Pada masa penjajahan Belanda, tanah Jawa dilanda penderitaan. Mela, gadis berdarah ningrat dari Kesultanan Demak, terpaksa hidup miskin dan berjualan jamu setelah ayahnya gugur dan ibunya sakit.
Saat menginjak remaja, tanah kelahirannya jatuh ke tangan Belanda. Di tengah prahara itu, ia bertemu Welsen, seorang tentara Belanda yang ambisius. Pertemuan Welsen, dan Mela ternyata membuat Welsen jatuh hati pada Mela.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon RizkaHs, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ꦠꦶꦒ
Kawadanan tan pantes kakenan.
Pagi itu, Mela berangkat lebih cepat dari biasanya. Langit yang mulai cerah memberi semangat baru pada langkahnya. Ia memasak lebih banyak jamu hari itu, meracik dengan penuh hati-hati, mencampurkan rempah-rempah yang telah dikenal oleh keluarganya sejak lama. Mela tahu bahwa, meskipun keadaan keluarganya sedang sulit, usaha yang dilakukannya harus tetap dijaga dengan penuh dedikasi. Ia menata bakul jamu di atas kepalanya, membiarkan aroma harum rempah-rempah mengiringi langkahnya yang ringan.
Sambil berjalan, Mela tak lupa untuk berteriak, "Jamu, jamu! Jamu sehat, jamu manis!" Suara teriakannya terdengar jelas di sepanjang jalanan, menyapa siapa saja yang melewati. Sebagian bangsawan dan petinggi setempat sudah terbiasa membeli jualannya. Mela tidak mengeluh, meski ia sering mendengar bisik-bisik di belakangnya. Mereka sering menganggapnya rendah karena kedudukan keluarganya yang jauh dari kemewahan.
Hari itu, langkah Mela membawanya hingga ke rumah Bangsawan Kaka, seorang bangsawan yang dulu sangat dihormati oleh ayahnya. Mela memutuskan untuk singgah sebentar. Begitu sampai di depan rumah, ia mengangkat bakul jamu dari kepalanya dan mengatur jarak. Begitu ia hendak memasuki halaman, suara keras dari dalam rumah terdengar.
"Mela, Mela, semenjak ayahmu tiada, kalian emang semiskin ini ya? Tidak ada yang bisa membantu?" kata Bangsawan Kaka sambil melirik dengan tatapan sinis.
Mela menundukkan kepala, meski ia tahu kata-kata itu tajam dan mengiris hati. "Iya, mau gimana lagi, demi berkelangsungan hidup kami," jawabnya singkat, namun ada rasa sedih yang sulit ia sembunyikan. Ia tidak bisa menyangkal bahwa hidup mereka memang jauh dari sejahtera setelah ayahnya pergi. Dulu, ayahnya adalah sosok yang sangat dihormati, tetapi sejak tiada, segalanya berubah.
Bangsawan Kaka hanya tersenyum lebar, seolah menemukan kesempatan untuk menertawakan nasib buruk Mela. "Hahaha, kalian bisa bertahan hidup hanya dengan berjualan jamu seperti ini?" ujarnya sambil tertawa pelan.
Mela menghindari tatapan Bangsawan Kaka, mencoba untuk tidak terlalu terpancing oleh hinaan tersebut. Ia tahu bahwa kata-kata semacam itu bukan hal baru, namun tetap saja, rasa sakit itu tetap ada.
***
Sore harinya, ketika langit mulai gelap dan matahari perlahan tenggelam, Mela melangkah pulang dengan langkah yang lebih lelah. Meski demikian, ia masih membawa bakul jamu yang setengah terisi. Ia berhasil menjual sebagian besar dagangannya, namun perasaan berat tetap menyelimuti hatinya.
Di rumah, ibunya menunggu dengan penuh harap, meskipun wajahnya juga menunjukkan keletihan yang sama. Ibunya yang sudah tua, kini semakin lemah, dan Mela tahu bahwa hidup mereka tidak akan mudah tanpa dukungan siapa pun. Dalam hati, ia berharap suatu hari nanti, mereka bisa keluar dari kesulitan ini.
Namun, perasaan itu bertambah berat setiap kali ia teringat kata-kata dari Bangsawan Kaka. Meskipun ayahnya sudah tiada, rasa hormat dan kebaikan yang pernah diberikan pada bangsawan itu seolah terlupakan begitu saja. Mela hanya bisa berdoa dan berusaha lebih keras, karena tidak ada yang bisa diandalkan selain dirinya sendiri dan ibunya.
Langkah Mela memasuki rumah, membawa harapan kecil dalam hatinya, meskipun hari itu terasa begitu berat.
"Mela, kamu kenapa? Ada bangsawan yang mengejekmu lagi ya?" tanya ibu Mela dengan cemas, melihat wajah putrinya yang tampak murung dan kelelahan saat pulang.
Mela terdiam sejenak, menatap lantai seakan menahan perasaan yang menggelora di dalam dada. Ia menghela napas panjang sebelum akhirnya menjawab dengan suara rendah, "Iya, Bu. Seolah mereka tidak pernah merasakan hidup di bawah, di tempat yang sulit. Mereka tidak tahu bagaimana rasanya berjuang, bagaimana rasanya hidup tanpa dukungan siapa pun. Tapi ya sudahlah, Bu. Namanya juga manusia, ada yang sombong, ada yang tak peka."
Ibunya melihat putrinya dengan hati yang berat, namun ia mencoba untuk tetap tegar dan memberi pengertian. "Anakku, jangan terlalu dipikirkan. Mereka tidak tahu apa yang kita rasakan. Kamu sudah berusaha dengan keras, itu yang terpenting."
Mela mengangguk pelan, meski rasa sakit itu masih menghujam hatinya. "Kalau gitu aku siap-siap mau beres-beres, ya, Bu," katanya dengan suara yang lebih tegar.
Ia kemudian pergi ke kamar mandi, menyiramkan air dingin untuk meredakan tubuhnya yang lelah. Setelah selesai mandi, Mela berdiri sejenak di depan cermin, memandang wajahnya yang basah. Ia tahu bahwa hidupnya tidak akan mudah, tetapi ia tak bisa berhenti berusaha. Setelah itu, ia keluar dari kamar mandi, berjalan ke dapur dengan langkah cepat.
Mela mengambil beberapa daun pisang dari laci yang ada di dekat kompor. Daun-daun itu sudah sering digunakan oleh keluarganya untuk membungkus jamu yang mereka jual. Hari ini, ia berniat membawa jamu itu ke nenek tua yang tinggal di gubuk dekat ladang mereka. Nenek itu selalu membantu, meski Mela tahu bahwa hidup nenek itu juga tidak mudah.
Setelah daun pisang cukup, Mela kembali ke kamar, menyiapkan barang-barang yang akan dibawanya. Ia membungkus jamu dengan hati-hati, memastikan bahwa semuanya terbungkus rapat.
Mela, yang sudah selesai menyiapkan jamu untuk dijual, sengaja menyisihkan beberapa bungkus jamu yang lebih sedikit untuk nenek tua yang tinggal di gubuk kecil di hutan. Di samping itu, ia juga menyiapkan bekal nasi dan lauk yang mereka makan, agar nenek itu tidak merasa kelaparan. Mela tahu betul, meskipun nenek itu tidak pernah mengeluh, hidupnya sangatlah sederhana. Maka dari itu, ia ingin memberikan sedikit perhatian kepada nenek, yang selamam ia kenal.
Mela berjalan menuju kamar ibunya, di mana ibunya sedang berbaring. "Bu, Mela pergi dulu ya," ujar Mela sambil menghadap ibu dengan senyum kecil.
Ibunya yang sedang berbaring di tempat tidur, mendongak sejenak, merasa sedikit khawatir. "Kamu mau kemana, Mela? Mau ngambil bahan-bahan jamu lagi?" tanyanya dengan nada lembut, meskipun ada kekhawatiran di matanya. Ibu Mela sudah cukup tahu bahwa perjalanan ke hutan tidak selalu aman, dan seringkali Mela harus menghadapi kesulitan sendirian.
Mela tersenyum, mencoba menenangkan hati ibunya yang selalu khawatir padanya. "Enggak kok, Bu. Aku mau ngantarkan ini," jawab Mela sambil memperlihatkan bekal nasi dan lauk yang ia bawa. Ia ingin memastikan nenek itu tidak merasa sendirian atau terlupakan, apalagi dalam keadaan yang serba sulit seperti sekarang.
Ibunya mengangguk, meskipun ekspresi wajahnya masih menunjukkan kekhawatiran. "Hati-hati ya, Mela. Jangan terlalu lama, nanti ibumu khawatir." Kata-kata ibu selalu penuh kasih sayang, meskipun tak jarang mereka harus menghadapi hidup yang penuh tantangan.
Mela mengangguk dan memeluk ibunya sejenak. "Tenang saja, Bu. Aku cuma sebentar kok."
***
Mela melangkah lebih dalam ke dalam ladang, menaiki jalan setapak yang berliku, hingga akhirnya sampai di gubuk nenek tua yang sederhana. Ketika ia mendekat, ia terkejut melihat nenek itu baru saja pulang. Rambut nenek yang putih panjang terlihat tertiup angin, dan wajahnya tampak sedikit lelah, meski masih menyunggingkan senyum hangat ketika melihat Mela.
"Ada apa kamu sampai ke mari, Mela?" tanya nenek itu dengan suara lembut, namun ada sedikit rasa penasaran dalam matanya.
Mela tersenyum, kemudian dengan perlahan ia meletakkan bakul jamu dan bekal nasi yang dibawanya. "Ini, saya membawa bekal makanan dan jamu jualan saya buat nenek. Barang kali nenek belum makan, dan biar badan nenek terasa enak, enggak pegal-pegal. Nenek minum jamu saya saja," jawab Mela sambil menyerahkan bekal yang telah disiapkan dengan penuh kasih.
Nenek tua itu menatap dengan mata yang penuh rasa haru. "Mela, Mela, kamu ini ya... sudah cantik, baik lagi. Kamu memang benar-benar keturunan kerajaan Demak, keturunan yang mulia. Tapi sayang, sebagian keturunan kerajaan Demak itu begitu sombong sekali," ujar nenek itu dengan nada lembut, seolah mengenang masa lalu.
Mela terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. Ia menundukkan kepala sejenak, berpikir tentang kata-kata nenek itu. Meski ia sangat menghargai penghormatan yang diberikan, Mela tahu betul apa yang dimaksud nenek. "Udahlah, Nek, enggak perlu membahas mereka. Setidaknya, kerajaan mereka makmur. Nenek susah membuatku bahagia," jawab Mela, berusaha menenangkan perasaannya. Ia mencoba untuk tidak membiarkan kata-kata tentang keturunan kerajaan Demak mengganggu pikirannya lebih jauh.
Nenek tua itu tersenyum, namun ada kesedihan yang tampak di matanya. "Kamu memang anak yang baik, Mela. Seperti ayahmu dulu... selalu rendah hati dan penuh kasih. Tidak peduli siapa pun kita, yang terpenting adalah bagaimana kita memperlakukan orang lain dengan hati yang tulus."
Mela mengangguk, meskipun hatinya masih berat. "Saya hanya ingin hidup yang tenang, Nek, tanpa harus merasakan kesombongan orang lain. Saya ingin bisa membantu orang sebanyak mungkin, seperti yang diajarkan ayah saya."
Nenek itu mengusap kepala Mela dengan lembut, penuh kasih sayang. "Kamu akan mendapat kebahagiaan dari kebaikan hatimu, Mela. Jangan pernah lelah berbuat baik, meskipun dunia kadang tidak mengerti. Kebaikanmu akan selalu mengalir, seperti sungai yang tak pernah kering."
Mela tersenyum mendengar ujaran nenek tersebut.