Reintara Narendra Pratama adalah CEO muda yang dikenal dingin dan penuh wibawa. Di usia 25 tahun, ia sudah membangun reputasi sebagai pria yang tajam dalam mengambil keputusan, namun sulit didekati secara emosional. Hidupnya yang teratur mulai berantakan ketika ia bertemu dengan Apria—seorang perempuan penuh obsesi yang percaya bahwa mereka ditakdirkan bersama.
Awalnya, Reintara mengira pertemuan mereka hanyalah kebetulan. Namun, semakin hari, Ria, sapaan akrab Apria, menunjukkan sisi posesif yang mengerikan. Mulai dari mengikuti setiap langkahnya, hingga menyusup ke dalam ruang-ruang pribadinya, Ria tidak mengenal batas dalam memperjuangkan apa yang ia anggap sebagai "cinta sejati."
Reintara, yang awalnya mencoba mengabaikan Ria, akhirnya menyadari bahwa sikap lembut tidak cukup untuk menghentikan obsesi perempuan itu. Dalam usaha untuk melindungi dirinya, ia justru memicu konflik yang lebih besar. Bagi Ria, cinta adalah perjuangan, dan ia tidak akan menyerah begitu saja.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon 'yura^, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
tekanan dari segala sisi
Nadia yang Mulai Ragu
Nadia duduk di kamar apartemennya, memandangi layar laptop yang menampilkan foto-foto editan yang ia terima melalui email. Meski ia mencoba untuk tetap rasional, pikirannya tak bisa lepas dari kemungkinan bahwa mungkin, hanya mungkin, rumor itu benar.
“Tidak mungkin secepat itu aku percaya seseorang yang baru saja kutemui. Tapi… bagaimana kalau ini benar?” pikirnya dalam hati.
Ia memutuskan untuk menghubungi Reintara langsung.
“Rein, bisa kita bicara?” tanya Nadia lewat telepon.
“Tentu, ada apa?” balas Reintara dengan nada ramah.
“Aku menerima email yang cukup menggangguku. Isinya tentang kamu. Bisa kita bertemu?”
Reintara terdiam sejenak. Ia sudah menduga bahwa Ria tak akan tinggal diam. “Baiklah, kita bicarakan ini langsung. Aku tidak ingin ada kesalahpahaman.”
Pertemuan yang Tegang
Mereka bertemu di kafe kecil yang tenang. Nadia menunjukkan email itu pada Reintara, yang segera menyadari bahwa semua itu hanyalah hasil manipulasi Ria.
“Ini bukan foto asli. Ria melakukannya,” kata Reintara tegas.
“Ria? Maksudmu wanita yang sedang berada di penjara itu?” tanya Nadia, bingung.
“Ya, dia mungkin terkurung, tapi obsesinya terhadapku tidak pernah berakhir. Ini bukan pertama kalinya dia mencoba merusak hidupku,” jawab Reintara dengan nada serius.
Nadia menatapnya, mencari kejujuran di mata Reintara. Setelah beberapa saat, ia menghela napas. “Aku percaya padamu, Rein. Tapi kenapa dia begitu terobsesi padamu?”
“Itulah pertanyaan yang bahkan aku tidak bisa jawab,” ujar Reintara sambil meminum kopinya.
Ria yang Tidak Terhentikan
Di penjara, Ria mendapatkan kabar bahwa emailnya telah mencapai Nadia. Namun, ia tidak berhenti di situ. Ia mulai merancang langkah berikutnya—sesuatu yang jauh lebih berbahaya.
Ia menyuruh orang kepercayaannya untuk menyebarkan video manipulasi yang menunjukkan Reintara berbicara buruk tentang Nadia. Rencana itu dirancang untuk menghancurkan kepercayaan Nadia sepenuhnya.
“Saat dia tidak memiliki siapa pun lagi, dia akan kembali padaku,” bisik Ria dengan senyum dingin.
Tekanan dari Segala Sisi
Beberapa hari kemudian, video itu mulai menyebar di internet. Meskipun Reintara tahu itu palsu, ia tak bisa mengendalikan persepsi publik. Media mulai menyoroti skandal ini, dan Nadia kembali dilanda keraguan.
“Rein, apa ini benar-benar palsu?” tanya Nadia saat mereka bertemu lagi.
“Tentu saja, Nadia. Aku tidak akan pernah mengatakan hal seperti itu tentangmu,” tegas Reintara.
Namun, tekanan dari masyarakat membuat Nadia semakin sulit bertahan. “Aku butuh waktu untuk berpikir, Rein. Ini terlalu banyak bagiku.”
Balas Dendam Reintara
Melihat Ria terus-menerus menyerang dari balik jeruji, Reintara akhirnya memutuskan untuk melawan. Ia meminta tim IT-nya untuk melacak semua sumber video dan pesan palsu tersebut.
“Cari tahu siapa yang membantu Ria, dan pastikan kita bisa memutuskan semua aksesnya ke dunia luar,” perintah Reintara.
Dalam waktu beberapa hari, mereka berhasil mengidentifikasi beberapa orang yang menjadi kaki tangan Ria. Reintara segera melaporkan mereka ke polisi, yang langsung mengambil tindakan.
“Sekarang, Ria benar-benar terisolasi,” ujar Reintara dengan puas.
Ria yang Tidak Menyerah
Namun, meski aksesnya ke dunia luar terputus, Ria tidak menyerah. Ia mulai memanipulasi narapidana lain di penjara untuk membantunya. Ia tahu bahwa perasaan obsesinya terhadap Reintara tidak akan pernah hilang.
“Jika aku tidak bisa memilikinya di dunia ini, aku akan memastikan tidak ada orang lain yang bisa memilikinya juga,” bisiknya dengan penuh kebencian.
Langkah Baru Ria
Dari balik jeruji, Ria telah merancang strategi yang jauh lebih cerdik. Meskipun dia terisolasi, dia memanfaatkan seorang narapidana bernama Melia, yang akan segera bebas, untuk menjadi "tangan" barunya di luar penjara.
“Aku hanya ingin kau menyampaikan pesan,” ujar Ria sambil menyerahkan sebuah surat. “Sampaikan ini pada Nadia. Setelah itu, semuanya akan berjalan sesuai rencana.”
Melia, yang membutuhkan uang, menyanggupi permintaan tersebut.
Surat yang Mengubah Segalanya
Beberapa hari kemudian, Nadia menerima amplop berwarna krem yang berisi foto-foto Reintara bersama seorang wanita. Bersama foto itu, ada catatan singkat:
“Reintara tidak seperti yang kau kira. Dia hanya menggunakanmu untuk melupakan masa lalunya denganku. Kau hanya pengganti, Nadia. Hati-hati, karena kau akan terluka lebih dalam.”
Meskipun Nadia mencoba untuk tidak terpengaruh, rasa ragu kembali menghantuinya. Foto-foto itu terlihat nyata, dan kata-kata dalam surat tersebut seolah-olah berasal dari seseorang yang benar-benar mengenal Reintara.
Konfrontasi yang Tak Terelakkan
Hari itu, Nadia datang ke kantor Reintara tanpa pemberitahuan. Ia masuk ke ruangannya dengan raut wajah penuh emosi.
“Rein, apa ini?” Nadia melemparkan amplop itu ke mejanya.
Reintara mengambil isi amplop tersebut dan melihat foto-foto itu. Rahangnya mengeras. “Ini ulah Ria lagi. Semua ini palsu.”
“Bagaimana aku tahu ini palsu? Foto-fotonya terlihat nyata, Rein. Dan kata-kata di surat itu… mereka tahu terlalu banyak tentangmu,” ujar Nadia dengan nada putus asa.
“Nadia, kau harus percaya padaku. Aku sudah berulang kali mengatakan bahwa Ria tidak akan berhenti sampai dia menghancurkan hidupku.”
“Aku ingin percaya padamu, tapi semakin lama aku merasa aku hanya menjadi korban dari konflikmu dengan dia,” jawab Nadia, suaranya gemetar.
Puncak Ketegangan
Malam itu, Reintara mencoba menghubungi Nadia, tetapi semua panggilannya diabaikan. Sementara itu, Ria, yang mendapat kabar dari Melia bahwa surat itu telah sampai, merasa puas.
“Dia akan meninggalkanmu, Rein. Tidak ada yang bisa bertahan dalam permainan ini kecuali aku,” gumam Ria sambil tersenyum sinis di balik jeruji.
Retaknya Hubungan
Hari-hari berikutnya terasa berat bagi Reintara. Nadia mulai menjauh, tidak lagi mengangkat telepon atau membalas pesannya. Bahkan saat mereka bertemu di sebuah acara keluarga, Nadia terlihat dingin dan menjaga jarak.
“Aku butuh waktu, Rein,” ujar Nadia ketika Reintara mencoba berbicara dengannya.
“Waktu untuk apa? Untuk membiarkan Ria menang? Nadia, aku mencintaimu, dan aku tidak akan membiarkan seseorang sepertinya menghancurkan hubungan kita,” kata Reintara tegas.
“Tapi ini bukan hanya tentang dia, Rein. Ini tentang kita, tentang bagaimana aku merasa tak pernah benar-benar menjadi prioritasmu. Aku lelah,” jawab Nadia sebelum pergi meninggalkannya.
Kemenangan Ria
Di penjara, Ria mendengar berita bahwa hubungan Reintara dan Nadia semakin renggang. Ia tertawa puas.
“Sekarang kau hanya punya aku, Rein. Kau akan melihat bahwa tidak ada yang lebih baik dariku,” bisiknya.
Namun, meskipun merasa menang, obsesi Ria tidak berhenti. Baginya, menghancurkan hubungan Reintara hanyalah awal dari rencana besar untuk kembali merebutnya.
Campur Tangan Orang Tua Reintara
Keretakan hubungan Reintara dan Nadia membuat keluarga Reintara merasa prihatin. Terutama Nyonya Narendra, ibu Reintara, yang selalu mendukung hubungan mereka. Ia tahu bahwa Nadia adalah sosok yang baik dan tulus, meskipun kini hatinya terluka karena intrik Ria.
Suatu pagi, Nyonya Narendra memanggil Reintara untuk sarapan bersama di rumah keluarga. Namun, saat Reintara tiba, ia terkejut mendapati Nadia duduk di ruang tamu, ditemani oleh ayah dan ibunya.
“Nadia? Apa yang kau lakukan di sini?” tanyanya dengan nada bingung.
Nadia hanya diam, menundukkan kepala. Nyonya Narendra segera melangkah maju, berdiri di antara mereka.
“Kalian berdua sudah cukup menderita karena ulah orang yang tidak bertanggung jawab,” ucap Nyonya Narendra tegas. “Aku tidak bisa hanya diam melihat hubungan kalian hancur sia-sia.”