Seorang Ceo muda karismatik, Stevano Dean Anggara patah hati karena pujaan hatinya sewaktu SMA menikah dengan pria lain.
Kesedihan yang mendalam membuatnya menjadi sosok yang mudah marah dan sering melampiaskan kekesalan pada sekretaris pribadinya yang baru, Yuna.
Yuna menggantikan kakaknya untuk menjadi sekretaris Vano karena kakaknya yang terluka.
Berbagai macam perlakuan tidak menyenangkan dari bos nya di tambah kata-**** ***** sering Yuna dapatkan dari Vano.
Selain itu situasi yang membuat dirinya harus menikah dengan Vano menjadi mimpi terburuk nya.
Akankah Vano dan Yuna bisa menerima pernikahan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim Yuna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Aarghh!!"
Prang!
Stevano melempar gelas di atas nafas hingga hancur. Stevano tidak menyangka sama sekali bisa kalah dengan Rama, laki-laki yang bahkan tidak ada apa-apanya di bandingkan dirinya.
Dddrrtt.
Ponsel di saku celana bahan nya berdering, sekretaris nya menelpon.
[Jangan lupa Tuan, besok berangkat pagi.]
"Diam kau!"
[Terserah jika Tuan mau kehilangan kesempatan emas ini.]
Stevano melempar ponselnya memilih mengabaikan pesan dari Yuna, anak Om Adnan yang sangat menyebalkan itu.
"Sial!"
Mungkin mandi bisa membuat otaknya jernih Stevano melepaskan kain yang melekat di tubuhnya dan mengisi air di bathup sampai penuh berendam sampai tangannya keriput.
"Hhh dingin."
Pria itu berpikir bisa melupakan sedikit rasa sakitnya namun ternyata tidak, bayangan Juwita dan Rama bersanding di pelaminan membuat nya marah.
"Aku harus bagaimana?" teriaknya frustasi, untung kamar nya kedap suara atau jika tidak semua orang akan terganggu dengan suara-suara yang ia timbulkan. Stevano semalam terjaga.
"Pagi Nak." ucap Wita.
"Pagi Ma." jawab Stevano lemas, wajah pria itu pucat sekali dan kantung mata nya terlihat sangat hitam.
"Kok lemas? ngantuk?"
"Iya ma, semalam nggak bisa tidur." Wita mengambil piring dan mengambilkan makanan untuk putranya.
"Ambil libur saja Nak, jika tidak enak badan." nasihat Wita pada putranya.
"Tidak bisa mah, Yuna bilang hari ini ada pertemuan penting."
"Ck ck panggil Mbak Yuna, bisa kan?"
"Ngga bisa Ma."
Stevani turun bersama dua buntutnya dan Riana juga. Tidak lama Wira yang baru saja selesai jalan-jalan pagi juga bergabung di meja makan.
"Kak."
"Apa?"
"Minggu depan kakak datang kan?"
"Nggak tau."
"Ayolah datanglah kak. Kan udah di undang sama Juwita."
"Juwita siapa sayang?" tanya Wira penasaran pada putrinya. Sudah lama waktu berlalu membuatnya lupa. "Itu loh Pak anak nya pak Rama, mantan kakaknya dulu."
"Apaan sih Vani!"
"Oh kenapa dia? menikah?"
"Iya pak, minggu depan akad. Stevani bilang pada kakak barangkali kakak belum tahu." Stevani makin keruh saja, karna pembicaraan tak mengenakkan ini.
"Oh iyah, ini namanya kamu belum jodoh. Jangan terlalu bersedih Nak." hibur Wira pada putranya yang kelihatan sedih.
"Siapa yang sedih, ck. Kayak perempuan cuma ada satu aja."
"Cih!"
"Jadi minggu depan kakak akan datang?
"Nggak tau, kakak kan sibuk sekali." jawab Stevano, Stevani mencibir, bilang saja kalau Stevano tidak kuat melihat Juwita bersanding dengan orang lain, begitu saja gengsi.
"Kalau di undang baiknya datang, Nak." Nasehat Wita pada putranya.
"Nggak janji mah. akhir-akhir ini jadwal Vano padat."
"Cih! kakak sok sibuk. Bilang aja kakak sakit hati kan?"
"Diam kau anak kecil!"
"Hei sudah-sudah. Kalian itu sudah besar masih saja suka berantem, anteng dong kayak Riana."
"Vani duluan Mah."
"Huu sakit hatiku! karena dirimu saat kau katakan ..." Stevani semakin menjadi dengan menyanyikan lagu untuk kakaknya. Stevano kesal pria itu membanting sendoknya kemudian melangkah pergi. "Berangkat Ma."
"Loh Nak, kamu kan baru makan sedikit."
"Ngga selera!" Jawab Stevano membuat Stevani terkekeh. Senang rasanya membuat sang kakak marah pagi-pagi, salah sendiri terlalu lama memelihara gengsi sekarang sahabatnya sudah memiliki tambatan hati baru kebakaran jenggot.
"Kamu sih Vani."
"Lucu Ma. Hahaha."
Riana berdiri dari duduk nya lalu melangkah ke dapur dan berlari mengejar sang kakak keluar rumah.
"Kak tunggu!"
Stevano berbalik melihat adiknya berbalik menghampiri dirinya.
"Apa? kamu juga mau godain kakak?"
"Apaan sih, nething mulu. Nih Kak jangan lupa makan nanti perut nya sakit." ucap Riana membuat Stevano gemas dan mengacak-ngacak rambut Riana yang kini tidak sasak lagi.
"Makasih yah!"
"Hhmm di makan yah kak."
"Iya."
Riana berbalik dan masuk ke dalam rumah setelah memberikan bekal yang sengaja ia buat untuk Stevano.
Stevano menatap tas kecil pemberian Riana dan kembali melanjutkan langkahnya menuju mobil nya dimana di situ sudah ada sekretaris nya, Yuna yang menyebalkan.
**
"Kusut banget, Tuan."
"Berisik!"
"Silahkan!" Yuna membukakan pintu mobil untuk Tuan pemarahnya dan melaju menuju kantor seperti biasa.
Stevano merasa sangat mengantuk apalagi semalam ia tidak memejamkan mata sama sekali. Stevano tidak bisa menahan rasa kantuknya lagi, pria itu tertidur pulas setelahnya. Yuna yang melihat dari kaca spion di atas nya hanya menggeleng pelan. "Ckkck anak kecil."
Mereka sampai di kantor dan Yuna mengurut dada nya karena lagi-lagi Tuan muda nya itu sangat sulit sekali di bangunkan.
"Demi Tuhan! Apa memang begini! Tuan bangun! kita sudah sampai." Teriak Yuna.
"Tuan!"
Yuna berteriak di telinga Vano sontak saja pria itu terkesiap kaget. "Ah! kau." Vano sontak mendorong tubuh Yuna yang terlalu dekat dengannya.
"Bangun! sudah sampai kantor."
"Minggir! jangan cari kesempatan yah." Yuna bergidik ngeri, siapa juga yang mau nyari kesempatan dengan anak kecil di hadapannya itu.
"Kenapa wajahmu begitu?"
"Anda terlalu percaya diri, Tuan. Anda bukan tipeku." Jawab Yuna.
"Emang kau pikir kamu tipe ku?" ketus Vano.
"Sudah Tuan, cepat masuk kantor saja!"
"Hei Yuna! aku belum selesai bicara." Vano dibuat naik darah setiap hari dengan kelakuan Yuna. "Berani nya wanita pendeknya mengatur dirinya padahal ia bos di sini. Vano berjalan dengan cepat, tatapan tajam nya membuat siapa saja membuat orang segan untuk mengangkat wajah. Bukan rahasia lagi kalau Vano di kenal dengan Ceo yang dingin dan pemarah. Semua pegawai menunduk melihat Vano yanh baru saja datang ke kantor, pria itu langsung menuju lift dan naik menuju ruangannya. Di dalam lift juga terjadi keheningan, biasanya Yuna selalu membacakan jadwalnya namun hari ini aneh, wanita itu lebih banyak diam. "Tumben."
"Apa Tuan? ada yang bisa di bantu?"
"Tumben kau tidak cerewet."
"Hhh.." Yuna menghela nafas lelah.
"Apa maksud mu menghela nafas begitu?"
"Saya cuma menghela nafas, apa salah?"
"Kau menghela nafas seolah aku ini menyebalkan."
Ting.
Lift terbuka.
"Sadar juga kau Tuan." Yuna keluar lebih dulu kemudian langsung menuju ruangannya. Vano tidak percaya. Baru saja satu bulan wanita itu menggantikan Alden, tingkah nya sudah sangat menyebalkan. "Awas kau wanita sinting!"
Vano mulai duduk di kursi kebesaran nya dan membuka laptopnya. Ia melihat cangkir nya kopi nya kosong. Entah sejak kapan ia jadi lebih menyukai kopi padahal sebelum nya tidak, sejak kafein membuat dirinya tidak mengantuk saat bekerja dan juga membuat nya rileks jika sedang banyak pikiran.
"Yuna!" teriaknya.
Yuna yang sedang menyusun jadwal Vano untuk bulan depan menghela nafas, gadis itu menutup laptop nya dan melangkah menuju pintu ruangan kantor Tuannya. "Iya Tuan?"
"Kopi ku mana?"
"Ya saya buatkan, tidak perlu berteriak juga kan." Yuna melangkah menuju pantry membuatkan kopi untuk atasannya, padahal ini adalah tugas Ob namun Vano selalu saja menyuruhnya.
"Ini Tuan, silahkan."
"Hhmm, taruh di situ!" Yuna mengangguk sekali lalu undur diri. Vano memasukkan garam ke dalam cangkir minumannya. "Cuih!"
"Yuna! kopi macam apa ini hah? kau mau membuatku mati?"
Yuna yang baru saja mendudukan pantat nya tidak jadi mendengar teriakan itu. Wanita itu bergegas masuk kembali ke dalam ruangan itu.
"Apalagi Tuan? Ini kopi yang biasanya saya buat."
"Kau coba ini! apa mata mu buta? tidak bisa membedakan mana garam atau gula?" Yuna menyeruputnya sedikit dan langsung berdiri menuju tong sampah dan memuntahkannya.
"Kok bisa asin sih?" gumamnya. Padahal sudah jelas tadi gula yang ua masukkan dan lagi matanya belum rabun.
"Kau mau membunuhku?"
"Hhhmm itu berlebihan, Tuan. Anda pasti yang mengerjaiku kan?" ucap Yuna dengan tatapan datar dan raut wajah setenang mungkin, tidak ada rasa takut sama sekali.
"Kau yang mengerjaiku malah. Memutar balikan fakta. Bilang saja kau tidak suka padaku." Yuna tidak bodoh. Ia bersidekap dada lalu berucap dengan nada kelewat santai, bahkan gadis itu hanya menatap kuku nya yang sudah sebulan ini belum sempat melakukan perawatan.
"Oke kita cek cctv saja, Tuan. Kita lihat siapa yang mengerjai siapa." Vano kaget dalam hati mengumpati Yuna, ternyata anak Om Adnan memang tidak bisa ia anggap remeh.
"Apa? tidak perlu berlebihan seperti itu. Sudah lupakan! mengingat aku baik, aku akan melepaskan kamu kali ini.
"Jangan seperti anak kecil Tuan, saya tahu anda masih patah hati kan? sampai menjahili saya seperti ini."
"Jangan sok tahu kamu."
"Saya tahu. Wanita bukan cuman satu, sebaiknya fokus saja bekerja dan berhenti bermain-main. Ada ribuan karyawan di atas pundak anda. Jadi serius lah!"
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...