Season kedua dari Batas Kesabaran Seorang Istri.
Galen Haidar Bramantyo, anak pertama dari pasangan Elgar dan Aluna. Sudah tumbuh menjadi pemuda yang sangat tampan. Ia mewarisi semua ketampanan dari ayahnya.
Namun ketampanan juga kekayaan dari keluarganya tidak sanggup menaklukkan hati seorang gadis. Teman masa kecilnya, Safira. Cintanya bertepuk sebelah tangan, karena Safira hanya menganggap dirinya hanya sebatas adik. Padahal umur mereka hanya terpaut beberapa bulan saja. Hal itu berhasil membuat Galen patah hati, hingga membuatnya tidak mau lagi mengenal kata cinta.
Adakan seorang gadis yang mampu menata hati si pangeran es itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon echa wartuti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Putri Yang Terabaikan
Di rumah sakit kondisi Galen sudah dalam keadaan baik-baik saja, meskipun tangannya masih terpasang selang infus. Sebelumnya Zayn menelpon, temannya itu mengatakan kondisi Lucyana saat dirinya belum sadar, juga saat Arabella menampar Lucyana.
Galen berdecak, tidak suka dengan tindakan Arabella kepada Lucyana. Kejadian itu bukan sepenuhnya salah Lucyana, gadis itu tidak tahu kalau dirinya alergi kacang. Salahnya sendiri juga asal makan saja.
Galen lantas menghubungi Daren, memintanya untuk datang, membawa barang-barang yang Galen minta, juga informasi mengenai Lucyana yang sudah Daren dapatkan.
"Sudah dapatkan yang aku minta, Om?" tanya Galen pada Daren.
"Sudah," jawab Daren. "Ini berkasnya. Dan … ini iPad milikmu."
Galen lantas membaca apa saja yang tertulis di dalam berkas itu. Lucyana Evangelista, putri pasangan Joni Erlangga dan mendiang Ivy Erlangga. Ibunya meninggal setelah melahirkan Lucyana.
"Joni Erlangga? Bukankah dia salah satu patner bisnis Papa, 'kan?" tanya Galen.
"Ya, tapi perusahaan itu dibangun oleh keluarga Nyonya Ivy. Sebelum meninggal, beliau yang mengurus perusahaan itu. Bisa dibilang apa yang Joni Erlangga miliki kini sepenuhnya milik mendingan nyonya Ivy, Joni hanya mengelolanya saja," jelas Daren.
"Gali informasi lebih dalam lagi mengenai Lucyana," perintah Galen. "Retas seluruh CCTV rumah itu!" sambungnya.
"Sudah kami lakukan. Kamu bisa langsung terhubung nanti," ucap Daren.
Galen menyalakan iPadnya, masuk ke sebuah situs yang langsung menyambungkan dengan CCTV rumah Lucyana. Galen langsung diperlihatkan pemandangan yang menyayat hatinya. Lucyana dicambuk oleh seorang pria. Galen sempat memejamkan mata, melihat tindakan keji pria itu terhadap Lucyana.
"Pria ini Joni Erlangga, bukan?" Galen menunjukkan rakaman CCTV rumah Lucyana di iPadnya kepada Daren.
"Apa dia sudah gila?" Daren merasa geram melihat tindakan keji Joni. "Ayah macam apa dia, tega melakukan tindakan keji itu pada putri kandungnya."
"Siapa saja yang ada di sana?" tanya Galen.
"Ini Kamila, istri kedua Joni dan gadis ini, Cintya. Dia anak Joni dengan Kamila," jelas Daren. "Dan yang sedang menangis itu, dia pengasuh Lucyana."
Daren meringis melihat aksi keji itu, sedangkan Galen menatap dengan datar, meskipun begitu amarah tetap bersarang di dalam dadanya.
"Ini udah tidak bisa dibiarkan, Galen. Gadis itu bisa mati," ucap Daren cemas.
"Hubungi pria keparat itu!" perintah Galen yang langsung dikerjakan oleh Daren.
Galen menerima ponsel yang diberikan oleh Daren lantas menempelkan benda pipih itu ke dekat telinganya. Setelah panggilan tersambung Galen langsung memberikan intimidasi.
"Siapa ini?"
Galen tidak menjawab pertanyaan yang Kamila lontarkan. Pandangan masih terus mengarah pada layar iPad, memerhatikan setiap gerakan orang di rumah itu.
"Halo, siapa ini?"
Galen tersenyum sinis ketika mendengar suara Joni.
"Hentikan perbuatan gilamu! Atau aku akan menghancurkanmu sampai titik terendah!" ancam Galen.
"Siapa ini!"
"Malaikat pencabut nyawa." Setelah itu Galen memutuskan sambungan telepon secara sepihak.
Daren meringis melihat bagaimana cara Galen bicara. Aura, cara bicara, juga sikapnya benar-benar titisan Elgar.
Di tempat lain …
Lucyana sudah sangat lemah, ia terkapar di lantai, tidak bisa melakukan apapun, kecuali menangis. Penghuni di rumah itu tidak ada satupun yang bisa membantu, hanya pengasuh Lucyana yang terus menangis, juga memohon agar Lucyana dilepaskan.
"Dasar anak sial!" maki Joni.
Kondisi Lucyana memang sangat lemah, tetapi masih bisa mendengar makian Joni. Hatinya semakin teriris mendengar makian sang ayah.
"Sudah, Tuan. Kasihani Non Lucyana," mohon Bibi.
"Diam! Anak ini memang harus diberikan pelajaran, biar gak melawan terus!" teriak Joni.
"Pa," panggil Cintya. "Papa harus tahu siapa yang Lucyana celakai?" ucap Cintya. Ekspresi Cintya terlihat jahat, ia tidak sabar melihat apa yang akan dilakukan oleh ayahnya terhadap Lucyana jika tahu siapa teman yang Lucyana maksud.
Joni berhenti, menoleh ke arah Cintya, ekspresi wajahnya berubah, tidak sedingin saat melihat ke arah Lucyana. "Siapa, Sayang?" tanya Joni.
"Galen Haidar Bramantyo, laki-laki yang digadang-gadang akan menjadi pewaris Bramantyo Corporation," jawab Cintya diikuti seringai jahatnya.
"Apa?" Mendengar nama Bramantyo membuat Joni semakin murka. Tatapannya mengarah kembali pada Lucyana dengan amarah yang semakin memuncak. "Dasar anak to*ol. Kita bisa habis sama mereka. Bramantyo bukan keluarga sembarangan!"
"Udah, Pa cambuk saja lagi," hasut Cintya.
"Jangan, Tuan. Sudah cukup, saya mohon!" Bibi merangkak ke dekat Lucyana lantas mengungkungi punggung Lucyana seolah ingin melindungi anak asuhnya.
"Minggir!" bentak Joni.
"Jangan, Tuan! Ampuni Non Ana." Bibi memohon dengan menyatukan kedua tangannya.
"Udah, Pa. Cambuk bibi saja sekalian," hasut Cintya lagi. Anak kedua Joni itu adalah orang yang paling menikmati situasi itu, selain Kamila.
Cintya selalu iri dengan Lucyana, menganggap saudara tirinya itu siangan terberat dalam hidupnya. Selain kecantikannya, Lucyana juga selalu mendapatkan perhatian lebih dari teman dan juga guru waktu di sekolah lamanya. Tidak ingin satu sekolah dengan Lucyana, Cintya meminta kepada sang ayah untuk memindahkan Lucyana ke sekolah lain.
Lagi dan lagi Lucyana beruntung. Atas rekomendasi teman bisnisnya, Joni memindahkan Lucyana ke Astrea highschool, sekolah yang lebih mahal dan bergengsi dari sekolah lamanya. Akan tetapi Joni melakukan itu bukan karena sayang terhadap Lucyana, tetapi lantaran gengsi dan ingin dianggap orang tua yang baik di mata orang-orang.
"Kali ini aku tidak akan mengampunimu, Anak sial," teriak Joni.
Lagi, Joni kembali mencambuk Lucyana, tetapi kali ini pengasuhnya melindungi dia.
"Aaa!" pekik Bibi.
"Bibi," ucap lirih Lucyana nyaris tidak terdengar.
"Rasakan itu," batin Cintya.
Dengan sisa tenaganya Lucyana bergerak, membalik tubuhnya itupun dibantu oleh pengasuhnya.
"Non," ucap lirih Bibi.
"Bibi, gak apa-apa?" tanya Lucyana nyaris tidak terdengar.
"Iya, Bibi tidak apa-apa."
Lucyana mengarahkan pandangannya ke arah Joni lantas tertawa getir. Dengan sisa tenaganya Lucyana bicara, "Kenapa Papa tidak lenyapkan Ana saja? Kenapa Papa membiarkan Ana tumbuh sampai sebesar ini."
"Diam kamu, anak pembawa sial!" bentak Joni.
Joni ngin mengulangi perbuatannya, tetapi Kamila mencegahnya. Istri kedua Joni mengatakan ada seseorang yang menelpon dan mengancamnya.
"Pa, ada yang menelpon?"
Joni menerima gagang telepon yang diberikan oleh Kamila. "Siapa ini!" Joni bicara dengan suaranya yang keras.
"Hentikan perbuatan gilamu Joni? Atau aku akan menghancurkanmu sampai titik terendah!"
Mata Joni terbelalak mendengar ancaman yang diberikan oleh seseorang dari seberang telepon.
"Siapa ini?" Joni bertanya sembari berteriak suaranya bahkan sampai memenuhi ruangan tengah rumah itu.
"Malaikat pencabut nyawa."
"Jangan berc—"
Joni menggeram saat sambungan telepon terputus secara sepihak. "Sialan! Siapa yang berani mengancamku?"
"Ada apa, Pa?" Kamila mendekat ke tempat Joni.
"Seseorang sepertinya mengawasi kita," jawab Joni geram.
"Siapa, Pa?" tanya Kamila disambut gelengan Joni.
"Bisa jadi bukan orang biasa. Suaranya saja bisa bikin papa merinding," jawab Joni.