NovelToon NovelToon
My Suspicious Neighbour

My Suspicious Neighbour

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Cintapertama / Mata-mata/Agen / Romansa / Trauma masa lalu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Difar

Mbak Bian itu cantik.

Hampir setiap pagi aku disambut dengan senyum ramah saat akan menikmati secangkir kopi hangat di kafe miliknya.

Mbak Bian itu cantik.

Setiap saat aku ingin membeli produk kecantikan terbaru, maka mbak Bian-lah yang selalu menjadi penasehatku.

Mbak Bian itu cantik.

Setiap saat aku butuh pembalut, maka aku cukup mengetuk pintu kamar kost tempat mbak Bian yang berada tepat di sampingku.

Ah, mbak Bian benar-benar cantik.

Tapi semua pemikiranku sirna saat suatu malam mbak Bian tiba-tiba mengetuk pintu kamarku. Dengan wajah memerah seperti orang mabuk dia berkata

"Menikahlah denganku Cha!"

Belum sempat aku bereaksi, mbak Bian tiba-tiba membuka bajunya, menunjukkan pemandangan yang sama sekali tak pernah kulihat.

Saat itu aku menyadari, bahwa mbak Bian tidaklah cantik, tapi.... ganteng??

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Difar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

23. Seseorang Bernama Arbian

"Mas, dermawan banget sih?"

Aku memandang dua lembar uang seratus ribuan yang kini berpindah ke tangan abang-abang penjual sosis telur. Padahal harganya cuma lima puluh rebu doang. Itu juga udah dapet sepuluh tusuk! Mas Raka memandangku dengan tatapan prihatin

"Anak muda jaman sekarang, meditnya sampe ke tulang-tulang. Memberi itu bisa menambah rezeki Cha!"

Ucap mas Raka bijak, membuat wajahnya seketika berkilau di mataku. Tumben amat sih mas Raka baik banget, biasanya kembalian seratus perak masih ditagih sama dia. Malah aku pernah terpaksa harus menyeret mas Raka keluar supermarket saat dia terlihat hendak menagih kembalian yang kata seseembak kasir mau di donasikan.

"Nggak bisa gitu Cha. Nggak ada uang receh nggak ada juga uang besar!"

Begitulah ocehan mas Raka dulu. Hmm, sangat berbanding terbalik dengan ocehan motivator miliknya barusan.

Mas Raka kembali berjalan sambil bersiul riang, mengajakku menjelajah seluruh kedai jajanan. Dalam hati aku hanya bisa menghitung jumlah uang yang sudah kami keluarkan sejauh ini yang nominalnya sama dengan uang makan yang selalu kupatokkan untuk tiga minggu.

"Cha, belikan sate disitu dong. Biar mas nungguin disini."

Ucap mas Raka saat kami sedang menunggu di kedai siomay. Sebelumnya mas Raka sempat melihat pesan di ponselnya dan berdecih saat membaca sebuah pesan yang aku tak tahu dari siapa.

"Nggak bareng aja mas?"

Tanyaku bingung.

Mas Raka menggelengkan kepalanya, bisa kulihat ada rona kesal di wajah mas Raka yang mendadak menggelap,

"Biar cepat Cha. Lagian kasian Bian nungguin di mobil."

Lanjutnya sambil membalikkan tubuhku dan mendorongku menjauh.

Tak lupa mas Raka menyelipkan dua lembar uang seratus ribuan,

"Habisin ya. Kembaliannya jangan diminta. Orang pelit kuburannya sempit lho!"

Ucap mas Raka, memperingatkanku yang memang sudah berencana untuk menyimpan kembaliannya.

"Iya, iya!"

Dengan kesal aku menghentakkan kaki ke tanah dan mulai berjalan menuju warung sate. Saat aku iseng melirik ke belakang, batang hidung mas Raka sudah tak terlihat. Entah karena dia memilih duduk dan menunggu di dalam warung atau sudah bergabung bersama orang-orang yang mengantri.

"Pak, satenya tiga bungkus ya."

Ucapku. Seorang bapak-bapak yang kuasumsikan bernama Ajo (karena nama satenya adalah 'Sate Padang Ajo sayang') tersenyum ramah.

"Sate apa aja ini dek?"

"Sate padang, sate kacang sama satu lagi campur."

Jawabku dan langsung mengambil posisi duduk di salah satu bangku. Bersiap memainkan ponselku selagi menunggu pesanan disiapkan.

Seketika aku menghela nafas berat saat menyadari kalau ponselku tertinggal di dalam tas yang sedang dipegang mbak Bian. Akhirnya aku memilih untuk memandangi kerumunan orang yang lalu-lalang, dari satu kedai menuju kedai lainnya. Ini kali pertama aku pergi ke tempat ini. Kalau sedari dulu aku tahu tempat keramat ini, mungkin aku akan menarik Cancan dan Siska ke sini, tak lupa meminta Tia yang memang sudah tajir melintir sejak lahir mentraktir kami.

"Nunggu sate juga dek?"

Aku langsung mendongak dan hampir saja tersedak saat melihat seorang pria tampan berdiri di depan mejaku. Pria bertubuh tak terlalu tinggi untuk ukuran seorang pria itu tengah tersenyum manis, memamerkan gigi putih bersihnya. Membuatku merasa bahwa dia adalah sales promotion boy yang sedang mencoba menawarkanku produk kesehatan gigi terbaru kepadaku.

"Dek?"

Pria itu memiringkan kepalanya bingung. Membuat kegantengannya bertambah beberapa tingkat.

"Ha..Hah?"

Aku langsung gugup begitu menyadari bahwa sedari tadi aku terus memandangi wajah pria itu tanpa menjawab pertanyannya. Aku langsung berdehem sambil menepuk pipiku pelan.

"Iya mas, lagi nunggu pesanan."

Jawabku sambil tersenyum ramah.

Pria itu menganggukkan kepalanya, memasang senyum manis yang lagi-lagi bisa menaikkan kadar gula di dalam tubuhku.

"Saya boleh numpang duduk disini?"

Dia mengedarkan pandangannya sejenak sebelum kembali menatapku,

"Meja lain penuh."

Aku ikut memandang sekeliling dan menyadari bahwa seluruh meja sudah dipenuhi oleh orang yang menunggu atau sedang makan. Sambil menghela nafas, aku menganggukkan kepala.

"Yaudah, duduk aja mas."

Jawabku dengan senyum ramah.

Pria itu mengangguk dan bergegas duduk. Bahkan ketika dudukpun, aura maskulinnya memancar jelas, membuatku lagi-lagi termenung sambil mengagumi keindahan ciptaan tuhan yang ada di dekatku.

Jadi teringat sebuah lagu yang liriknya begini

Rambut cepak berponi, bagai mas Limin

Ganteng Macho walau tak terlalu tinggi

Rahang tajam dan kulit seksi

Senyum manis gigi berseri

Membuatku tersadar, bentuk cinta itu

Ya kamu..

Eakkk..

Tapi jujur saja, melihat wajah tampan dan maskulin si mas yang kini berbalik memandangku dengan tatapan lembut seperti oasis di tengah gurun pasir. Setelah sedari tadi aku terjebak bersama mas Raka yang kegantengannya tak berfaedah akibat mulut ceriwisnya saat di depanku.

"Beli sate apa?"

Pria itu bertanya lagi, menopang rahang tajamnya dengan sebelah tangan.

"Sate padang mas."

Jawabku sambil senyum-senyum malu nggak jelas sembari mengatur detak jantungku yang mulai berdetak lebay.

Ya tuhan, apakah ini yang dinamakan jatuh cinta pada pandangan pertama?

"Oh iya, kenalin nama gue Arbiansyah. Panggil aja gue Bian."

Ucapnya sambil mengulurkan tangan, membuatku membelalakkan bola mata lebar. Wah, ternyata nama panggilannya mirip dengan nama mbak Bian. Ya walaupun wajahnya nggak terlalu mirip dengan mbak Bian sih.

"Saya Raisa mas."

Ucapku dengan penuh semangat menerima uluran tangan mas Arbian.

"Raisa? Patut cakepnya sama kayak Raisa yang sering tampil di TV."

Jawabnya sambil tertawa.

Wajah sumringahku mendadak kaku, dengan kesal aku menekan jabatan tanganku sekuat mungkin, membuat wajah mas Arbian sedikit menghernyit. Habisnya, bohong kok sambil ketawa begitu. Sudah jelas apa yang mas Arbian ucapkan adalah ejekan berkedok pujian. Sebel aku tuh!

"Aww!! Aku jujur lho padahal"

Eluhnya sambil mengelus tangannya yang tadi kucengkram.

Aku hanya mendengus sebal, tak lagi menampilkan senyum manis ke arah mas Arbian. Amit-amit deh, ganteng tapi nyebelin sih percuma.

"Jangan ngambek dong Cha. Entar tambah cakep beneran lho!"

Godanya yang langsung membuatku mengerutkan alis heran. Bukan godaannya yang membuatku merasa heran, tapi cara dia memanggilku lah yang membuatku merasa heran. Cara dia memanggilku dengan panggilan akrab seakan kami sudah saling mengenal sebelumnya. Mungkin menyadari tatapan penuh tanyaku, mas Arbian langsung menjelaskan,

"Raisa kalau panggilan singkatnya sih biasanya Icha atau Echa."

Dia mengangkat bahu cuek,

"Ya itu asumsi gue sih, makanya gue manggil Cha tadi"

Mas Arbian lalu memandangku dengan ekspresi cemas

"Nggak boleh?"

Tanyanya.

Sebenarnya sekalipun aku termasuk ke dalam jajaran pecinta lelaki tampan tetap saja aku tak terlalu gampang akrab dengan pria asing. Bahkan saat belajar silat pun, aku memilih diajari oleh guru wanita dan lingkungan pertemananku saat ini pun rata-rata adalah wanita. Malah sekarang sebenarnya sudah mendingan, aku sudah bisa mengakrabkan diri dengan laki-laki dan bersikap sewajarnya. Lah saat SMP dulu? Melihat laki-laki asing yang bukan berasal dari sekolahku mendekat saja aku langsung kabur. Pernah aku bertanya dengan mamakku alasan kenapa aku saat SMA sangat takut dengan laki-laki.

"Mungkin kamu pemalu aja kali"

Begitulah jawaban singkat mamak dengan ekspresi canggung lalu pergi meninggalkanku, membuatku tak bisa bertanya lebih jauh.

"Nggak boleh ya?"

"Maaf kalau gitu, gue panggil Raisa aja deh"

Ucapnya sedih karena tak kunjung mendapatkan jawabanku.

Aku hanya menganggukkan kepala, tak menyanggah ataupun menyetujui ucapan mas Arbian.

"Lo kesini sama siapa? Sendirian?"

Tanyanya lagi, mencoba mencairkan suasana.

Petanyaan mas Arbian membuatku menyadari bahwa mas Raka tak kunjung selesai memesan siomay. Sebenarnya ada berapa banyak antriannya?

1
3d
iringan musik, thor🙏
emi_sunflower_skr
Kekuatan kata yang memukau, gratz author atas cerita hebat ini!
☯THAILY YANIRETH✿
Karakternya begitu kompleks, aku beneran merasa dekat sama tokoh-tokohnya.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!