Riana pikir kakaknya Liliana tidak akan pernah menyukai suaminya, Septian. Namun, kecurigaan demi kecurigaan membawanya pada fakta bahwa sang kakak mencintai Septian.
Tak ingin berebut cinta karena Septian sendiri sudah lama memendam Rasa pada Liliana dengan cara menikahinya. Riana akhirnya merelakan 5 tahun pernikahan dan pergi menjadi relawan di sorong.
"Kenapa aku harus berebut cinta yang tak mungkin menjadi milikku? Bagaimanapun aku bukan burung dalam sangkar, aku berhak bahagia." —Riana
Bagaimana kisah selanjutnya, akankah Riana menemukan cinta sejati diatas luka pernikahan yang ingin ia kubur?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puji170, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Di rumah besar keluarga Prawira, Liliana duduk di sofa sambil memperhatikan Lira yang kini asik menyesap buah jeruk yang sedikit asam. Wajah mungil itu meringis lucu setiap kali rasa masam menyentuh lidahnya, membuat matanya terpejam rapat sebelum kembali tertawa kecil.
Senyum samar muncul di bibir Liliana. Lira adalah satu-satunya cahaya yang tersisa di rumah yang terlalu sunyi itu, satu-satunya alasan baginya untuk tetap kuat, untuk tetap bertahan meski hatinya perlahan membeku.
Dulu, ia pikir setelah memaksa Septian menikah, setelah menjebaknya hingga akhirnya sah menjadi Nyonya Prawira baik secara hukum maupun agama, kebahagiaan akan datang dengan sendirinya. Nyatanya, semua tidak seperti yang ia bayangkan.
Rumah megah ini hanya menyimpan gema langkahnya sendiri. Setiap malam, suara detik jam dinding terdengar terlalu keras, menandakan waktu yang berjalan tanpa pernah membawa perubahan. Septian tetap dingin, tetap jauh, seperti bintang yang susah ia gapai.
Pernah ia sekali menggoda Septian agar tidur dengannya, hasilnya lelaki itu sampai satu bulan tidak pernah pulang dan ia dikirim ke rumah Rahayu. Kalau tidak terus bertengkar dengan Rahayu mungkin sampai sekarang Liliana harus mengurus wanita tua itu.
Meski begitu, Liliana tak pernah menunjukkan kelemahannya. Ia berdiri kokoh, menjaga gengsinya seolah posisi itu tak bisa digantikan siapa pun. Cinta? Ia masih percaya, lambat laun, saat Septian benar-benar kehilangan jejak Riana, lelaki itu akan menoleh ke arahnya. Akan sadar bahwa satu-satunya yang bertahan di sisinya hanyalah dirinya.
“Lira mau lagi?” tanya Liliana lembut saat melihat buah jeruk di tangan putrinya sudah tak berair.
Anak kecil itu mengangguk pelan. Membuat Liliana tersenyum, lalu mengambil sepotong jeruk lain dan dengan sabar menyuapkannya.
Namun, di sela tawa kecil Lira, mata Liliana memantulkan sesuatu yang lain, lelah yang disembunyikan, kesepian yang tak pernah ia akui bahkan pada dirinya sendiri.
Jeruk di tangan Lira jatuh ke pangkuannya, dan Liliana refleks memungutnya.
"Ini sayang," ucap Liliana menyerahkan jeruk itu pada Lira.
Saat ia masih fokus pada Lira, suara pintu besar rumah mendadak terbuka keras. Hembusan angin membawa aroma parfum tajam yang langsung memenuhi ruangan. Rahayu masuk tanpa salam, langkahnya berat dan penuh amarah, seperti penagih hutang yang sudah kehilangan kesabaran.
Tanpa basa-basi Rahayu langsung bersuara, “Kamu ini sebagai istri Septian apa sudah lupa tugas setiap bulanmu?”
Liliana tak menoleh. Ia tetap memusatkan perhatian pada Lira yang sedang menggenggam potongan jeruk, berusaha menahan diri agar suasana tak memanas di depan anaknya. Sikap diam itu justru membuat Rahayu menggertakkan giginya, napasnya terdengar keras menahan emosi.
“Dasar menantu tak berguna! Kalau kamu bisa menikmati privilege dari anakku, kamu juga harus tahu diri!” bentaknya, suaranya menusuk udara seperti cambuk.
Liliana menarik napas panjang. Perlahan ia mendorong Lira menjauh sedikit, menepuk lembut bahu anaknya sebelum bangkit berdiri. Tatapannya kini berubah dingin ketika ia berhadapan langsung dengan Rahayu.
“Keluarga Prawira belum bangkrut kan? Kalau ibu membutuhkan pembantu sewa mereka, apapun yang ibu perintahkan mereka akan melakukannya dengan senang hati. Aku ini menantu, orang yang menemani anakmu baik suka maupun duka. Bukan pembantu yang harus mengurusmu,” ucap Liliana tegas, nadanya rendah namun tajam seperti bilah halus yang menembus ke dalam.
Rahayu melangkah maju, menatap Liliana dengan mata menyala.
“Kamu benar-benar ya, mantu kurang ajar. Aku heran kamu dan Riana itu satu rahim tapi kelakuannya kenapa bisa beda?” suaranya meninggi, penuh penghinaan. “Dulu aku pikir kamu lebih baik dari Riana, tapi nyatanya kamu sangat jauh darinya.”
Liliana mendengus pelan, senyum miring tersungging di bibirnya. “Dulu aku juga berpikir jika Riana beruntung bisa memiliki ibu mertua sepertimu, tapi aku salah. Kamu yang beruntung memiliki menantu seperti dia, sayangnya kamu tidak menghargainya sama sekali, bahkan memperlakukannya tidak layak.”
Wajah Rahayu menegang, tetapi Liliana belum selesai. Matanya menatap lurus, kali ini penuh keberanian yang sudah lama ia pendam. “Oh ya, jika ibu masih bertanya kenapa kami satu rahim sangat berbeda. Apa perlu aku ajak ibu untuk belajar lagi? Kalau isi setiap kepala itu beda-beda?” imbuhnya, datar namun menohok.
Dada Rahayu naik turun ia mengangkat tangannya ingin memberikan satu tamparan ke wajah Liliana. Namun, Liliana seperti sudah bisa membaca pikiran Rahayu, ia segera menangkas lalu mendorongnya. Tepat saat Rahayu hampir saja terjatuh Septian datang lalu menompang tubuh sang ibu.
“Liliana, dasar wanita berhati busuk. Sama orang tua kamu begitu tega?” suara Septian menggema, berat dan penuh amarah.
Liliana mematung. Dada yang tadi berdegup karena menahan emosi kini seperti berhenti seketika. Ia menatap Septian yang masih memeluk Rahayu, pemandangan yang seperti biasa, berpihak bukan padanya.
“Ibu yang duluan menyerangku,” ujarnya lirih, nyaris tak terdengar. Tapi Septian sudah tak mau mendengar. Tatapan matanya tajam, seolah Liliana adalah duri yang menancap di hidupnya.
“Kalau kamu masih belum bisa menghormati Ibu, lebih baik keluar dari rumah ini!” bentak Septian. Nada suaranya tak pernah berubah, dingin, tajam, dan tanpa sedikit pun ruang bagi penjelasan.
Lira yang sedari tadi duduk di kursi bayi, menatap dengan mata besar yang berair. “Ma-ma…” panggilnya pelan.
Liliana segera menoleh, menunduk, lalu berjongkok di hadapan anaknya. Tangannya gemetar saat menyeka pipi mungil itu. “Tidak apa-apa, sayang. Mama nggak apa-apa,” ucapnya lembut, tapi suaranya serak, seperti seseorang yang menahan sesuatu di tenggorokannya terlalu lama.
Rahayu yang kini sudah kembali tenang justru menatap dengan tatapan puas. “Lihat? Anakmu pun jadi saksi bagaimana kamu mempermalukan suamimu.”
Liliana menoleh perlahan, menatap wanita tua itu tanpa ekspresi, dingin, nyaris kosong. Lalu pandangannya beralih pada Septian.
Suara Liliana tenang, tapi di balik ketenangan itu terselip luka dan sindiran yang dalam.
“Tian, kejadian seperti ini bukan pertama kalinya. Kamu tahu itu,” ucapnya pelan namun tegas. “Dan sekarang aku mulai paham… kenapa Riana menyerah. Tanpa aku ikut campur pun, cepat atau lambat dia akan lelah jadi istrimu.”
Rahayu tertegun, wajahnya memucat mendengar ucapan tajam itu. Tapi Liliana tak lagi peduli. Ia berdiri tegak, menatap Septian dengan mata yang berani, mata yang dulu begitu mengaguminya, kini hanya memantulkan kelelahan.
Kalimat terakhir Liliana menggantung di udara seperti racun yang perlahan meresap ke dada Septian. Wajah lelaki itu menegang. Rahangnya mengeras, sorot matanya gelap, seperti menyimpan badai yang siap meledak kapan saja.
“Ulangi,” katanya pelan, hampir berbisik, tapi nadanya cukup membuat udara di ruangan menegang.
Liliana tak gentar. “Kamu mendengar dengan sangat jelas apa yang aku katakan.”
Langkah Septian mendekat, perlahan tapi pasti, hingga jarak mereka hanya sejengkal. Tatapan matanya menusuk, nyaris tak berperasaan, namun di balik dinginnya ada sesuatu yang lain penyesalan yang tak sempat ia sembunyikan.
“Jaga ucapanmu, Liliana,” ucapnya dengan suara rendah, berat, dan menggetarkan. “Aku masih bisa menoleransi banyak hal, tapi jangan pernah bawa nama dia di antara kita.”
Liliana tersenyum miring, getir. “Memangnya apa yang aku katakan salah, Tian.”
Sekilas, sorot mata Septian berubah, ada rasa bersalah yang muncul begitu cepat, sebelum kembali tenggelam di balik kemarahan. Tangannya terangkat, seperti hendak menahan sesuatu... atau mungkin menampar. Tapi ia berhenti di tengah udara.
Suasana membeku.
Liliana menatapnya tanpa berkedip, matanya berkilat tajam.
“Pukul saja, kalau itu bisa membuatmu merasa tenang,” bisiknya dingin.
Tangan Septian perlahan turun, namun rahangnya tetap mengeras. Ia menatap Liliana lama, begitu lama, hingga akhirnya berkata pelan, suara yang terdengar lebih seperti ancaman daripada kalimat biasa.
“Lili, akan aku buat kamu menyesal.”
Septian menepuk tangannya memberikan kode pada orang di luar untuk masuk ke dalam rumah.
"Bawa dia!" perintah Septian.
Liliana tercengang ada rasa takut saat dua orang berbadan besar mendekat ke arahnya.
Dari bab2 lalu aku dah pen su'udzon soalnya terlalu baik n terlalu deket dengan Riana
Sinta suka dok Alif kah?
Dan menganggap Riana saingan? 🤔🤔🤔
tk bisa kembali 🤣🤣🤣🤣.
kecuali di mantan Istri nikah dulu
Tapi mang salahnya Riana.. jadi perempuan kelewat naif jadinya mengarah ke bodo
Gampang banget di manipulasi
Ngga punya pertahanan diri.. huft!
Satu sisi kasian.. satu sisi lagi gumuss..
Bersyukur sekarang ketemu Alif yang bener cinta dan tulus
Cobaa ketemunya kayak Septik tank lagi.. wis runyam..
Ngga bakal ada hepi endingnya.. nelongso truss 🤦🏻♀️