"Maka Jika Para Kekasih Sejati Telah Melewatinya, Cinta Tegak Berdiri sebagai Sebuah Hukum Pasti Dalam Takdir."
Sebuah novel yang mengisahkan perjalanan epik seorang pemuda dalam mengarungi samudera kehidupan, menghadirkan Hamzah sebagai tokoh utama yang akan membawa pembaca menyelami kedalaman emosional. Dengan pendalaman karakter yang cermat, alur cerita yang memikat, serta narasi yang kuat, karya ini menjanjikan pengalaman baru yang penuh makna. Rangkaian plot yang disusun bak puzzle, saling terkait dalam satu narasi, menjadikan cerita ini tak hanya menarik, tetapi juga menggugah pemikiran. Melalui setiap liku yang dilalui Hamzah, pembaca diajak untuk memahami arti sejati dari perjuangan dan harapan dalam hidup.
"Ini bukan hanya novel cinta yang menggetarkan, Ini juga sebuah novel pembangun jiwa yang akan membawa pembaca memahami apa arti cinta dan takdir yang sesungguhnya!"
More about me:
Instagram: antromorphis
Tiktok:antromorphis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Antromorphis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rahasia yang Sebenarnya!
Pagi itu, suasana di kamar Mbah Dul terasa hangat meski angin semilir menyapu lembut dari luar jendela. Hamzah duduk di samping Mbah Dul, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut pria tua itu dengan seksama. Mbah Dul, dengan wajah keriputnya yang penuh pengalaman, mulai bercerita.
"Simbah sudah tua, nak," ucapnya pelan, menatap Hamzah dengan mata yang penuh makna. Hamzah hanya menunduk, merasakan beratnya kata-kata itu. "Simbah masih berbohong kepadamu dan Robi satu hal," lanjut Mbah Dul, membuat Hamzah mengangkat wajahnya, penasaran.
Dengan suara lembut, Mbah Dul melanjutkan, "Simbah sebenarnya tidak memiliki anak. Tiga tahun lalu, istri simbah meninggal dunia dan mungkin sebentar lagi simbah akan menyusulnya." Kalimat itu menghujam hati Hamzah. Ia terdiam, tidak bisa berkata-kata selain mendengarkan penjelasan dari Mbah Dul.
Melihat Hamzah yang kurang nyaman dengan apa yang Mbah Dul katakan, beliau kemudian mencoba mencairkan suasana. "Kamu nanti berangkat jam berapa, Nak Hamzah?" tanyanya.
"InsyaAllah jam tujuh, Mbah," jawab Hamzah lirih. Senyuman muncul di wajah Mbah Dul, seolah mengingatkan Hamzah akan kenangan indah yang pernah mereka miliki.
Keheningan terjadi beberapa saat, obrolan kembali berlanjut ketika Hamzah merasa ada sesuatu yang mengganjal di pikirannya, pertanyaan yang menggelayut di fikiran nya seusai sholat subuh. "Mbah, Hamzah mau bertanya," katanya ragu-ragu.
"Mau tanya apa nak?" sahut Mbah Dul dengan nada penuh perhatian.
"Setelah sholat subuh tadi, Hamzah melihat sebuah bingkai besar yang menarik perhatian," lanjut Hamzah. "Itu foto sewaktu simbah masih muda ya, Mbah?" tanyanya lagi dengan rasa ingin tahu yang membara.
"Oh foto itu, iya nak," jawab Mbah Dul sambil tersenyum. "Itu foto simbah dan sahabat simbah sewaktu masih muda. Lalu yang membuat kamu penasaran apa nak?"
Hamzah melanjutkan pertanyaannya, "Di dalam foto tersebut, ada seorang remaja yang tampak tidak asing bagi Hamzah. Di bawah foto tertulis nama Rozi. Apakah remaja itu masa kecilnya pak kyai Rozi dari kampung Hamzah, Mbah?"
Mendengar pertanyaan itu, senyum Mbah Dul semakin lebar. "Jadi kamu sudah tahu ya?" tanyanya dengan nada menggoda.
“Tahu apa ya Mbah?” balas Hamzah bingung seraya mengerutkan dahi.
“Iya nak, itu adalah masa kecil guru kamu” jawab Mbah Dul dengan lembut. Hamzah terkejut mendengar penjelasan tersebut.
"Jadi benar itu foto pak kyai! Lalu bagaimana bisa simbah berteman dekat dengan pak kyai?" tanya Hamzah penuh rasa ingin tahu.
"Nak Hamzah," jawab Mbah Dul sambil tertawa kecil, "kan kemarin waktu di kereta simbah bilang kalau rumah simbah dekat dengan kampung halaman Nak Hamzah. Kalau masalah ini simbah berkata jujur."
Mbah Dul kemudian memulai ceritanya dengan suara lembutnya, “Rumah simbah yang ada di desa itu dulu adalah rumah masa kecil simbah bersama kedua orang tua simbah. Simbah hidup bertiga di sana, karena simbah adalah anak tunggal.” Ia mengisahkan bagaimana ia sering bermain di desa kelahiran Hamzah, tempat di mana persahabatan sejati terjalin.
Hamzah mengingat kembali foto yang ada didalam bingkai. Dalam ingatannya, Mbah Dul kemudian melanjutkan ceritanya, “Empat sahabat yang ada di foto itu adalah simbah, Taufiq, Yahya, dan Rozi. Mereka bertiga adalah sahabat-sahabat simbah di Sawah Lor,” ucapnya sambil mengingat wajah-wajah ceria dalam foto tersebut. Mbah Dul melanjutkan, “Mula-mula sahabat simbah adalah Yahya. Nah, Yahya sendiri adalah kakak dari kyai mu.”
“Kalau kakak dari pak kyai Rozi saya belum pernah ketemu Mbah,” Hamzah menjawab dengan penuh rasa ingin tahu. “Dulu pak kyai pernah bilang bahwa beliau memiliki seorang kakak yang sudah meninggal dunia.” Sambung Hamzah mencoba menjelaskan ketidaktahuan nya.
“Iya nak, Yahya adalah kakak dari kyai mu. Dia pergi merantau di Kalimantan dan berkeluarga di sana hingga akhir hayatnya,” jelas Mbah Dul sambil meneguk air dari gelasnya.
Dengan senyum nostalgia, Mbah Dul melanjutkan, “Di dalam foto itu, simbah dan Yahya seumuran. Taufiq dan Rozi terpaut cukup jauh usianya. Taufiq adalah sahabat kyai mu. Setelah bersahabat dengan Yahya, simbah jadi akrab dengan Rozi. Rozi kemudian mengenalkan Taufiq kepada simbah. Akhirnya kami berempat menjadi sahabat.”
Mbah Dul sangat antusias ketika bercerita tentang petualangan mereka di masa muda—bagaimana mereka saling mendukung dalam belajar agama dan menghadapi tantangan hidup. “Gurumu adalah sosok yang sangat bijaksana, walaupun di masa itu dia paling muda diantara kita bertiga” kenangnya. “Dia selalu mengingatkan kami untuk tetap rendah hati dan bersyukur.”
Hamzah mendengarkan dengan seksama, merasakan kedalaman ikatan antara Mbah Dul dan sahabatnya. Setiap cerita membawa pelajaran berharga tentang persahabatan dan komitmen terhadap nilai-nilai kehidupan.
Hamzah mengangguk memahami cerita tersebut. “Ternyata seperti itu ya mbah ceritanya. Pasti simbah kangen ya dengan mereka.”
Mbah Dul tersenyum mendengar tanggapan dari Hamzah. Kemudian Hamzah terdiam sejenak, ia teringat pesan terakhir dari pak kyai sebelum ia pergi ke Inggris. Setelah beberapa saat berpikir, ia bertanya lagi, “Mbah Dul, ada satu hal lagi yang ingin Hamzah tanyakan.”
“Apa itu nak?” Mbah Dul menatap Hamzah dengan penuh perhatian.
“Sebelum Hamzah pergi, pak kyai sempat berpesan jika nanti setelah saya sampai di Inggris, beliau meminta saya untuk menemui sahabatnya. Apakah sahabat yang pak kyai maksud itu adalah Pak Taufiq?” tanya Hamzah penasaran.
“Lhoh, si Rozi tidak bilang siapa nama yang harus kamu temui disana?” jawab Mbah Dul.
“Tidak mbah, pak kyai hanya bilang bahwa beliau punya sahabat yang sekarang tinggal di Inggris dan menjadi salah satu dosen di Universitas Oxford,” lanjut Hamzah.
“Ohhh, seperti itu. Ya ya, memang benar Nak Hamzah. Taufiq tinggal di sana dan dia menjadi dosen di Universitas Oxford,” jawab Mbah Dul dengan nada bangga.
“Wahh, terima kasih banyak Mbah Dul,” seru Hamzah penuh rasa syukur.
Mbah Dul kemudian melihat jam dindingnya dan berkata, “Wah, ternyata sudah jam setengah enam. Lebih baik kamu segera mandi lalu sarapan.”
Hamzah pun melihat jam dinding dan menyadari waktu yang telah berlalu begitu cepat. “Wah iya mbah, sudah jam setengah enam. Yasudah kalau begitu, Hamzah mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya ya mbah.”
“Sudah tidak usah dipikirkan lagi, ini semua sudah menjadi takdir dari Allah,” ucap Mbah Dul sambil tersenyum hangat.
Setelah mendengar kisah itu, Hamzah merasa terinspirasi untuk meneruskan jejak persahabatan dan kebijaksanaan Mbah Dul dan ketiga sahabatnya dalam hidupnya sendiri. Ia menyadari bahwa perjalanan ke luar negeri bukan hanya untuk mengejar cita-cita pribadi tetapi juga untuk membawa nilai-nilai tersebut ke tempat baru. Dengan semangat baru dan harapan di hati, Hamzah bersiap untuk menghadapi dunia baru
***
Hamzah beranjak dari duduknya dan melangkah cepat menuju kamar, hatinya berdebar penuh semangat. Di dalam kamar, ia melihat Robi masih terbaring lelap, napasnya tenang. Hamzah mendekat dan menggoyangkan kaki Robi dengan lembut, berusaha membangunkannya.
“Rob, bangun. Ayo mandi lalu persiapan. Rob bangun!” serunya, suaranya penuh harap.
Robi terbangun, matanya masih setengah terpejam. “Jam berapa Zah?” tanyanya, suaranya serak karena baru bangun tidur.
“Sudah hampir jam enam, ayo bangun,” jawab Hamzah dengan tegas.
“Kalau begitu, kamu mandi dulu. Aku mau persiapan. Nanti gantian,” ucap Hamzah sambil merapikan barang-barangnya yang berserakan.
“Iya Zah,” jawab Robi pendek, lalu beranjak dari tempat tidur. Ia mengambil peralatan mandinya dari dalam koper yang terbuka di sudut kamar. Hamzah juga mulai sibuk mengemas barang-barangnya ke dalam koper.
Beberapa saat kemudian, suara air mengalir dari kamar mandi menandakan Robi telah selesai mandi. Hamzah pun segera bertanya, “Sudah selesai Rob?”
“Sudah Zah,” jawab Robi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.
“Oke Rob, gantian aku mau mandi dulu,” sahut Hamzah sambil mengambil peralatan mandinya dan melangkah ke kamar mandi.
Waktu menunjukkan pukul enam pagi ketika keduanya telah siap. Mereka duduk di tepi tempat tidur, berbincang-bincang ringan tentang rencana hari ini. Tiba-tiba, suara ketukan pintu memecah suasana tenang di kamar.
“Tok...tok...tok,” suara ketukan itu semakin jelas.
Robi yang kebetulan dekat pintu segera membukanya. Di depan mereka berdiri bibi, wajahnya ceria dan penuh semangat. “Mas Robi, Mas Hamzah. Sudah selesai dengan persiapannya?” tanyanya ramah.
“Iya bi, ini saya dan Hamzah sudah selesai,” jawab Robi dengan senyum lebar.
“Alhamdulillah! Kalau begitu mari sarapan dahulu. Sudah ditunggu Tuan Dul di ruang makan,” timpal bibi dengan nada ceria.
“Iya bi,” sahut Hamzah dan Robi secara bersamaan sebelum mereka melangkah keluar dari kamar menuju ruang makan.
Sesampainya di ruang makan, mereka melihat Mbah Dul sudah menunggu dengan sabar di meja makan yang telah disiapkan dengan rapi. Aroma masakan yang menggugah selera memenuhi ruangan.
“Alhamdulillah! Ayo duduk sini. Kita sarapan dahulu,” ucap Mbah Dul sambil mengisyaratkan agar mereka duduk di sampingnya.
“Iya Mbah,” sahut mereka bergantian sambil mengambil tempat duduk.
Setelah mereka nyaman di kursi masing-masing, dua orang pelayan datang membawa troli berisi hidangan lezat yang sudah disiapkan. Mbah Dul tersenyum puas melihat makanan yang tersaji di depan mereka.
“Ayo Hamzah, Robi, segera dimakan!” serunya penuh semangat.
“Iya Mbah, simbah juga!” timpal Hamzah ceria.
Mereka bertiga pun segera menyantap sarapan pagi itu dengan lahap, menikmati setiap suapan yang ada di atas meja hingga tidak ada yang tersisa. Suasana hangat dan penuh kebersamaan terasa begitu kental di antara mereka, menandai awal hari yang penuh harapan dan cerita baru yang akan segera dimulai.