-baik saja.

Yang lain segera mengenakan pakaian hangat, berusaha menjaga tubuh mereka tetap stabil dan menghindari kedinginan yang semakin menyelimuti mereka. Suasana penuh kegelisahan dan kecemasan, masing-masing berusaha untuk tetap kuat, terutama ketika mereka tahu Mikaya masih membutuhkan bantuan secepatnya.

Mikaya yang terkulai lemah di tangan mereka, bahkan di dalam gubuk yang sempit dan terbatas, tetap tak sadar. Masing-masing anggota tim memusatkan perhatian pada apa yang bisa mereka lakukan untuk memastikan keselamatan Mikaya dan diri mereka sendiri. Malam semakin larut, dan rasa dingin semakin menggigit.

“Gubuk ini mungkin ga sempurna, tapi setidaknya kita bisa bertahan sebentar,” ujar Susi, mencoba memberikan rasa tenang di tengah kekalutan. Dia menatap Mikaya yang kini diletakkan dengan hati-hati di atas selembar kain, berharap semuanya masih bisa baik-baik saja.

Malik, meskipun wajahnya tegang dan penuh perhatian, mencoba untuk tetap tenang. "Mikaya harus segera dibantu. Yang lain, siap-siap kalau terjadi apa-apa. Kita tetap jaga jarak, jangan sampai ada yang jatuh sakit lagi.”

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!