“Namamu ada di daftar eksekusi,” suara berat Carter menggema di saluran komunikasi.
Aiden membeku, matanya terpaku pada layar yang menampilkan foto dirinya dengan tulisan besar: TARGET: TERMINATE.
“Ini lelucon, kan?” Aiden berbisik, tapi tangannya sudah menggenggam pistol di pinggangnya.
“Bukan, Aiden. Mereka tahu segalanya. Operasi ini… ini dirancang untuk menghabisimu.”
“Siapa dalangnya?” Aiden bertanya, napasnya berat.
Carter terdiam sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Seseorang yang kau percaya. Lebih baik kau lari sekarang.”
Aiden mendengar suara langkah mendekat dari lorong. Ia segera mematikan komunikasi, melangkah mundur ke bayangan, dan mengarahkan pistolnya ke pintu.
Siapa pengkhianat itu, dan apa yang akan Aiden lakukan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy JF, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Perubahan Kondisi
“Aliyah, kita harus hati-hati,” kata Aksara perlahan, sambil menatap peta yang terbentang di meja kecil mereka. Kini, ia memiliki wajah baru yang nyaris tidak dikenali, bahkan oleh dirinya sendiri. Wajah itu masih menyimpan sisa-sisa rasa asing, meskipun sudah menjadi bagian dari identitas barunya.
Aliyah, yang kini mengenakan hijab dengan mantap, duduk di seberang Aksara. "Aku tahu, tapi berapa lama kita akan hidup seperti ini? Terus bersembunyi dan berpindah-pindah?" tanyanya, suaranya mengandung kelelahan namun penuh tekad.
“Tiga bulan lagi,” jawab Aksara sambil melipat peta. “Aku butuh waktu untuk menyusun semuanya. Setelah itu, kita bisa keluar dari sini dan memulai serangan.”
Aliyah mengangguk, meski ragu masih menyelimuti pikirannya. "Tapi Aksara... bagaimana jika mereka tetap menemukan kita? Orang-orang itu, mereka tidak akan berhenti, bukan?"
Aksara memandang Aliyah, matanya dingin namun tegas. “Justru itu alasan kita bersembunyi. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan segalanya. Aku tidak akan lari selamanya.”
Mereka telah tinggal di apartemen kecil di daerah terpencil selama tiga bulan terakhir. Tempat itu aman, jauh dari jangkauan kelompok yang terus memburu Aksara. Identitas barunya membuatnya merasa lebih tenang, meskipun ancaman masih membayangi.
“Emas batang yang sudah kita cairkan cukup untuk hidup tenang beberapa tahun ke depan,” kata Aksara sambil membuka tas kecil berisi dokumen-dokumen penting. “Aku sudah memindahkan uangnya ke beberapa rekening dengan identitas baru. Mereka tidak akan mudah melacak kita.”
Aliyah mengangguk lagi. "Tapi Aksara, aku hanya ingin tahu satu hal... kapan kau akan berhenti menyalahkan dirimu sendiri atas semua ini?"
Pertanyaan itu membuat Aksara terdiam. Ia menatap Aliyah, lalu menunduk. “Ini bukan soal menyalahkan diri sendiri,” katanya akhirnya. “Ini soal memastikan bahwa orang-orang yang mengejarku tidak lagi punya alasan untuk melukai orang lain.”
Aliyah mendesah panjang. “Kau selalu berbicara tentang melindungi orang lain, tapi kapan kau akan melindungi dirimu sendiri, Aksara?”
“Aku melindungi diriku,” jawab Aksara dengan suara pelan namun tegas. “Dengan cara ini.”
***
Hari itu, Aksara memutuskan untuk keluar sejenak, membeli bahan makanan yang mulai menipis. Dengan topi dan masker yang menutupi sebagian besar wajahnya, ia melangkah hati-hati di jalan-jalan sempit kota. Ia tahu betapa pentingnya tetap tidak mencolok.
Di pasar kecil, ia bertemu dengan seorang pria tua yang menjual buah-buahan segar. “Ini, ambil jeruknya,” kata pria itu ramah, sambil menyerahkan kantong kecil berisi buah.
Aksara mengangguk dan memberikan uangnya. Tapi saat pria itu hendak memberikan kembalian, sesuatu yang aneh terjadi. Seorang pria muda yang mencurigakan berdiri tidak jauh dari sana, memandang Aksara dengan tatapan tajam.
Aksara merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia segera mengambil kembalian tanpa mengucapkan sepatah kata pun, lalu bergegas pergi. Langkahnya dipercepat, dan ia berbelok ke jalan lain, menghindari tatapan pria tadi.
Namun, saat ia tiba di ujung jalan, suara langkah kaki terdengar di belakangnya. Seseorang mengikutinya.
***
“Aliyah, masuk lah ke kamar,” kata Aksara buru-buru saat ia kembali ke apartemen. Nafasnya sedikit tersengal, wajahnya tegang.
Aliyah terkejut. "Apa yang terjadi?" tanyanya sambil menghentikan pekerjaannya di dapur.
"Ada seseorang yang mencurigakan. Aku tidak tahu siapa dia, tapi dia pasti memperhatikanku di pasar," jawab Aksara cepat.
Aliyah menatapnya dengan mata melebar. “Tapi bukankah tempat ini aman?”
“Aman hanya untuk sementara,” jawab Aksara dengan nada dingin. “Aku harus selidiki sebelum mereka tahu lebih banyak.”
Namun, sebelum mereka sempat membereskan semuanya, terdengar suara gaduh dari luar pintu. Ketukan keras diiringi suara beberapa pria terdengar samar dari balik pintu kayu mereka.
Aliyah mendekat ke Aksara dengan wajah penuh ketakutan. "Aksara... siapa mereka?" bisiknya.
Aksara menajamkan pendengarannya, mencoba mengenali suara itu dan mengintipnya di balik lubang kecil.
“Bukain pintu! Kami tahu kalian di dalam!” teriak salah satu suara dengan nada kasar. “Jangan bikin ribet, atau kami masuk pakai cara kami!”
Aliyah memegang tangan Aksara erat, gemetar. “Apa mereka…?”
Aksara menggeleng perlahan. “Bukan musuhku yang lama. Tapi… mereka pasti mengira aku orang kaya karena belanja tadi. Preman pasar.”
Aliyah semakin pucat. “Mereka cuma mau uang, kan?”
Aksara menatapnya tajam. “Mungkin, atau lebih. Kita harus siap.”
Aliyah gemetar, berdiri di balik punggung Aksara, sementara ketukan di pintu berubah menjadi dentuman keras. Preman-preman di luar tidak sabar menunggu dan mulai memaksa membuka pintu.
“Aliyah, masuk ke kamar. Kunci pintunya,” perintah Aksara pelan, suaranya tetap tenang meski situasi memanas.
“Tapi… kau sendiri…” Aliyah tampak ragu, matanya penuh ketakutan.
“Jangan khawatirkan aku. Masuk sekarang,” potong Aksara dengan tegas.
Aliyah akhirnya menurut, melangkah mundur dan menutup pintu kamar. Sesaat setelah itu, pintu depan apartemen Aksara terdobrak dengan keras.
Preman-preman itu masuk dengan tampang penuh kemenangan. Salah satu dari mereka, pria bertubuh besar dengan tato di lehernya, tersenyum sinis. “Nah, jadi ini si kaya baru di pasar tadi. Pantes belanja banyak, ternyata tinggal di tempat begini.”
Aksara berdiri diam, tangan dimasukkan ke dalam saku celana, matanya mengawasi gerak-gerik mereka. Ia menghitung dengan cepat—lima orang, semua membawa senjata tumpul, seperti besi dan kayu.
“Kami nggak akan ambil banyak waktu,” lanjut si pria bertato. “Cukup kasih uang atau barang berharga, dan kami pergi tanpa ribut.”
Aksara tetap tenang. “Kalian yakin mau ambil jalan ini?” tanyanya datar.
Si pria bertato tertawa keras. “Lihat ini anak baru! Sok keren, ya? Hei, aku kasih kamu waktu tiga detik buat nurut. Kalau nggak…”
Belum selesai ancamannya, Aksara bergerak cepat. Dalam satu langkah panjang, ia menendang salah satu preman yang berdiri terlalu dekat, membuat pria itu terjatuh dengan keras ke lantai. Yang lain terkejut, tapi Aksara sudah melompat ke arah mereka.
Dua pria menyerang bersamaan, namun Aksara dengan lincah menghindar. Pukulan mereka meleset, dan Aksara memanfaatkan momentum itu untuk memukul salah satu dari mereka di perut, membuatnya terjatuh dan mengerang kesakitan.
“Apa-apaan ini?!” teriak si pria bertato, yang kini menyadari bahwa Aksara bukan target mudah.
Aksara tidak menjawab. Ia hanya fokus pada gerakan berikutnya, mengalahkan satu per satu lawannya dengan kombinasi tendangan dan pukulan yang presisi. Dalam waktu singkat, empat dari mereka sudah terkapar di lantai, mengaduh kesakitan.
Kini hanya tersisa si pria bertato, yang mulai mundur perlahan. “Hei, kita cuma bercanda, oke? Aku nggak serius…”
Aksara mendekat dengan langkah tenang, namun tatapannya tajam seperti elang. “Pergi sekarang, atau aku pastikan kalian nggak akan bisa jalan lagi.”
Pria itu mengangguk cepat, menyeret teman-temannya yang masih bisa bergerak. Dalam beberapa detik, mereka menghilang dari apartemen, meninggalkan suasana hening.
Aksara menarik napas panjang, lalu mengetuk pintu kamar. “Aliyah, mereka sudah pergi.”
Pintu terbuka perlahan, dan Aliyah muncul dengan wajah penuh kekhawatiran. “Kau… kau baik-baik saja?”
Aksara mengangguk. “Hanya sedikit latihan.”
Aliyah menatapnya dengan kagum dan sedikit takut. “Siapa sebenarnya kau, Aksara?” tanyanya lirih.
Aksara terdiam sejenak, lalu menatap keluar jendela. “Seseorang yang berusaha hidup cukup lama untuk meluruskan kesalahan.”
Namun, saat ia melihat ke luar, sebuah bayangan bergerak di sudut jalan. Bukan preman yang tadi, melainkan seseorang dengan langkah lebih terlatih, memegang telepon yang diarahkan ke apartemen mereka.
Aksara menyipitkan mata. "Mereka akan kembali. Tapi bukan cuma preman."
Aliyah menggenggam tangannya erat. “Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Bersambung.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Hi semuanya, jangan lupa like dan komentarnya ya.
Terima kasih.