NovelToon NovelToon
Bintang Hatiku

Bintang Hatiku

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama
Popularitas:958
Nilai: 5
Nama Author: lautt_

Di antara pertemuan yang tidak disengaja dan percakapan yang tampak sepele, terselip rasa yang perlahan tumbuh. Arpani Zahra Ramadhani dan Fathir Alfarizi Mahendra dipertemukan dalam takdir yang rumit. Dalam balutan nilai-nilai Islami, keduanya harus menavigasi perasaan yang muncul tanpa melanggar batasan agama. Bersama konflik batin, rahasia yang tersembunyi, dan perbedaan pandangan hidup, mereka belajar bahwa cinta bukan hanya tentang perasaan, tetapi juga tentang kesabaran, keikhlasan, dan keimanan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lautt_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Bali Penantian, Ada Janji Yang Tersimpan

"Terkadang, penantian bukan tentang menunggu waktu, tapi tentang bagaimana menjaga hati agar tetap bersandar kepada-Nya."

---

Hari-Hari yang Terisi Doa

Hari-hari Arpa berjalan dalam rutinitas yang sama—kuliah, komunitas dakwah, dan mengajar mengaji anak-anak di masjid kampus. Tapi di antara aktivitas yang padat itu, ada ruang kosong dalam hatinya yang hanya bisa diisi oleh doa.

Penantian ini sudah berjalan lebih dari setahun. Dalam kurun waktu itu, Arpa bukan hanya belajar tentang kesabaran, tapi juga tentang mengikhlaskan sesuatu yang belum pasti menjadi miliknya. Ia sadar, menjaga cinta dalam penantian bukan sekadar menunggu, tapi tentang bagaimana ia menjaga diri tetap berada di jalan Allah.

Suatu sore, setelah mengajar mengaji, Arpa duduk di teras masjid. Anak-anak sudah pulang, meninggalkan suasana yang tenang. Di tangannya, ia menggenggam mushaf kecil yang selalu menemaninya.

Ia membuka halaman dan membaca ayat yang membuat hatinya bergetar:

"Dan bersabarlah; sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Anfal: 46)

Kalimat itu terasa seperti pelukan hangat di tengah kegelisahannya. Ia menutup mushaf dan menatap langit senja.

"Ya Allah, aku tahu Engkau melihat perjuanganku. Aku mohon, kuatkan aku untuk terus bertahan. Aku tidak ingin cinta ini lepas dari ridho-Mu."

---

Surat Tak Terduga

Beberapa hari kemudian, saat Arpa sedang di kamar kos, seorang kurir datang membawa surat. Ia menerimanya dengan bingung—siapa yang mengirim surat di era serba digital seperti ini?

Saat melihat nama pengirimnya, jantungnya berdebar kencang. Surat itu dari Fathir.

Dengan tangan gemetar, ia membuka amplop dan membaca isinya.

“Assalamualaikum, Arpa.

Hari ini aku duduk di balkon asramaku lagi. Tempat yang sama di mana aku menulis surat ini beberapa bulan lalu. Aku memutuskan akhirnya mengirimkannya sekarang.

Aku nggak tahu harus mulai dari mana. Jarak ini terasa berat. Tapi aku sadar, Allah tidak akan menguji hamba-Nya melebihi batas kemampuannya. Aku percaya, kamu sekuat itu, Arpa. Dan aku di sini juga berusaha sekuat mungkin menjaga hati ini.

Arpa, aku ingin kamu tahu sesuatu. Aku mencintaimu. Tapi bukan cinta biasa. Ini cinta yang aku jaga dalam doa. Aku ingin saat aku pulang nanti, aku bukan hanya Fathir yang dulu, tapi Fathir yang lebih siap menjadi imam untukmu.

Penantian ini panjang, aku tahu. Tapi aku percaya, cinta yang dijaga dalam ridho Allah akan menemukan jalannya pulang. Aku ingin kamu tahu, meskipun kita jarang berbicara, aku selalu mendoakanmu. Dalam setiap sujudku, aku sebut namamu, meminta Allah menjaga dan melindungimu.

Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku masih di sini, menunggumu, sambil memperbaiki diri.

Doakan aku, ya.

Fathir.”

Air mata Arpa jatuh perlahan. Ia memeluk surat itu, merasakan kehangatan dan kekuatan dalam setiap kata.

"Ya Allah, ini bukan sekadar surat. Ini adalah doa yang menemukan jalannya kepadaku."

---

Momen Refleksi di Taman Kota

Malam itu, Arpa memutuskan pergi ke taman kota—tempat yang dulu sering ia kunjungi bersama Fathir. Ia duduk di bangku yang sama, memandangi langit malam yang bertabur bintang.

Di tangannya masih tergenggam surat Fathir. Ia membacanya lagi, seolah ingin memastikan kata-kata itu benar-benar nyata.

Saat itu, hatinya dipenuhi berbagai emosi—rindu, haru, dan kekuatan baru. Ia menutup matanya, membayangkan Fathir duduk di balkon asramanya di Timur Tengah, memandangi bintang yang sama.

"Kami melihat langit yang sama, tapi dipisahkan jarak ribuan kilometer. Tapi doa kami, aku yakin, bertemu di langit yang sama."

Arpa mengambil jurnal pribadinya dan mulai menulis:

“Aku sadar, penantian ini bukan tentang siapa yang lebih kuat menunggu. Tapi tentang siapa yang lebih tulus menjaga niat. Aku tahu Fathir sedang berjuang keras di sana, dan aku di sini juga berusaha sekuat mungkin. Semoga Allah mempertemukan kami di waktu terbaik, bukan karena kebetulan, tapi karena takdir-Nya.”

---

Doa yang Disatukan oleh Jarak

Malam itu, di belahan dunia yang lain, Fathir duduk di kamarnya. Ia memegang mushaf kecil, membacakan ayat-ayat Al-Qur’an yang menjadi pelipur lara selama ini. Setelah selesai, ia menutup mushaf dan mengambil sajadah.

Dalam sujud panjangnya, ia berdoa:

"Ya Allah, jagalah hatiku dan hatinya. Jangan biarkan cinta ini ternoda oleh keraguan. Jika dia adalah takdirku, pertemukan kami di waktu terbaik. Tapi jika bukan, berikan aku kekuatan untuk menerima keputusan-Mu dengan ikhlas."

Di waktu yang hampir bersamaan, Arpa di kamarnya juga menunaikan shalat Tahajjud. Dalam sujudnya, ia membaca doa yang serupa.

Meskipun mereka terpisah jarak dan waktu, doa mereka saling bertemu di langit yang sama.

---

Ujian yang Tak Terduga

Beberapa minggu setelah menerima surat dari Fathir, ujian kembali datang untuk Arpa—bukan dari luar, tapi dari dalam lingkaran keluarganya sendiri.

Malam itu, hujan turun pelan membasahi kota. Arpa duduk di ruang tamu rumah bibinya saat libur akhir pekan. Di hadapannya, secangkir teh hangat mengepul, namun pikirannya melayang jauh, memikirkan surat Fathir yang beberapa hari lalu ia terima.

Bibi Aisyah, adik dari ayah Arpa, masuk ke ruang tamu sambil membawa sepiring kue. Wajahnya yang ramah menyiratkan perhatian mendalam. Ia duduk di samping Arpa, memperhatikan keponakannya yang tampak tenggelam dalam pikiran.

“Arpa, kamu kenapa? Sejak datang ke sini, kelihatan banyak pikiran,” tanya Bibi Aisyah sambil tersenyum lembut.

Arpa tersadar, ia tersenyum tipis. “Nggak apa-apa kok, Bi. Cuma lagi banyak tugas kampus.”

Namun, Bibi Aisyah tahu ada sesuatu yang dipendam Arpa. Ia meletakkan piring kue di atas meja dan mulai masuk ke inti pembicaraan.

“Arpa, kamu kan sebentar lagi lulus kuliah. Apa kamu nggak kepikiran buat nikah?” tanyanya pelan, tapi langsung mengenai sasaran.

Arpa tertegun. Ia tahu pertanyaan ini akan datang cepat atau lambat. Ia menarik napas panjang sebelum menjawab, “Aku... aku sedang dalam proses penantian, Bi.”

Bibi Aisyah menaikkan alisnya, tampak kaget. “Penantian? Maksudmu?”

Arpa tersenyum tipis, berusaha tetap tenang meski jantungnya berdetak lebih cepat. “Ada seseorang yang aku tunggu. Dia sekarang sedang melanjutkan studi di luar negeri.”

Bibi Aisyah memandang Arpa dengan sorot mata penuh kekhawatiran. “Sudah berapa lama kamu menunggu?”

Arpa menggigit bibir bawahnya sejenak. “Hampir dua tahun.”

“Dua tahun?” Bibi Aisyah mengulang dengan nada terkejut. “Arpa, penantian selama itu bukan hal mudah. Apa dia sudah melamar?”

Arpa menggeleng pelan. “Belum. Tapi kami sepakat menjaga hati masing-masing sampai waktu yang tepat.”

Bibi Aisyah terdiam sejenak, mencoba mencerna jawaban itu. Ia kemudian berkata dengan suara yang lebih lembut, “Arpa, Bibi nggak mau kamu terluka. Penantian itu berat. Apalagi tanpa kepastian.”

Arpa tersenyum pahit. Ia tahu kekhawatiran bibinya berasal dari kasih sayang. “Aku paham, Bi. Aku juga pernah punya pikiran yang sama. Tapi aku percaya, selama niat ini dijaga dalam ridho Allah, semuanya akan baik-baik saja.”

---

Nasihat dari Hati ke Hati

Bibi Aisyah memegang tangan Arpa dengan lembut. “Bibi dulu juga pernah mengalami hal yang sama, Arpa. Menunggu seseorang tanpa kepastian. Dan jujur saja, itu adalah masa yang paling berat dalam hidup Bibi.”

Arpa memandang bibinya dengan penuh perhatian. Ini pertama kalinya bibinya bercerita tentang masa lalunya.

“Bibi dulu pernah menunggu seseorang selama hampir tiga tahun,” lanjutnya. “Tapi akhirnya, dia memilih orang lain. Saat itu, Bibi merasa hancur. Tapi setelah melewati semua itu, Bibi sadar, Allah nggak pernah meninggalkan kita. Dia selalu menggantikan yang hilang dengan yang lebih baik.”

Arpa mendengarkan dengan hati yang bergetar. Ia tahu maksud bibinya bukan untuk membuatnya ragu, tapi untuk mengingatkannya akan risiko dari penantian panjang ini.

“Aku tahu risikonya, Bi,” kata Arpa pelan. “Tapi aku percaya, selama aku menjaga hati ini untuk Allah, apapun hasil akhirnya, aku nggak akan menyesal.”

Bibi Aisyah tersenyum tipis. “Kamu kuat, Arpa. Lebih kuat dari Bibi waktu muda dulu. Tapi Bibi cuma minta satu hal—jangan biarkan penantian ini membuat kamu lupa bahagia. Jangan sampai kamu menunggu seseorang yang bahkan mungkin lupa jalan pulang.”

Kalimat itu menusuk hati Arpa, tapi ia tahu, ada kebenaran di dalamnya. Ia menunduk sejenak sebelum berkata, “Aku paham, Bi. Aku juga sering memikirkan itu. Tapi setiap kali aku ragu, aku selalu kembali ke doa. Aku percaya, Allah nggak akan membiarkan doa-doa yang tulus sia-sia.”

---

Pilihan yang Tak Mudah

Bibi Aisyah menghela napas panjang. Ia kemudian mengeluarkan sebuah amplop dari tasnya dan menyerahkannya pada Arpa.

“Ini... ada seorang kenalan Bibi yang bertanya tentang kamu. Dia seorang pengusaha muda, baik, dan taat agama. Bibi nggak memaksa, tapi setidaknya pikirkanlah.”

Arpa menatap amplop itu dengan hati bergejolak. Ia tahu keputusan ini bukan hal sepele.

“Maaf, Bi,” kata Arpa dengan suara bergetar. “Aku... aku nggak bisa. Hati ini masih terikat. Aku nggak mau memberi harapan palsu kepada orang lain saat aku sendiri masih berjuang menjaga perasaan.”

Bibi Aisyah menatap Arpa dengan mata berkaca-kaca. Ia kemudian memeluk keponakannya erat. “Bibi bangga sama kamu. Jarang ada perempuan sekuat ini. Tapi jangan lupa terus berdoa, ya. Bibi cuma pengen kamu bahagia.”

“InsyaAllah, Bi. Aku juga pengen bahagia. Tapi aku ingin bahagia yang diridhai Allah,” jawab Arpa sambil menahan air mata.

---

Refleksi Setelah Percakapan Itu

Malam itu, setelah percakapan dengan bibinya, Arpa duduk di kamarnya, menatap langit malam dari jendela. Ia mengambil jurnal pribadinya dan mulai menulis:

“Hari ini aku diuji lagi. Bukan oleh jarak, tapi oleh pilihan. Aku sadar, penantian ini nggak akan pernah mudah. Akan ada orang-orang yang bertanya, meragukan, bahkan mencoba mengalihkan langkahku. Tapi aku tahu, selama aku menjaga hati ini untuk Allah, Dia akan memudahkan jalanku. Aku nggak tahu apa akhir dari penantian ini, tapi aku percaya, Allah nggak akan membiarkan hamba-Nya menunggu tanpa alasan.”

Di akhir tulisannya, ia menambahkan satu kalimat doa:

“Ya Allah, kuatkan hatiku untuk tetap berada di jalan-Mu. Jika dia takdirku, pertemukan kami di waktu terbaik. Tapi jika bukan, tenangkan hatiku untuk menerima keputusan-Mu dengan ikhlas.”

---

“Penantian bukan hanya soal menunggu seseorang, tapi tentang menjaga diri dalam prosesnya. Karena cinta sejati bukan tentang seberapa lama menunggu, tapi tentang seberapa kuat menjaga hati tetap bersandar pada-Nya.”

---

“Cinta yang dijaga dalam doa tak akan pernah hilang, meski jarak dan waktu memisahkan. Karena cinta yang diridhai Allah selalu menemukan jalannya pulang.”

1
Uryū Ishida
Gemesin banget! 😍
✨♡vane♡✨
Baca cerita ini adalah cara terbaik untuk menghabiskan waktu luangku
Dandelion: Jangan bosan ya bacanya
total 1 replies
KnuckleBreaker
Bagus banget! Aku jadi kangen sama tokoh-tokohnya 😍
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!