Menceritakan tentang Anis yang pindah rumah, Karena di tinggal kecelakaan oranf tuanya.Rumah tersebut milik tante Parmi yang ada di kampung. Banyak kejadian yang di alami Anis di rumah tersebut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon KERTAS PENA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pesan dari Kegelapan
Sudah beberapa minggu sejak Anis meninggalkan rumah tua itu. Hidupnya di kota kembali normal, namun pengalaman bersama Fina dan segala misteri di rumah tersebut masih terngiang-ngiang dalam pikirannya. Anis merasa lega bahwa ia telah membantu Fina menemukan kedamaian, namun ada bagian dari dirinya yang merasa bahwa cerita itu belum sepenuhnya usai. Setiap malam, bayangan Fina yang tersenyum dan pesan-pesan samar dalam mimpinya kerap membuat Anis bertanya-tanya—apakah ada yang belum selesai?
Suatu malam, Anis sedang duduk di meja kerja di apartemennya, mencoba fokus pada pekerjaan. Di mejanya, buku harian Fina yang telah ia bawa dari rumah tua itu tergeletak. Anis belum membuka buku itu lagi sejak hari terakhirnya di rumah tersebut, merasa cukup dengan semua yang ia pelajari. Namun, malam itu, keinginannya untuk membuka kembali halaman-halaman usang itu muncul begitu kuat. Ia merasakan dorongan untuk membacanya lagi, seolah-olah Fina ingin menyampaikan sesuatu yang lain.
Anis membuka buku harian itu, menyentuh lembar-lembar halus yang sudah mulai menguning. Ketika ia sampai di halaman terakhir, ada tulisan kecil yang terlewat sebelumnya. Tulisan itu begitu samar dan sulit dibaca, tetapi dengan cahaya lampu meja, Anis mulai memahami apa yang tertulis di sana.
“Jika ada seseorang yang menemukanku, tolong jangan biarkan rumah ini kembali pada kegelapan…”
Anis merasa merinding. Kata-kata itu terdengar seperti sebuah pesan peringatan. Kegelapan yang pernah menyelimuti rumah itu mungkin bisa kembali kapan saja. Tiba-tiba, telepon Anis berdering, memecahkan keheningan di ruangannya. Di layar tertera nama Pak Handoko. Anis mengangkat teleponnya dengan sedikit rasa cemas.
“Halo, Pak Handoko?” suara Anis terdengar tegang.
“Halo, Nona Anis. Maaf mengganggu di malam hari, tapi saya perlu memberi tahu sesuatu yang aneh,” ujar Pak Handoko dengan nada rendah, suaranya terdengar lelah. “Sejak Nona pergi, ada hal-hal aneh yang mulai terjadi lagi di rumah ini.”
Anis menelan ludah. “Apa maksud Bapak? Bukankah Fina sudah bebas?”
Pak Handoko terdiam sejenak sebelum menjawab. “Ya, Fina sudah pergi. Tapi… saya yakin ini bukan lagi tentang dirinya. Ada kehadiran lain yang lebih gelap, sesuatu yang lebih kuat daripada yang kita duga. Rumah ini kembali terasa dingin dan berat.”
Perasaan takut mulai merayap dalam hati Anis. “Apa yang bisa saya lakukan, Pak?”
Pak Handoko menghela napas panjang. “Saya tidak tahu pasti, tapi saya merasa kehadiran Nona sangat membantu menenangkan energi di rumah ini. Mungkin jika Nona datang lagi, kita bisa mencari cara untuk mengusir kegelapan ini selamanya.”
Anis terdiam, memikirkan situasinya. Kembali ke rumah tua itu bukanlah hal yang mudah. Ia tahu risiko yang harus ia hadapi, tapi pesan terakhir di buku harian Fina dan desakan Pak Handoko membuatnya merasa bahwa ia harus kembali. Mungkin, ini adalah kesempatan terakhir untuk benar-benar menutup babak gelap yang selama ini menghantui rumah itu.
Esok harinya, Anis memutuskan untuk kembali ke rumah tersebut. Pak Handoko menjemputnya di stasiun, wajahnya dipenuhi kekhawatiran namun ada sedikit harapan ketika melihat Anis.
“Terima kasih sudah mau datang kembali, Nona,” ujar Pak Handoko dengan senyum tipis.
“Sama-sama, Pak. Saya juga merasa ada yang belum selesai,” jawab Anis.
Saat mereka memasuki rumah, suasana kembali terasa dingin dan mencekam, lebih gelap daripada yang Anis ingat. Cahaya di dalam rumah terasa redup meskipun hari masih sore. Anis merasakan hawa berat menyelimuti tubuhnya, seolah ada energi yang menolak kehadirannya.
“Kegelapan ini… terasa lebih kuat daripada sebelumnya,” ujar Anis sambil memperhatikan sekelilingnya.
Pak Handoko mengangguk. “Sejak Nona pergi, pintu ruang bawah tanah sering terbuka sendiri. Ada suara-suara aneh di malam hari, bahkan beberapa benda bergerak dengan sendirinya. Saya khawatir ini adalah sesuatu yang berbahaya.”
Anis tahu bahwa ia tidak bisa menghadapinya sendirian. Kali ini, ia dan Pak Handoko harus bekerja sama untuk menemukan cara mengusir kegelapan tersebut. Mereka memutuskan untuk menelusuri seluruh rumah, berharap menemukan petunjuk atau sesuatu yang bisa memberi jawaban tentang kehadiran yang gelap itu.
Saat mereka menyusuri lorong yang mengarah ke ruang bawah tanah, Anis merasa bulu kuduknya meremang. Lorong itu lebih gelap dan lebih sempit dari yang ia ingat. Di dinding-dinding, bayangan bergerak seolah-olah ada sosok tak terlihat yang mengintai mereka. Pak Handoko berjalan di depan, membawa lentera kecil yang menjadi satu-satunya sumber cahaya.
Ketika mereka sampai di pintu ruang bawah tanah, Anis melihat sesuatu yang membuatnya terkejut. Di sana, di permukaan pintu kayu itu, terukir simbol-simbol aneh yang sebelumnya tidak ada. Simbol-simbol itu terlihat seperti tanda peringatan atau perlindungan, namun terlihat sudah luntur dan rusak.
“Mungkin ini alasannya,” gumam Pak Handoko sambil menyentuh simbol-simbol tersebut. “Mungkin, simbol ini dulu dipasang untuk mengunci sesuatu di ruang bawah tanah, tapi kini kekuatannya sudah hilang.”
Anis menatap simbol itu dengan rasa khawatir. “Apa mungkin ini adalah sesuatu yang lebih berbahaya daripada roh Fina?”
Pak Handoko mengangguk pelan. “Bisa jadi, Nona. Mungkin ini adalah kekuatan yang selama ini membuat rumah ini penuh dengan kegelapan.”
Mereka berdua akhirnya memutuskan untuk membuka pintu ruang bawah tanah dan turun ke dalamnya. Saat mereka melangkah ke bawah, suara gemerisik dan bisikan terdengar semakin keras. Hawa dingin terasa semakin menusuk, dan kegelapan di ruang bawah tanah seolah menelan mereka. Anis berusaha tetap tenang, meskipun hatinya berdebar kencang.
Di tengah ruangan, mereka melihat sebuah cermin besar yang tampak kuno dan berdebu. Cermin itu seolah memancarkan energi gelap yang begitu kuat. Anis mendekati cermin itu, merasa ada sesuatu yang aneh.
“Pak Handoko, lihat ini. Cermin ini… sepertinya sumber dari kegelapan itu,” bisik Anis.
Pak Handoko mengangguk. “Cermin ini adalah peninggalan leluhur keluarga ini. Konon, cermin ini memiliki kekuatan untuk menahan sesuatu… mungkin kehadiran yang selama ini mengganggu rumah ini.”
Anis merasa bahwa cermin itu harus dihancurkan untuk mengakhiri kegelapan yang bersemayam di rumah tersebut. Dengan keberanian yang terkumpul, ia mengangkat batu besar yang ada di dekatnya, lalu mengarahkannya ke cermin. Tepat saat ia hendak memukul cermin itu, suara jeritan melengking terdengar dari dalam cermin, seolah ada makhluk yang berusaha menghentikannya.
Namun, dengan tekad yang kuat, Anis menghantam cermin itu dengan sekuat tenaga. Cermin itu retak dan hancur, dan seketika itu pula, suasana di ruang bawah tanah menjadi lebih ringan. Hawa dingin dan bisikan-bisikan aneh menghilang. Kegelapan yang menyelimuti rumah itu seakan terserap ke dalam pecahan-pecahan cermin, menghilang selamanya.
Pak Handoko tersenyum lega, matanya berkaca-kaca. “Terima kasih, Nona Anis. Anda telah mengakhiri semua ini. Rumah ini akhirnya bisa bebas dari kutukan yang selama ini menghantuinya.”
Anis merasa lega, meskipun tubuhnya lelah. Ia tahu bahwa ini adalah akhir dari perjalanan misteri rumah tua itu. Kini, ia bisa pulang dengan tenang, membawa kenangan akan rumah tersebut dan perjuangannya untuk membebaskan Fina dan menghentikan kegelapan yang telah lama menghantui tempat itu.
Dengan langkah mantap, Anis meninggalkan rumah itu untuk terakhir kalinya, membawa rasa damai dan kebanggaan dalam hatinya. Kegelapan telah berakhir, dan rumah itu kini bisa beristirahat dalam kedamaian yang sejati.