Aruna, namanya. Gadis biasa yatim-piatu yang tidak tau darimana asal usulnya, gadis biasa yang baru memulai hidup sendiri setelah keluar dari panti asuhan di usianya yang menginjak 16 tahun hingga kini usianya sudah 18 tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sandri Ratuloly, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sembilan
Hari pengumuman kelulusan tiba, hari senin. Seluruh murid-murid yang tengah berkumpul di tengah lapangan mengenakan seragam putih abu-abu, seperti apa yang diperintahkan di grup angkatan mereka.
"Untuk angkatan 20xx." kepala sekolah mulai mengumumkan, suaranya tertahan membuat beberapa murid yang menunggu ucapan selanjutnya dengan greget dan penasaran.
"SELAMAT KALIAN LULUS 100%"
"WHOAHHHH." teriak serempak mereka saat kepala sekolah mengumumkan bahwa di angkatan mereka semuanya lulus semua.
Mereka saling berpelukan, tangisan haru penuh kebahagiaan mengisi lapangan itu. Pun, dengan Aruna yang berdiri seorang diri yang sedikit jauh dari mereka, senyum simpul sebagai balasan dari pernyataan pengumuman tersebut.
Matanya mengedar menatap tenang mereka yang saling berpelukan dengan para sahabat atau kekasih pujaan hati. Sedangkan Aruna hanya berdiri menyendiri di pinggiran lapangan, Aruna mau pulang balik ke cafe.
Setelah mendengar pengumuman kelulusan, tidak ada hal lain yang harus membuatnya bertahan lama di sini. Badannya berbalik siap untuk pulang. Tetapi....
"Aruna! "
Aruna menghentikan langkahnya, badannya berbalik menatap Rara- pelaku yang memanggilnya tadi.
"Na, selamat atas kelulusan kita. " Rara maju dan dengan cepat memeluk erat Aruna di dekapannya.
"Maaf atas sikap gua yang tiba-tiba ngejauhin lo, maaf juga sama ucapan nyelekit gua, lo pasti sakit hati banget kan dengarnya? Gua minta maaf, saat itu gua kaget, gua shock berat atas pengakuan lo. " sesal Rara.
Satu tangannya yang bebas, mengelus punggung tangan Aruna yang meremas tangan kanannya dengan kuat. Rasa sesal dan bersalah dirasakan Rara begitu mendalam.
"Udah aku maafin kok, mungkin saat itu kamu shock dan gak terima karena aku hamil dan pelakunya adalah Tama yang jelas-jelas kamu idolakan berpasangan dengan Alana. Aku ngerti bagaimana perasaan kamu. " Aruna mengangguk mengerti akan ucapannya barusan yang mana Rara mendengarnya tidak enak hati.
Ya gimana. Rara tau sekali kalau Aruna suka bahkan cinta dengan Tama, mendengar penolakan Rara yang menyuruh Aruna jangan meminta pertanggung jawaban pada Tama karena bisa menghancurkan hubungan sepasang yang banyak di sukai orang-orang.
Alasan lain yang menguatkan. Rara tidak mau Aruna nanti di hujat orang-orang pencinta Tama-Alana, yang menganggap bahwa Aruna perusak hubungan sepasang kekasih itu.
"Na, sekali lagi gua minta maaf ya sama ucapan gua tempo lalu. " Rara kembali mengucapkan maafnya pada Aruna.
Aruna tersenyum teduh, menepuk pelan pipi Rara. "Udah ih minta maafnya, aku beneran gapapa kok. Yang lalu biarlah berlalu, gak usah mikirin kejadian itu, anggap saja tidak pernah terjadi. "
"Makasih banyak ya udah maafin gua, lo emang sahabat terbaik gua, Na. " ujar Rara, "Kalau gitu sebagai persahabatan kita yang sudah membaik dan hari kelulusan. Gua bakal traktir lo makan apa aja sepuasnya. " Rara menebarkan senyum lebarnya, menarik tangan Aruna menuju parkiran-dimana mobilnya berada.
"Gak usah ih, aku habis ini mau langsung ke cafe aja. " tolak Aruna, saat keduanya sudah tiba di mobil Rara terparkir.
"Gua gak terima penolakan dan tanggapan lo gimana, ayok kita pesta makan-makan hari ini. Kalau udah masuk waktu kuliah, kita pasti bakal susah ketemunya karena kesibukan masing-masing. " cemberut Rara.
Aruna termenung sejenak. "Oke deh. " jawabnya final yang di balas pekikan senang dari Rara.
•••••••
Menempuh perjalanan hingga 15 menit lamanya. Akhirnya kedua perempuan itu telah tiba di salah satu restoran langganan Rara bersama keluarganya kalau ada acara kumpul-kumpul makan sekeluarga.
"Ra– kita beneran makan disini?" Aruna menahan tangan Rara yang hendak masuk ke dalam restoran tersebut.
Rara mengangguk cepat, "Ya emang kenapa? Yok buruan masuk, gua udah kelaparan banget nih belum sempet sarapan tadi di rumah. " Rara menarik tangan Aruna untuk masuk ke dalam.
Namun, lagi-lagi tangannya di tarik kembali Aruna. "Ini restoran elite, Ra. Pasti harga makanannya mahal banget, kita cari makan di tempat lain aja ya, yang lebih murah. " memelas Aruna. Berusaha membujuk Rara agar mau pindah tempat makan.
Rara melepas pelan tangan Aruna yang menahan tangannya, "Gapapa lah sekali-kali kita makan disini, ini kan sebagai bentuk perayaan kelulusan kita, makan di sini aja ya? Makanannya gak begitu mahal kok, gua sering makan sama keluarga gua disini. " Rara berusaha membujuk Aruna agar makan bersamanya di restoran pilihannya.
Aruna diam sejenak, menetap wajah memelas Rara seperti kucing. Membuang nafas, Aruna akhirnya mengangguk setuju.
"Yes! Yok buruan masuk, cacing-cacing di perut gua udah demo minta di isi. " Aruna cuman terkekeh kecil sebagai balasannya.
Keduanya duduk di salah satu meja yang kosong, Rara mengangkat satu tangannya memanggil pelayan.
"Ya, nona mau pesan apa. " tanya pelayan laki-laki itu saat mendatangi meja keduanya, kedua tangannya sibuk memegang note kecil dan pulpen-guna untuk mencatat pesanan. Juga dengan buku menu yang di sodorkannya pada Rara.
"Emm, lo mau pesan apa, Na? Gua udah ada menu spesial yang sering gua pesan disini, kalau lo mau yang mana? " Rara menyodorkan buku menu pada Aruna.
"Aku ngikut kamu aja, Ra. Aku kan gak tau makanan yang enak dan pas di lidah. "
Rara mengangguk mengerti, dia menutup buku menu tersebut dan beralih pada pelayan yang senantiasa menunggu. "Saya pesan fried rice dua, grilled salmon fish satu, terus sama ini spicy chicken satu. Terus dessert nya fresh belgian waffles sama... " Rara menolehkan kepalanya menatap Aruna. "Lo mau dessert apaan, Na? Disini ada strawberry cheesecake, lo suka itu kan? "
Aruna dengan cepat menggelang kuat kepalanya, menolak. " Aku gak pesan dessert, Ra. Biar kamu aja. "
Rara menyergit dahinya, "Loh? Kenapa? "
Aruna menelan ludahnya susah payah, menatap sejenak pada pelayan yang senantiasa menunggu mereka memesan. "Aku akhir-akhir ini suka mual kalau makan yang manis-manis. " jelasnya.
Rara terdiam sejenak, yang kemudian mengangguk mengerti dengan mulut yang sedikit terbuka. "Terus minumannya gimana? " tanyanya kembali.
"Aku air putih aja, disini jual dengan air putih juga kan mas? " tanya Aruna pada pelayan.
"Iya, nona. Restoran kami juga menyediakan minuman air putih biasa. " jelas laki-laki itu.
Rara sekali lagi mengangguk mengerti, "Yaudah deh kalau begitu, kalau saya minumannya lemonade. Udah itu aja mas."
Sang pelayan mencatat semua pesanan yang di katakan Rara, setelah membaca ulang pesanan agar tidak terjadinya kesalahan. Pelayan itu pamit pergi, meminta menunggu sebentar untuk menyiapkan pesanan mereka.
"Kamu pesannya banyak banget, Ra. Emang habis nanti makanannya? Terus tagihannya pasti mahal, kita patungan ya bayarnya? Aku jadi gak enak sama kamu kalau begini. " ujar Aruna setelah pelayan itu sudah pergi dari meja mereka.
Rara mengibaskan tangannya didepan. "Udahlah, gak usah. Kan udah gua bilang tadi ini perayaan kelulusan kita, semuanya biar gua yang bayar. Terus makanannya pasti habislah nanti, disini porsi makanannya gak kayak di warung makan biasanya, kalau pesan satu menu aja, mana kenyang. " jelas Rara panjang lebar.
"Makasih ya atas traktirannya, sama traktiran yang sebelumnya. Aku ngerasa kayak ngemanfaatin kamu, setiap makan pasti selalu kamu yang bayarin. " Aruna menunduk tidak enak, selama tiga tahun menempuh pendidikan sekolah. Selalu Rara yang membayarkannya makan.
Sedangkan Aruna? Ya, cuman beberapa kali saja, itupun bukan makanan mahal dan mewah yang seperti Rara traktirkan padanya.
"Gak usah dibahas lah, gua traktir lo juga karena kemauan gua sendiri. Gak ada yang namanya ngemanfaatin atau apalah itu, lo juga pernah beberapa kali traktir gua, berarti kita seimbang dong namanya. "
"Ya tapikan beda–
–Apanya yang beda sih? Sama-sama di traktir juga. " potong Rara cepat, kesal juga dengan sifat Aruna yang emang gak enakan orangnya. Padahal Rara nya sendiri enak-enak aja tuh.
"Udahlah kita gak usah bahas beginian, ganti topik obrolan. Eh, btw. Setelah ini lo mau lanjut kuliah dimana, Na? Kalau gua nanti di kota X, disana ada nenek-kakek gua, mereka minta gua buat kuliah di sana sekalian temenin mereka. "
"Aku gak lanjutin kuliah, Ra. Kamu kan tau kondisi ku sekarang kayak gimana, habis ini aku fokus kerja aja buat ngumpulin uang untuk biaya persalinan nanti. "
Rara ikutan lemas mendengarnya, ingatannya kembali saat ucapan menyakitkan darinya. Seharusnya Rara tidak mengucapkan kata-kata seperti itu pada Aruna, dalam kasus ini Aruna lah yang lebih di rugikan.
Dia mengambil tangan Aruna yang di atas, di genggam erat menyalurkan sedikit tenaga. "Nanti kalau ada apa-apa, atau lo ada masalah. Jangan sungkan hubungi gua ya, Na? Gua sebisa mungkin bakal bantu lo. "
Aruna menggeleng kepalanya, tanda menolak. "Gak usah, Ra. Udah cukup selama ini aku sering nyusahin kamu terus. "
"Nyusahin apaan sih? Namanya sahabat pasti saling bantulah, lo juga pernah bantuin gua, kan? Bantuin gua belajar sama ngerjain tugas fisika yang gak gua ngerti, kalau gua sakit juga lo datang ke rumah ngurusin gua kalau orangtua gua pada sibuk kerja di luar kota. Selain sahabat, gua juga udah anggap lo kayak saudara gua, Na." ujar Rara panjang lebar menjelaskan rasa ga enak Aruna padanya.
"Makasih banyak ya, Ra. Gua beruntung banget bisa sahabatan sama lo, jangan lupain gua ya nanti kalau lo udah kuliah nanti. "
"Gua juga beruntung, Na. Punya sahabat kayak lo, gua juga gak bakal lupain lo, mau gua pergi sejauh mana pun, nama lo tetap ada di pikiran gua. "
Keduanya saling melemparkan senyuman penuh kehangatan dan penuh ketulusan, suasana haru itu harus terhenti saat pelayan datang membawa pesanan mereka. Keduanya tak mengeluarkan percakapan, fokus pada makanan yang sudah tersaji di depan mereka.
••••••
Terhitung sudah seminggu berlalu di hari kelulusan dan makan-makan perayaan bersama Rara. Kini, Aruna kembali pada kesibukannya di cafe.
Seharusnya di minggu-minggu ini kelulusan angkatannya, mereka berencana berlibur bersama di Villa yang lokasinya berada di puncak. Aruna tidak ikut, biaya bus dan sewa Villa terbilang cukup mahal untuk Aruna walaupun mereka uangnya dikumpul patungan.
Namun, bagi Aruna yang hidupnya pas-pasan. Uang segitu mana ada Aruna. Daripada berlibur, menghamburkan uang. Aruna mending menabung uangnya untuk persalinannya nanti. Aruna nanti tidak lagi hidup seorang diri, akan ada sosok bayi yang harus di nafkahinya nanti.
"Aruna, ini pesanan untuk meja nomor sembilan tolong diantarkan." suara Arjun mengagetkan Aruna yang tengah melamun, dia bergerak cepat menuju Arjun untuk mengambil nampan yang berisi berbagai macam pesanan pelanggan.
"Jangan sering melamun, awas kerasukan kuntilanak kamu nanti. "
Balasan Aruna cuma dengusan kesal. Ya beginilah mereka, kalau bukan Arjun yang dibuat darah tinggi, maka Aruna lah yang emosinya dipancing hingga menggebu-gebu.
Dirinya melongok pergi ke depan membawa pesanan, malas untuk menjawab ucapan Arjun.
"Aaahh, gila. Hari ini cuacanya panas banget, cafe juga hari ini gak begitu rame kayak kemarin." celetuk Arjun, membuat segelas es sirup jeruk dan duduk santai di kursi plastik dekat pintu belakang.
Tak lama kemudian. Aruna datang, menyimpan nampan di atas meja dan ikut duduk di samping Arjun.
"Dih, buat minuman kok gak ngajak-ngajak aku. " cemberutnya.
"Minum kok ngajak-ngajak, kalau haus sana buat sendiri. Mas lagi gerah banget, nih hari cuacanya panas banget. " ujar Arjun sambil mengibas-ngibas baju kaosnya yang tampak basah karena keringat.
"Hari ini cafe sepi ya, mas. Gak kayak hari biasanya." ucap Aruna sambil membuatkan minumannya yang sama seperti Arjun, setelah selesai dia kembali duduk di samping Arjun.
Arjun mengangguk setuju. "Ya namanya juga usaha, gak bisa maunya rame terus. Tapi cafe gak begitu sepi banget lah, ini hari lumayan juga pengunjung datang. "
"Terus gimana muntah-muntah kamu? Udah mendingan atau masih? Kamu kalau lagi sakit gak usah maksain buat kerja dulu, istirahat yang cukup dulu di kos, kalau udah benar-benar sembuh baru masuk kerja lagi. " ujarnya panjang lebar. "Jujur deh sama, mas. Kamu sebenarnya kenapa? Coba cerita pelan-pelan sama mas Arjun. "
Aruna menundukkan kepalanya, tangannya mencengkram kuat gelas di pegangnya. Aruna sebenarnya ingin menceritakan semuanya yang telah terjadi padanya. Namun dirinya belum punya keberanian untuk membuka mulutnya.
"Apapun yang kamu ceritakan nanti, mas gak bakal marah atau bagaimana nantinya. Kamu cerita ya, gak baik kalau ada masalah di pendam sendiri. " bujuk Arjun sekali lagi agar Aruna mau membuka mulutnya, Arjun sudah curiga. Melihat bagaimana keadaan Aruna beberapa minggu ini yang sering sekali muntah-muntah.
Karena takutnya menjadi fitnah, makanya Arjun meminta Aruna untuk menceritakan apa yang tengah perempuan itu alami. Perempuan itu tidak memiliki siapapun di dunia ini, Arjun sebagai orang yang sudah menganggap Aruna adeknya sendiri, apa yang tengah Aruna alami. Arjun merasa ini adalah tanggung jawabnya.
"Aruna bakal cerita semuanya sama mas, Arjun. Tapi nanti ya mas pulang dari cafe nanti, aku juga mau ke rumah, mau jenguk mama sekalian aku ceritakan juga sama mama. "
Arjun membuang nafas lega, akhirnya Aruna mau bercerita juga. "Yasudah kalau mau kamu begitu, sekalian menginap saja ya, mama pasti kangen berat sama kamu. Mama juga gak bakal biarin kamu pulang, apalagi malam-malam. "
Aruna hanya mengangguk mengerti dan mengiyakan apa yang di ucapkan Arjun. Aruna terdiam, mengumpulkan tenaganya untuk sebentar dia ceritakan kondisinya hingga jadi seperti ini.
Tidak akan dia tutupi. Aruna percaya Arjun dan mamanya tidak akan membuang atau mengusirnya, mungkin rasa kecewa akan dia dapatkan nanti.
Ya, Aruna harus mempersiapkan semuanya.
•
•
•