Adinda Aisyah Zakirah adalah gadis berusia 19 tahun.
"Kakak Adinda menikahlah dengan papaku,"
tak ada angin tak ada hujan permintaan dari anak SMA yang kerapkali membeli barang jualannya membuatnya kebingungan sekaligus ingin tertawa karena menganggap itu adalah sebuah lelucon.
Tetapi, Kejadian yang tak terduga mengharuskannya mempertimbangkan permintaan Nadhira untuk menikah dengan papanya yang berusia 40 tahun.
Adinda dihadapkan dengan pilihan yang sangat sulit. Apakah Adinda menerima dengan mudah lamarannya ataukah Adinda akan menolak mentah-mentah keinginannya Nadhira untuk menikah dengan papanya yang seorang duda itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7
Adinda sedih harus meninggalkan hewan peliharaannya itu, hewan yang selalu menemaninya dikala sendiri dan gabut.
“Bebek, ayam kalian memang hanya hewan peliharaanku saja tapi, bagiku kalian adalah temanku yang selalu ada disaat tersulit dalam hidupku.”
Selama ibunya meninggal terkadang kalau suntuk, dia akan bercerita kepada bebek-bebek dan ayam-ayamnya.
“Ayam, bebek hari ini aku akan pergi dari sini, aku tidak akan tinggal di rumahnya ibu lagi. Tapi, kamu jangan sedih yah, kalau ada waktu senggang aku pasti datang jenguk kalian,” ucapnya sambil menyeka air matanya.
Luthfi ikut menangis melihat Adinda menangis juga.
“Lutfi, kakak titip yah hewan peliharaannya kakak sama kamu. Kalau bertelur kamu kumpulin terus kamu jual dah, uangnya kamu ambil sendiri terserah kamu mau pakai jajan di sekolah, kamu tabung atau kamu sumbangin ke mesjid juga boleh, kakak ridho kamu apakan uangnya asalkan Kamu jagain dengan baik mereka-mereka ini,” imbuhnya Adinda yang masih terisak.
Lutfi mengusap cairan bening yang mengalir di bawah hidungnya.”iya kakak itu pasti akan Lutfi lakukan.”
Adinda sedih dan seolah tidak rela pergi, karena seumur hidupnya baru kali ini dia akan meninggalkan rumahnya. Apalagi dalam waktu yang cukup lama.
“Adek Lutfi, kakak titip rumah juga yah kalau masalah tagihan listrik dan airnya kakak yang bayar kamu cukup setiap hari bersihkan rumah, kasih makan hewan kesayangannya kakak. Kalau ada apa-apa kabari saja kakak kamu sudah punya nomor hpnya kakak kan?”
Lutfi menganggukkan kepalanya mendengar setiap ucapannya Adinda tanpa membantah sedikitpun.
“Apa kakak tidak akan pernah kembali ke sini lagi?”
Adinda memeluk Lutfi tetangga rasa adiknya Itu,” insha Allah kalau ada waktu senggang aku pasti balik ke sini.”
Adinda menyerahkan sebuah kantong plastik kresek putih yang bertuliskan AlfaBeta berisi kebutuhan pokok sehari-hari beserta kunci rumahnya.
Adinda memeluk Lutfi yang sudah seperti adik kandungnya sendiri,” kamu jangan nakal yah, ini kunci rumahnya kakak dan ini berikan kepada ibumu. Ingat tadi pesannya kakak kan?”
Lutfi memeluk tubuhnya Adinda,” kakak Lutfi mengingat setiap perkataannya kakak. Lutfi sangat sedih karena kakak akan pergi selamanya. Lutfi pasti bakal kangen dengan kakak.”
Adinda menyeka air matanya karena dia masih ingin berziarah ke makam ibunya untuk meminta doa restunya.
Adinda mengendarai sepeda motornya menuju pemakaman umum setempat. Tetapi, di jalan dia berpapasan dengan seseorang yang sangat dikenalnya. Orang itu menghentikan mobilnya dan berteriak memanggil namanya.
“Adinda!!” teriaknya.
Adinda cepat-cepat menghentikan laju motornya karena ia sangat mengenali siapa pemilik suara sedikit ngebas itu.
“Abang Azriel,” cicitnya Adinda yang rona wajahnya bersemu merah karena setelah berbulan-bulan lamanya mereka akhirnya bertemu kembali.
Azriel mempercepat langkahnya menuju Adinda yang masih memakai helmnya.
“Assalamualaikum dek,” sapanya Azriel yang gembira akhirnya bisa bertemu dengan Adinda lagi.
“Waalaikum salam Abang, gimana kabarnya?”
“Alhamdulillah baik, Dek kamu masih ingat kan janjiku dulu padamu?” Tanyanya Azriel.
Adinda mengalihkan pembicaraan,” Abang semakin tinggi, semakin ganteng. Abang gagah banget loh memakai pakai seragam polisi.” pujinya Adinda.
Azriel terkekeh mendengar pujiannya Adinda gadis yang selalu membuatnya bahagia dan selalu bersemangat untuk mengejar impiannya menjadi seorang anggota polri.
“Abang akan melamarmu menjadi istrinya Abang. Insya Allah secepatnya karena Abang sudah berhasil jadi polisi,” Azriel memegangi kedua pundaknya Adinda.
Raut wajahnya Adinda seketika sendu mendengar perkataan dari kekasihnya yange selama ini mengisi hatinya.
“Ya Allah itu tidak mungkin bisa terjadi lagi Abang. Maafin Adinda yang harus mengingkari janji kita berdua,” Adinda membatin.
Azriel tersenyum lembut,” Kamu sendiri yang bilang kamu hanya mau dan akan menikah dengan seorang polisi makanya Abang mendaftar dan Alhamdulillah berkat doa-doamu Abang akhirnya menjadi polisi,” imbuhnya Azriel.
Der...
Jeder…
Adinda tidak tahu harus bereaksi apa karena, dia tidak mungkin bisa lagi memenuhi janjinya dulu yang setuju menikah dengan Azriel. Pemuda yang telah lama menjadi teman dekatnya itu.
Tubuhnya tiba-tiba mematung sulit untuk digerakkan, lidahhnya keluh seketika. Dia kesulitan untuk menelan air liurnya karena kembali dihadapkan pada kenyataan yang membuat hatinya hancur.
Azriel menautkan kedua alisnya melihat tingkahnya Adinda yang tiba-tiba terdiam,” kamu tidak lupa kan dengan janji kita itu? Abang akan datang melamarmu insha Allah dua tahun lagi, tunggu Abang yah dek.”
Azriel menarik tubuhnya Adinda ke dalam pelukannya, dia begitu merindukan gadis yang sedari dulu disukainya sejak mereka masih sekolah dasar.
“Abang sangat mencintaimu Dek, karena kamu lah yang membuat Abang bisa menjadi seperti sekarang ini, aku berharap suatu saat nanti saat Abang pulang kamu bersedia menerima lamaranku,” Azriel melerai pelukannya.
Adinda sama sekali tidak membalas pelukannya Azriel pemuda yang disukainya, tapi tidak pernah berharap apapun untuk bersatu karena sadar dengan segala perbedaan diantara mereka.
“Abang pamit dulu, assalamualaikum,” Azriel mengecup sekilas keningnya Adinda.
Azriel berjalan ke arah mobil yang sedari tadi menunggunya dan akan mengantarnya ke kota untuk melanjutkan tugasnya.
“Waalaikumsalam,” lirihnya Adinda.
Air matanya menetes membasahi pipinya ketika tidak terlihat lagi mobil yang membawa Azriel. Dia ingin berteriak lantang saking bingungnya dan tidak menerima takdir yang digariskan padanya.
“Ya Allah cobaan apalagi ini? Aku tidak mungkin menunggumu Abang, karena aku sudah akan menikah dengan lelaki lain. Maafkan aku yang sudah mengingkari janji kita,” lirih Adinda yang dadanya tiba-tiba sesak melepas kepergian Azriel.
Adinda kembali melanjutkan perjalanannya setelah kondisinya membaik.
“Salahkah aku yang telah mengingkari janji kami? Ya Allah aku benar-benar dilema dengan keputusanku sendiri,”
Kedua matanya sembab, ada sisa-sisa tetes air mata yang terlihat di sudut kelopak matanya.
“Maafkan aku, semoga suatu saat nanti Abang memahami keputusan dan pilihanku ini. Maafkan aku yang tidak sanggup untuk berkata jujur padamu,”
Adinda memasuki tempat pemakaman umum, ia membeli bunga khusus untuk dia taburkan ke atas pusara makam ibunya. Adinda berjongkok sambil menyiram air dan menaburkan bunga yang dibawanya.
Adinda melihat ada sebuket bunga mawar putih yang terletak di sekitar nisan kuburan ibunya.
“Siapa yang menaruh bunga ini? Bukannya kami tidak memiliki sanak saudara di sini? Tidak mungkin kan tetangga yang berbaik hati membeli bunga mawar putih ini yang tidak murah,”
Adinda mengedarkan pandangannya ke sekeliling TPU tersebut yang nampak sangat sepi dan sunyi. Hanya semilir angin dan kicauan burung-burung serta gesekan dedaunan yang terdengar di makam tersebut.
“Mungkin hanya orang yang berbaik hati memberikan bunga ini untuk ibu. Makasih banyak orang baik.”
Adinda menatap lekat tulisan nama ibunya yang terdapat di batu nisan itu. Tanpa aba-aba air matanya lolos untuk kesekian kalinya.
“Assalamualaikum ibu, maaf Dinda baru bisa datang lagi. Dinda kangen banget sama ibu, Dinda hampir setiap malam memimpikan ibu.” Adinda menyeka air matanya.
Adinda mengirimkan surah Al-fatihah untuk ibunya tercinta, suaranya yang serak mendayu karena habis menangis tidak menyurutkan niatnya untuk melantunkan ayat-ayat qalam ilahi.
“Ibu maafin Dinda yah belum bisa membahagiakan ibu, belum sanggup balas jasa-jasa kebaikannya ibu, semoga di alam sana ibu tenang, Dinda selalu mendoakan kebaikan dan keselamatan ibu. Insha Allah suatu saat nanti kita akan berkumpul di surgaNya Allah SWT, amin ya rabbal alamin,”
Adinda melajukan motornya menuju rumahnya Baruna. Dia menghentikan laju kendaraannya ketika sudah berada di depan pagar bercat putih itu yang cukup tinggi.
“Pak Kadir, apa Bapak ada?” Tanyanya Adinda.
“Bapak belum pulang dari kota, tapi yang ada di dalam itu ibunya bapak Nyonya Besar Riska dengan anak bungsunya,” jawabnya Pak Kadir.
“Oh ho gitu, saya masuk dulu Pak,” ucapnya ramah Adinda.
Adinda masuk ke dalam rumah yang cukup mewah itu,tapi dia masuk lewat pintu belakang. Dia cukup sungkan untuk bertemu langsung dengan calon ibu mertuanya.
“Ya Allah bagaimana kalau Bu Riska seperti mertua yang ada di sinetron ikan terbang yang jahatnya bikin geleng-geleng kepala, adik ipar nyinyir bin julid,” gumamnya Adinda yang mulai berfikiran yang tidak-tidak.
Belum bertemu dengan calon mertuanya sudah berfikiran negatif thinking. Ini kayaknya efek keseringan nonton sinetron ikan terbang yang menganggap semua ibu mertua itu jahara.
Dinda berjalan mengendap-endap menuju ke arah dapur terlebih dahulu karena ingin membasahi lehernya dengan air dingin.
"Alhamdulillah kondisi aman terkendali, nyonya besar mungkin sudah beristirahat di kamarnya," gumamnya.
Tapi, tangannya belum menyentuh pintu lemari pendingin. Dia dikejutkan oleh suara seseorang dari arah belakang.
“Kamu dari mana!?” tatapan matanya nyalang menatap Adinda.
Adinda reflek berbalik badan dan betapa terkejutnya melihat wanita paruh baya yang menatapnya dengan tatapan mata yang tajam.
“Sa-ya da-ri kampung,” jawabnya terbata.
Tangannya Adinda sampai tremor saking terkejutnya mendengar suara yang cukup galak dan bola matanya yang membulat sempurna.