NovelToon NovelToon
I Adopted Paranormal Dad

I Adopted Paranormal Dad

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Reinkarnasi / Pendamping Sakti
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: Matatabi no Neko-chan

Setelah sembilan belas kehidupan yang penuh penderitaan, Reixa terbangun kembali di usianya yang kesembilan tahun. Kali ini dengan gilanya, Reixa mengangkat seorang pria sebagai ayahnya, meninggalkan keluarganya setelah berhasil membawa kabur banyak uang.
Namun, siapa sangka Reixa membangkitkan kemampuannya dan malah berurusan hal di luar nalar bersama ayah angkatnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Matatabi no Neko-chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Reixa membuka matanya perlahan, kelopak matanya terasa berat. Cahaya putih terang menyilaukan pandangannya saat ia mengerjap beberapa kali.

"Apakah aku mati lagi dan memulai kehidupan ke dua puluh satu?" pikirnya dengan nada datar, dia memutar bola matanya sejenak sebelum mengamati sekeliling dengan ekspresi bosan.

Namun, suara alat pengukur detak jantung menusuk telinganya, diiringi aroma khas rumah sakit yang menusuk hidung. Pemandangan makin aneh ketika beberapa sosok transparan melayang di sekitarnya, menembus dinding tanpa peduli keberadaannya.

"Haha... aku masih hidup. Tapi ini sungguh bercanda," gumamnya pelan.

Ketika menoleh, pandangannya bertemu dengan seorang pria yang duduk di kursi di samping ranjangnya. Sosok itu tampan dengan rambut putih keperakan dan sepasang mata emas yang memancarkan perhatian lembut.

"Wow, selama dua puluh kehidupan, aku belum pernah bertemu pria tampan seperti kamu," ujarnya tanpa basa-basi, menatap pria itu penuh penilaian dari kepala hingga kaki.

Pria itu tersenyum tipis, seolah tidak terganggu oleh komentar blak-blakan gadis kecil di depannya. "Kau tidak bercanda, Nak. Kau masih hidup setelah jatuh ke dasar jurang. Dan seorang pria membawa dirimu kemari," jelasnya dengan nada ramah.

Namun, perhatian Reixa segera beralih ke sosok-sosok transparan yang melayang di sekelilingnya, mengerubungi seperti tertarik pada energi yang dia pancarkan. Wajah-wajah mereka mengerikan—mata kosong, mulut menganga, dan ekspresi menyedihkan yang menghantui.

"Tidak mungkin! Ini hanya mimpi, ini hanya mimpi!" teriak Reixa dengan suara penuh kepanikan. Matanya membelalak, napasnya tersengal. Ketakutannya semakin nyata saat salah satu dari mereka mencoba menyentuhnya.

Gadis itu memekik dan meronta, mencoba menghindar, hingga akhirnya tubuh kecilnya menyerah pada ketakutan itu, dan ia kembali pingsan dengan wajah pucat pasi.

Pria di sampingnya menghela napas panjang, menatap Reixa dengan ekspresi penuh pengertian. "Hantu-hantu itu pasti tahu siapa kau sebenarnya, Nak," gumamnya pelan, "Namun, kau harus lebih kuat dari mereka jika ingin bertahan."

🐾

Reixa membuka matanya perlahan. Cahaya putih ruangan rumah sakit membuatnya mengerjap beberapa kali. Ia merasakan tubuhnya lemas dan sakit di seluruh bagian, namun perhatiannya segera tertuju pada sosok yang duduk di kursi tunggu, menatapnya dengan cemas—Saverio.

"Nak, bagaimana perasaanmu? Ada yang sakit?" tanya pria itu lembut, sambil menyerahkan sebotol air mineral yang dipegangnya.

Reixa berusaha duduk, lalu menatapnya dalam-dalam sejenak sebelum mengambil botol itu. "Sudah lebih baik, Om. Tapi, tubuhku rasanya sakit semua," ujarnya lirih, kemudian segera meminum air tersebut dengan rakus.

Saverio tersenyum tipis dan menghela nafas lega. "Aku menemukanmu di dasar jurang. Untung saja kau tidak mengalami luka serius atau patah tulang. Dokter bilang, dua hari lagi kau sudah bisa pulang."

Tatapan Reixa langsung berbinar mendengar kabar itu, namun tak lama kemudian meredup. "Aku nggak punya rumah, Om," ucapnya pelan, suaranya sarat dengan kesedihan.

Saverio menatapnya penuh perhatian. "Bukannya kau menyuruhku membeli rumah lengkap dengan ladang kemarin? Aku sudah mendapatkannya untukmu."

Reixa mendongak, wajahnya mencerminkan keterkejutan yang samar. Namun, sejenak kemudian, senyumnya memudar. "Apalah arti sebuah bangunan tanpa ada orang yang peduli padaku. Seharusnya Om biarin aku mati di sana. Tapi, makasih udah mau beliin aku rumah."

Kalimat itu diucapkan dengan senyum tipis yang dipaksakan, matanya menyimpan luka mendalam. Saverio tertegun, tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata gadis kecil itu menusuk ke dalam hatinya.

Ia terdiam sesaat, lalu mendekat dan duduk di tepi tempat tidur Reixa. "Nak, aku mungkin bukan siapa-siapamu, tapi kau harus tahu satu hal. Tidak ada seorang pun yang pantas hidup sendirian. Rumah itu hanya permulaan. Kalau kau butuh seseorang, aku ada di sini," katanya dengan suara yang penuh ketulusan.

Reixa menatapnya, air mata mulai membayang di pelupuk matanya. "Om... Om benar-benar tidak akan meninggalkan aku?" tanyanya dengan suara kecil, nyaris seperti bisikan.

Saverio mengangguk mantap. "Tidak, Nak. Aku tidak akan pergi ke mana pun. Kau adalah tanggung jawabku sekarang."

Untuk pertama kalinya, Reixa merasa kehangatan yang tulus. Meski dirinya adalah jiwa yang telah mengalami sembilan belas kehidupan penuh penderitaan, kini, setidaknya ada seseorang yang benar-benar peduli padanya.

Dan tanpa disadari, air mata mulai mengalir perlahan di pipi Reixa. Gadis kecil itu mencoba menghapusnya dengan punggung tangan, namun semakin keras ia berusaha menahan, semakin deras air matanya mengalir.

Reixa mulai terisak, bahunya berguncang hebat. "Makasih, Om... Hiks... Makasih... Aku... Hiks... Aku..." ucapnya terbata-bata, suaranya tersendat oleh tangis yang tak bisa ia kendalikan.

Saverio terdiam, matanya melembut melihat gadis kecil itu. Ia tidak menyangka, di balik sikap keras kepala dan sinis Reixa, ada begitu banyak rasa sakit yang selama ini ia pendam.

Reixa memeluk lututnya sendiri, membenamkan wajahnya di sana, sementara tangisnya berubah menjadi sesenggukan yang memilukan.

Saverio menghela napas pelan, lalu dengan hati-hati mengulurkan tangannya, menepuk punggung kecil Reixa dengan lembut. "Tidak apa-apa, Nak. Menangislah kalau itu membuatmu merasa lebih baik. Kau sudah terlalu lama memendam semuanya sendirian."

Reixa tidak menjawab, hanya tangisnya semakin keras, seperti bendungan yang akhirnya jebol. Ia menangis untuk semua rasa sakit, kehilangan, dan ketidakadilan yang telah ia alami selama sembilan belas kehidupan.

Saverio tidak mengatakan apa-apa lagi, hanya duduk di samping tempat tidur, menemaninya. Meski ia tidak sepenuhnya memahami masa lalu gelap yang membelenggu gadis kecil itu, satu hal yang ia tahu pasti—ia akan menjadi pelindung yang tidak pernah dimiliki Reixa sebelumnya.

Setelah beberapa lama, tangis Reixa perlahan mereda. Matanya merah dan sembab, wajahnya tampak lelah, namun ada sedikit rasa lega yang terlihat di sana. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa bahwa ada seseorang yang benar-benar peduli padanya tanpa pamrih.

"Makasih, Om," ucap Reixa dengan suara serak, menatap Saverio dengan mata yang berkilauan oleh air mata.

Saverio hanya tersenyum kecil. "Kau tidak perlu berterima kasih, Nak. Aku di sini karena aku ingin melindungimu."

"Om..." lirih Reixa, suaranya nyaris tak terdengar, sebelum tubuh mungilnya maju memeluk Saverio dengan erat di atas ranjangnya. "Siapa orang ubanan itu, Om?" tanyanya dengan nada takut, tangannya menunjuk ke sudut ruangan. Di sana, seorang pria bersurai putih tampak berdiri sambil tersenyum cerah ke arahnya. "Gara-gara dia, aku jadi ketiban sial."

Saverio mengikuti arah tunjuk Reixa, namun tidak melihat apa-apa di sana. Hanya aura positif samar yang ia rasakan di sudut ruangan itu. "Mungkin roh pelindung? Aku tidak melihat apa pun, Rei. Tapi, kalau benar dia roh, aku rasa dia tidak berniat buruk padamu," katanya lembut, mencoba menenangkan.

Reixa mengeratkan pelukannya, menenggelamkan wajah di dada Saverio. "Om, jangan pergi, ya? Para hantu itu menjauh kalau Om ada di sini," bisiknya penuh harap, suaranya sedikit bergetar.

Saverio tersenyum tipis dan mengusap lembut punggung Reixa. "Ya, Rei. Aku di sini. Aku nggak akan pergi," jawabnya meyakinkan, menjaga nada suaranya tetap lembut. Dalam hatinya, ia merasa tergerak melihat betapa rentannya gadis kecil ini di balik sikap keras kepala dan liciknya.

Reixa mengangguk kecil, perlahan melepaskan pelukan namun tetap menggenggam erat tangan Saverio, seolah takut kehilangan sosok yang kini menjadi pelindung sekaligus satu-satunya tempat bersandar.

Malam itu, Reixa sulit memejamkan mata. Meski tubuhnya terasa lelah, pikirannya terus berkecamuk. Bayangan pria ubanan yang ia lihat sebelumnya terus menghantui, seolah-olah sosok itu menyimpan rahasia yang tidak ingin ia ketahui. Sesekali, ia melirik Saverio yang duduk di kursi samping ranjang, setia menemaninya.

"Om, menurut Om, kenapa aku bisa melihat hal-hal aneh begini?" tanya Reixa tiba-tiba, memecah keheningan.

Saverio menatapnya dengan penuh perhatian, lalu menarik napas panjang. "Mungkin karena kau memiliki kemampuan khusus, Rei. Tidak semua orang bisa melihat hal yang tak kasatmata. Kadang, itu bisa menjadi berkat. Kadang, juga bisa jadi beban."

"Kalau aku bisa memilih, aku nggak mau lihat mereka," ujar Reixa lirih. "Hidupku sudah cukup rumit tanpa harus berurusan dengan hantu."

Saverio tersenyum tipis. "Tapi, kemampuan ini juga bisa melindungimu, Rei. Kau hanya perlu belajar mengendalikannya."

Reixa menghela napas panjang, menatap langit-langit ruangan. "Om, kalau aku belajar, apa itu berarti aku harus selalu hidup dengan mereka?"

"Bukan hidup dengan mereka, tapi hidup berdampingan," jawab Saverio bijak. "Kau tetap punya kendali atas hidupmu, Rei. Ingat itu."

Reixa terdiam, mencerna kata-kata Saverio. Di satu sisi, ia merasa berat menerima kenyataan ini. Tapi di sisi lain, ada ketenangan dalam suara pria itu yang membuatnya percaya segalanya akan baik-baik saja.

"Om," panggil Reixa lagi dengan nada pelan. "Kalau aku nggak bisa kendalikan ini... Om masih mau ada di sampingku?"

Saverio tersenyum hangat, mengusap lembut rambut Reixa. "Aku nggak akan pergi ke mana pun, Rei. Aku di sini untukmu."

Mendengar itu, perlahan kelopak mata Reixa mulai berat. Ia pun tertidur, dengan genggaman tangannya masih erat di lengan Saverio, seolah memastikan pria itu tetap di sisinya. Di sudut ruangan, sosok bersurai putih itu kembali muncul, kali ini menatap Saverio dengan senyum samar, seolah berterima kasih telah menjaga gadis kecil itu.

1
Astuty Nuraeni
Reixa masih 10 tahun pak, tentu saja masih kanak kanak hehe
Ucy (ig. ucynovel)
secangkir ☕penyemangat buat kak author
Ucy (ig. ucynovel)
reinkarnasi ya
Citoz
semangat kk 💪
Buke Chika
next,lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!