"Dengerin saya baik-baik, Ellaine! Kamu harus jauhin Antari. Dia bakal kuliah di luar negeri dan dia bakal ngikutin rencana yang saya buat. Kamu nggak boleh ngerusak itu. Ngerti?"
Gue berusaha ngontrol napas gue. "Nyonya, apa yang Ella rasain buat dia itu nyata. Ella—"
"Cukup!" Dia angkat tangannya buat nyuruh gue diam. "Kalau kamu beneran sayang sama dia, kamu pasti pengen yang terbaik buat dia, kan?"
Gue ngangguk pelan.
"Bagus. Karena kamu bukan yang terbaik buat dia, Ellaine, kamu tahu itu. Anak dari mantan pelacur, pecandu narkoba nggak pantas buat cowok kayak Antari."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Kenangan
Ini bahaya.
Gue bisa ngerasain panas tubuh Antari nembus ke kulit gue, lengannya melingkar di pinggang, bikin badan gue anget dan… bangunin perasaan yang seharusnya nggak gue rasain sama dia.
Dia terlalu dekat. Saking dekatnya, gue bisa lihat jelas tiap garis wajahnya yang tegas, jenggot tipisnya yang rapi banget. Dan sialnya, otak gue malah mulai mikir, bagaimana rasanya kalau jenggot itu nyentuh kulit gue langsung?
Tapi yang bikin ini bahaya bukan pikiran-pikiran nggak beres gue. Yang bikin bahaya itu sorot mata Antari.
Ini pertama kalinya dia punya kendali penuh atas situasi ini. Gue bisa lihat tekad di matanya. Kalau gue nggak hati-hati, ini bisa berakhir dengan....
Ah.
Sial.
Gue coba dorong dia, tapi dia malah makin menggenggam pinggang gue erat, narik gue lebih dekat.
"Kenapa lo selalu kabur dari gue?"
Gue nelan ludah. Tatapannya intens banget. "Gue nggak kabur dari lo."
Bibirnya melengkung sedikit, senyuman jahil yang belum pernah gue lihat sebelumnya. Itu bahaya. Dia kelihatan menggoda dan percaya diri.
Jauhin dia, Ellaine.
Suara di kepala gue ngingetin sesuatu yang benar, tapi tubuh gue nggak bisa bohong. Rasanya nyaman ada di pelukannya. Badannya keras, kuat, dan entah kenapa bikin gue merasa aman.
Gue harus ngambil kendali. Gue benci kehilangan kontrol. Itu bikin gue ngerasa rentan, dan gue nggak suka perasaan itu. Antari mungkin bisa ngatur orang lain dengan gampang, tapi dia nggak bakal bisa ngatur gue.
Gue mulai rileks di pelukannya. Dia langsung sadar, matanya nunjukin keterkejutan. Pelan, gue angkat tangan dan melingkarkan ke lehernya.
"Lo yakin bisa nge-handle ini?"
Antari kerutkan alis, jelas nggak nyangka. "Maksud lo?"
Gue kasih senyuman sinis. "Kalau lo dapetin gue, lo yakin bisa nge-handle?"
Dia nyengir miring, satu alisnya naik. "Percaya deh, gue bisa."
Gue gigit bibir bawah, merapatkan wajah gue ke dia.
"Yakin?"
Gue lihat dia nelan ludah, tapi dia nggak mundur. Hidungnya nyaris nempel sama gue. "Biar gue buktiin."
Jarak antara bibir kita hampir nggak ada. Sedikit aja salah satu dari kita gerak, semuanya bakal berubah.
Dia lebih tinggi dikit dari gue, jadi gue jinjit buat makin deket. Nafas kita bercampur. Tatapan kita terkunci, tegang jelas di antara kita.
Gue pengen cium dia.
Itu bikin gue kaget sendiri, karena awalnya gue cuma mau ambil kendali, bukan untuk memulai sesuatu.
Tapi sekarang dia di sini, bau tubuhnya, hembusan nafasnya, panasnya, hasrat di matanya. Gue tenggelam dalam keberadaannya, dan itu bikin otak gue kacau.
"Lo bakal goda gue semaleman?" bisiknya di bibir gue.
Sebelum gue menyerah sama keinginan gue sendiri, gue manfaatin momen ini buat menjebak dia. Dengan satu gerakan cepat, gue dorong Antari dan langsung lepas dari genggamannya.
"Gue harus pergi."
Dia nggak keliatan kaget sama sekali, malah cuma meraba jenggotnya santai.
"Nggak peduli sejauh apa lo berusaha kabur, ingat... ada hal-hal yang nggak bisa dihindari, Ellaine."
Gue lipat tangan di dada. "Contohnya?"
"Lo dan gue."
Gue abaikan omongannya. "Udah malem, gue benaran harus pulang."
"Gue anterin."
Gue nggak ngerti kenapa itu bikin gue senyum. "Nggak usah, makasih."
"Gue nggak nerima jawaban ‘nggak’." Dia jalan duluan sambil meraih tangan gue, narik gue buat ngikutin langkahnya. "Kita satu rumah, ingat?"
Gue nggak dikasih kesempatan buat nolak. Antari jalan santai menuruni tangga dari area VIP, melewati bar tempat bartender dan staf lagi ngobrol. Begitu mereka lihat kami, mereka langsung bubar. Gue tahu mereka pasti lagi ngomongin kita, keliatan dari ekspresi mereka.
Antari cuma lirik salah satu staf yang keliatan paling berkuasa di sana. "Gue cabut. Lo bisa buka lagi atau tutup sekalian, tanya Sion aja biar dia yang mutusin."
"Baik, Pak. Semoga malam kalian menyenangkan."
Gue cuma kasih senyum kecil sambil tetep membuntuti Antari.
Begitu keluar, dia bawa gue ke mobil klasiknya yang warna biru tua. Antari bukan tipe cowok yang suka mobil sport atau yang lebay. Dia lebih suka yang klasik, elegan.
Dia lepas tangan gue buat bukain pintu penumpang.
Sepanjang jalan pulang, suasananya sunyi tapi tegang. Gue sesekali ngelirik dia yang lagi nyetir, satu tangan di setir, satu lagi di tuas persneling. Dan entah kenapa, ada sesuatu yang seksi dari cara dia ngelakuin itu.
"Gimana kuliah lo?"
Pertanyaan itu nggak gue sangka, tapi setidaknya dia nyoba mecahin keheningan.
"Lancar, tinggal setahun lagi."
"Lo masih lemah dalam hal membaca?"
Gue tekan bibir, ngerasa malu. "Gue berusaha, oke?"
Dia senyum, dan sial, rasanya napas gue ketahan sesaat.
"Masih punya kebiasaan ketiduran tiap kali baca?"
Masih.
"Nggak, dong."
Dia nggak ngomong apa-apa lagi, dan gue ngerasa kayak orang bego karena terus-terusan menatapi dia. Jadi gue buang pandangan ke luar jendela, lihat rumah, gedung, dan pohon-pohon yang lewat cepat di samping mobil. Tapi itu malah bikin kepala gue muter gara-gara efek alkohol. Gue akhirnya balik lagi natap Antari.
Jam tangan di pergelangan tangannya yang ada di setir berkilau tiap kali kena pantulan lampu jalan. Semua tentang dia itu rapi, bersih, terawat.
Siapa pun yang baru pertama kali ketemu pasti bakal ngerasa dia dingin dan nggak bisa didekati.
Mereka cuma belum lihat sisi lain Antari. Sisi yang muncul waktu dia pasang badan buat adik-adiknya yang dibully pas SMA gara-gara masalah nyokap mereka. Atau waktu dia jadi tameng buat Anan, supaya bokapnya nggak ngebanting Anan.
Dia udah ngelakuin banyak hal yang nggak orang lain sadari, tapi gue sadar.
Kenapa gue bisa begitu gampang lihat sisi lain dari dia?
Apa itu alasan dia nggak pernah nyerah buat deketin gue?
Gue nggak bego.
Gue tahu banget, meskipun dia bukan lagi remaja yang pernah nembak gue di bawah kembang api bertahun-tahun lalu, masih ada kehangatan di matanya tiap dia ngelihat gue.
Tapi apa sih yang dia mau?
Cuma seks?
Atau sesuatu yang lebih?
Atau justru dia nggak pernah bisa dapetin gue yang bikin dia nggak bisa move on?
Ada bagian dari diri gue yang takut kalau setelah dia dapetin gue, dia bakal pergi. Takut kalau semua ini cuma soal adrenalin, soal ngejar sesuatu yang dia nggak bisa punya. Itu salah satu alasan kenapa gue selalu ngejaga jarak.
Antari ngelirik gue sekilas. "Lo lagi mikirin apa?"
Gue fokus ke jalan di depan. "Gue pikir gue orang yang paling irit ngomong, tapi lo selalu lebih parah."
Begitu nyampe rumah, gue buru-buru turun dan langsung ke kamar buat ngecek nyokap. Dia tidur nyenyak. Gue hembuskan napas lega, terus jalan ke dapur sambil meremas bahu gue sendiri.
Tapi pas nyampe sana, gue kaget. Antari udah ada di situ, berdiri di seberang meja dapur, tangannya menyandar di atas rak. Jasnya udah dilepas, tinggal kemeja yang lengan panjangnya masih rapi, tapi dasinya agak longgar.
"Gimana nyokap lo?"
Gue lewat di sampingnya buat ngambil botol air dari kulkas. "Baik."
Gue nggak ngerti kenapa gue tiba-tiba gelisah. Kenapa jantung gue berisik.
Santai, Ellaine.
Ini cuma hormon.
Dia cowok cakep dan lo tertarik.
Itu wajar.
Tapi ketegangan di antara kita udah naik level dari tadi. Kayak ada yang terus-terusan numpuk sepanjang malam.
Dan sekarang, ngeliatin dia di situ, dengan pakaian elegan yang nutupin tubuhnya yang jelas terlatih, dan tatapan matanya yang kelihatan menjanjikan banyak hal yang nggak senonoh.
Sial.
Gue ngerasa kayak lagi main api.
"Lo takut apa, Ellaine?"
Gue takut ngerasa terlalu dalam. Takut kelihatan rapuh. Takut gue nggak cukup pantas buat seseorang kayak dia. Takut dipakai terus ditinggalin, kayak nyokap. Takut kehilangan kemandirian yang udah gue bangun selama ini. Takut dia bakal bikin gue lupa sama tujuan hidup gue.
Gue takut banyak hal, Antari.
Andai dia bisa jadi kayak cowok lain, yang bisa gue ajak hubungan fisik tanpa drama. Tapi dia bukan cowok lain. Gue sama dia punya terlalu banyak sejarah. Terlalu banyak kenangan.
Gue teguk air gue, lalu tatap matanya langsung. Gue harus mengendalikan suasana, nurunin ketegangan ini. Jadi gue coba santai. "Hari lo berat?"
Dia nyilangin tangan di dada. "Tiap hari berat."
"Pasti susah ya, ngejalanin satu perusahaan sendirian?"
Dia ngelirik gue, terus hembuskan napas. "Udah biasa."
Gue nggak tahu kenapa gue malah ngajak ngobrol dia. Mungkin efek alkohol. Gue seharusnya udah balik ke kamar.
"Lo masih suka gambar?"
Senyum tipis muncul di bibirnya, tapi ada kesedihan di sana. "Masih."
"Gambar Pokémon?" goda gue, inget dia dulu pernah terobsesi sama itu pas kecil.
Dia langsung kasih gue tatapan tajam. "Itu udah lama banget."
Gue nggak bisa nahan senyum. Godain dia itu hiburan tersendiri. "Iya, iya, santai."
"Gue bisa tunjukin gambar-gambar gue kapan aja lo mau. Gue udah jauh lebih jago sekarang."
Gue angkat alis. "Gue yakin lo makin keren. Lo selalu cepet nangkep hal baru."
Dia kelihatan kaget. "Itu pujian?"
"Kenapa lo heran? Gue selalu suka gambaran lo. Bahkan, lo tuh…"
Gue berhenti. Gue nggak seharusnya bilang ini.
Matanya menyempit. "Gue apa?"
Gue tarik napas, terus buang pelan. "Gue pikir lo bisa jadi seniman hebat."
Wajahnya berubah.
Nggak ada lagi canda.
Yang ada cuma bayangan luka.
penasaran dgn part yg antari mukulin asta 🤔
btw, apa asta suka sama ella ya🤔