NovelToon NovelToon
Sebuah Titik Di Horizon

Sebuah Titik Di Horizon

Status: tamat
Genre:Tamat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: Gama Lubis

Seorang gadis yang tidak percaya cinta karena masa lalunya, tidak percaya dengan dirinya sendiri. Kemudian dihadapkan dengan seseorang yang serius melamarnya.


Jika dia akhirnya menerima uluran tangannya, akankah dia bisa lepas dari masa lalunya atau semakin takut ?"

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gama Lubis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Berita

Di dapur panti yang remang, suara air mengalir dari keran terdengar jernih, memecah keheningan yang menyesakkan. Malik dan Naima sibuk mencuci piring setelah makan malam yang terasa berat. Biasanya, suasana panti penuh canda tawa dari anak-anak, namun malam ini berbeda—kesedihan menggantung di udara setelah Malik mengabarkan kecelakaan Sekar.

Sambil menggosok piring, Naima melirik Malik. “Kamu ga pulang?” tanyanya, mencoba mencairkan suasana.

“Nanti aja,” jawab Malik dengan santai, tangannya tetap sibuk menggosok gelas yang hampir bersih.

“Pekerjaan kamu?” Naima bertanya, suaranya penasaran.

“Tidak usah dipikirkan,” Malik menjawab tanpa mengalihkan perhatian dari gelas di tangannya.

“Heh, kamu bakal dipecat, loh?” Naima menyindir ringan, tapi ada rasa cemas yang terselip di balik kata-katanya.

“Aku tau,” Malik mengangguk, suara sedikit lebih dalam. “Aku memang berniat berhenti.”

“Kenapa?” Naima terdengar lebih terkejut sekarang.

“Aku akan lanjut studi dalam waktu dekat,” jawab Malik, masih dengan sikap tenang.

“Serius? Di mana?” Naima menatapnya, penasaran.

“London. Tepatnya di London School of Economics and Political Science (LSE),” Malik menjelaskan dengan nada yang sedikit lebih berat, seolah-olah menggambarkan betapa besar langkah itu baginya.

“Ewh, namanya panjang ya.” Naima tertawa kecil, menggoda.

Malik tertawa pelan, mendengar keluhan polos Naima. “Ya, aku setuju. Tapi LSE cukup menjanjikan. Banyak tokoh hebat yang lulus dari sana.”

“Ah… iya-iya, sekarang kepalaku mau meledak saking kerennya,” jawab Naima, setengah bercanda, setengah terkejut dengan betapa besar impian yang dimiliki Malik.

“Jangan meledak dulu, masih ada banyak piring yang harus kamu cuci,” Malik menyahut, tersenyum licik.

Naima tertawa kecil mendengar lelucon Malik. Meski hanya sesaat, beban di dada Naima terasa lebih ringan. Hening kembali menguasai ruangan, hanya suara air dari keran dan gesekan piring yang sesekali terdengar. Mereka tenggelam dalam pikiran masing-masing, sampai akhirnya Naima kembali membuka suara.

“Malik, makasih. Aku ga tau harus apa tanpa kamu sekarang,” ucap Naima pelan.

Itu murni ucapan terima kasih. Kejadian ini tidak hanya mengguncang anak-anak panti, tapi juga dirinya. Dalam kekacauan ini, setidaknya ada satu orang waras yang bersama mereka, karena itu Naima bersyukur Malik memilih untuk tetap tinggal.

“It’s okay, Naima. Aku harap Kak Sekar baik-baik aja,”

Naima mengangguk pelan, meski hatinya masih diliputi kecemasan. Itu bukan hanya harapan Malik, melainkan harapan Malik dan anak-anak panti.

Keheningan kembali menyelimuti mereka, hanya diiringi suara gemericik cucian piring. Dalam hati, Naima berdoa, berharap keajaiban akan datang untuk Sekar.

***

Beberapa hari setelah kasus tabrak lari Sekar diselidiki. Diketahui bahwa pelakukanya adalah seorang putri anggota dewan kota. Berbarengan dengan itu berita penangkapannya menyebar dengan cepat dan menjadi perbincangan hangat di seluruh negeri. Pemberitaan itu langsung memunculkan banyak spekulasi. Beberapa media berusaha menggali lebih dalam, sementara yang lain malah fokus pada fakta bahwa pelaku adalah bagian dari keluarga berkuasa.

Kasus ini tidak hanya menarik perhatian media, tetapi juga menggerakkan dinas sosial untuk bertindak. Panti asuhan tempat anak-anak tinggal dinyatakan tidak layak huni dan secara resmi dibubarkan. Anak-anak yang menghuni panti itu dipindahkan ke panti asuhan baru, yang dinilai lebih mampu memenuhi kebutuhan mereka.

Namun, keputusan ini tidak berjalan mulus. Beberapa anak memberontak, menolak meninggalkan tempat yang telah mereka anggap sebagai rumah meski kondisinya memprihatinkan. Bagi mereka, panti itu adalah tempat penuh kenangan, meskipun kenyataan yang ada jauh dari kata ideal.

Keputusan ini dianggap yang terbaik untuk sekarang. Dengan kekurangan tenaga kerja dan minimnya perawatan, panti asuhan lama tidak lagi dapat memenuhi kebutuhan dasar anak-anak, baik secara fisik maupun emosional. Namun, bagi anak-anak, perpindahan ini tetap terasa seperti kehilangan, sebuah perpisahan yang sulit mereka terima.

Meski berat, Naima berusaha meyakinkan anak-anak bahwa di tempat baru mereka akan mendapatkan perawatan yang lebih baik dan kehidupan yang lebih layak.

“Gimana sekarang? Duh, aku ga tau harus bilang apa sama Kak Sekar. Dia bahkan masih belum bangun sejak kecelakaan,” ucap Naima, suaranya bergetar, penuh kecemasan.

“Tenang, Nai, semua bakal baik-baik aja, oke,” jawab Yudha dengan nada tenang, berusaha menyuntikkan rasa percaya diri ke dalam kata-katanya.

“Kamu ga akan bela dia ‘kan?” tanya Naima lagi, matanya tajam menatap Yudha, mencari kepastian.

“Kalau dia bersalah, ya ga akan aku bela,” sahut Yudha tegas.

“Tapi dia saudara kamu, Yud.”

Yudha menghela napas panjang, mencoba meredakan beban di dadanya. “Itu lain urusan, Nai,” jawabnya, suaranya terdengar mantap.

“Tapi, ayahmu…” Naima mencoba lagi, suaranya lebih lirih kali ini.

Yudha menatapnya dengan sabar, lalu menggeleng pelan. “Aish, kamu ini ribet ya,” katanya dengan seringai kecil yang muncul di sudut bibirnya.

Dia melangkah mendekati Naima, yang berdiri di dekat ranjang Sekar. Dengan lembut, Yudha menepuk kedua pundak gadis itu, mencoba menenangkan. “Tenang, semua bakal baik-baik aja, oke,” ulangnya dengan suara rendah, hampir seperti sebuah mantra yang ia rapalkan sekali lagi—bukan hanya untuk Naima, tapi juga untuk dirinya sendiri.

Apa benar semuanya akan baik-baik saja? Naima mempertanyakan itu dalam hati, seraya pandangannya kembali tertuju pada Sekar yang terbaring lemah. Pikirannya berputar-putar, mencari pegangan dalam ketidakpastian yang mencekam. Hatinya ingin percaya bahwa waktu akan menyembuhkan, tapi kenyataan yang ada di depan matanya membuat keyakinan itu goyah.

Naima menggigit kuku jemarinya, kebiasaan yang selalu muncul saat rasa cemas menguasai dirinya. Matanya sesekali melirik ke arah tempat tidur Sekar, tempat gadis itu terbaring tak sadarkan diri. Ruang rawat terasa lenggang, hanya ditemani dengung samar alat-alat medis yang terhubung pada tubuh Sekar.

Sementara itu, Yudha berdiri tak jauh darinya, menatap layar ponselnya yang tiba-tiba bergetar. Pemuda itu mengangkat alis, melihat nama penelepon di layar. Tanpa berkata apa-apa, dia beranjak pergi, melangkah ke luar ruangan untuk menjawab telepon tersebut.

Kepergian Yudha menyisakan keheningan yang lebih pekat. Naima menghela napas panjang, menggigit kukunya lebih keras, rasa cemasnya semakin menjadi-jadi. Pandangannya jatuh kembali pada Sekar, berharap keajaiban terjadi, meski hanya seberkas kecil. "Cepatlah bangun, Kak," gumamnya lirih, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan ruangan.

***

Yudha melangkah keluar dari rumah sakit, udara malam yang dingin menyelimuti tubuhnya. Langkah kakinya berat, pikirannya penuh dengan amarah yang sulit diredam. Panggilan tadi datang dari seseorang yang mengaku kaki tangan Yasmin, putri anggota dewan yang kini mendekam di penjara kota.

"Berani-beraninya dia memanggil gue," gumam Yudha dengan rahang mengatup keras.

Langkahnya terus berlanjut menuju halte terdekat. Hujan gerimis mulai turun, seolah-olah langit pun ikut menangisi kebiadaban Yasmin. Ingatan tentang tubuh Sekar yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit kembali menghantam pikirannya, menyalakan api dendam yang ia coba padamkan sejak kejadian itu.

Sesampainya di penjara kota, Yudha menatap gedung itu dengan pandangan penuh kebencian. Ia melewati prosedur dengan cepat, tanpa banyak bicara. Ketika akhirnya ia berada di ruang kunjungan, Yasmin sudah duduk di sana, mengenakan pakaian tahanan. Wajah cantiknya yang biasanya dipoles sempurna kini tampak lelah, tapi mata gadis itu masih menyiratkan kesombongan.

Yudha duduk di depannya, kedua tangannya terkepal erat di atas meja kecil yang memisahkan mereka. Napasnya berat, seperti mencoba menahan sesuatu yang ingin meledak. "Apa yang mau lo sampaikan sama gue?" tanyanya dengan nada dingin.

Yasmin hanya tersenyum tipis, seringai sinis yang membuat darah Yudha semakin mendidih. Dia menatapnya seolah tak ada beban, seolah semua ini lelucon belaka. Tak tahukah gadis itu betapa sulitnya Yudha menahan dorongan untuk meninju wajah arogan itu?

"Santai, Yud," Yasmin berkata sambil menyandarkan tubuhnya dengan santai. "Gue nggak tahu kalau dia kenalan lo."

Yudha menggeram pelan, menggigit sisi dalam bibirnya. "Dan setelah lo tahu, lo nggak merasa bersalah sama sekali manggil gue ke sini?"

Yasmin mengangkat bahu, ekspresinya tak berubah. "Justru karena itu gue manggil lo. Karena gue bukan pelakunya."

Yudha mendengus tajam. Amarahnya semakin sulit dibendung. "Lalu siapa? Jangan bilang lo nggak tahu apa-apa soal ini."

Raut wajah Yasmin mendadak mendung, ingatannya menerawang pada kejadian beberapa waktu lalu. "Seorang pekerja di kantor gw, punya video gw ganti baju, dia minta gw datang ketempat yang dia mau, tapi ternyata gw di jebak, akhirnya gw kabur dan dikejar sama komplotan orang."

"Jangan cari alasan, Yasmin," Yudha membentak, suaranya rendah namun penuh tekanan. "Mobil itu milik lo. Rekaman CCTV jelas nunjukin itu. Kalau lo nggak nyetir, siapa yang pakai mobil lo?"

Ekspresi Yasmin berubah, sedikit kesal. Matanya menyipit, menatap tajam balik ke arah Yudha. "Kalau gue tahu, lo pikir gw akan tetap disini dan biarin dia bebas? Otak kayaknya tumpul gara-gara yang celaka kenalan lo."

Yudha menatapnya tajam, rahangnya mengeras. "Berapa lama kita tinggal serumah, Yasmin? Sampai kapan lo mau main petak umpet kayak gini?”

"Lo pikir gw mau di sini?" Yasmin menyandarkan tubuhnya ke kursi, kedua tangannya terlipat di dada. "Gue juga nggak senang liat pelakunya ketawa diatas penderitaan gw. Gue mau pelakunya ketahuan, sama kayak lo."

Yudha mengalihkan pandangan, mencoba menenangkan dirinya. Matanya terpejam sejenak, menarik napas panjang untuk meredakan gejolak di dalam dadanya. Hatinya tahu, Yasmin berkata jujur. Tapi dia tidak tahu seberapa jauh dia bisa mempercayai gadis itu.

1
sSabila
Hai kak aku udah baca beberapa part dan sudah aku like, ceritanya bagus banget kak

Jangan lupa mampir juga di novel terbaru aku "Bertahan Luka"

Ditunggu ya kak
Beerus
Wow, nggak nyangka sehebat ini!
gamingmato channel
Aku udah jatuh cinta dengan karakter-karaktermu. Keep writing! 💕
☯THAILY YANIRETH✿
Mantap jiwaa!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!