TINGGAL DI RUMAH ANGKER YANG LAMA TIDAK DIHUNI
Di suatu hari Anis yang sedang mempersiapkan baju untuk berkemas pindah rumah setelah di tinggal orang tuanya, Anis dengan sangat terpaksa harus pindah ke kampung neneknya di daerah Jawa Timur.
Perjalanan dari Jakarta ke Jawa timur sekitar 8 Jam via kereta api.
Anis pun mulai berangkat ke Jawa Timur pukul 13:00 siang, dalam perjalanan anis melihat pemandangan indah dari kaca jendela kereta Api. Dan tak terasa mata Anis pun mulai mengantuk, dan akhirnya anis memutuskan untuk tidur.
Waktu tak terasa Anis telah sampai di Jawa timur, Anis lalu memesan taksi online menuju ke Alamat desa neneknya, dan sampailah Anis di desa tujuan, Anis menoleh kanan kiri dan melihat rumah besar di sebelah kanan jalan, Rumah tersebut rupanya rumah neneknya.
Anis berdiri di depan rumah besar itu, menatapnya dengan perasaan campur aduk antara kagum dan ngeri. Rumah yang berdiri angkuh di hadapannya begitu tua dan megah, tapi aura kelam terasa begitu kuat. Batu-batu bata di dindingnya terlihat kusam, dikelilingi lumut yang menjalar ke sana kemari. Tanaman liar tumbuh merambat di sekitar pintu, sementara jendela-jendela tua itu seakan-akan menatapnya, kosong namun mengintimidasi.
“Selamat datang, Anis,” Tante Parmi berkata dengan senyum yang tampak dipaksakan. "Mulai sekarang, rumah ini akan menjadi rumahmu juga."
Anis berusaha tersenyum, tapi hatinya masih terasa berat. Setelah kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan tragis, ia tak punya pilihan selain tinggal bersama tante satu-satunya, yang tidak terlalu ia kenal. Namun, di balik kesedihan itu, ada perasaan lain yang tidak bisa ia jelaskan. Ada yang terasa salah sejak pertama kali melihat rumah itu.
Saat memasuki rumah, suara pintu yang berderit memecah kesunyian, mengundang rasa dingin yang mengalir hingga ke tulang belakang Anis. Udara di dalam rumah lebih dingin dari yang ia bayangkan. Ruang tamu yang luas itu terasa kosong dan suram, meskipun banyak perabot antik yang mengisi ruangan. Cahaya remang dari lampu gantung tua hanya menambah suasana misterius.
“Rumah ini… sudah lama tidak ditempati, ya?” tanya Anis dengan nada hati-hati.
Tante Parmi mengangguk pelan, matanya sedikit menghindari tatapan Anis. “Ya, sudah cukup lama,” jawabnya singkat. “Tapi jangan khawatir. Kamu akan terbiasa. Semua ini hanya soal waktu.”
Tidak lama kemudian, seorang pria tua dengan wajah berkeriput muncul dari balik pintu belakang, membawa sapu dan ember. Dia mengenakan topi anyaman dan mengenakan seragam yang sudah usang, namun rapi. Pria itu memandang Anis dengan mata yang tajam, seolah menilai kedatangannya.
“Oh, Anis, kenalkan. Ini Pak Handoko, tukang kebun di sini,” ujar Tante Parmi. “Dia sudah bekerja di rumah ini selama bertahun-tahun.”
Anis menatap Pak Handoko dan memberi senyuman kecil. Pria itu hanya mengangguk singkat, lalu berkata dengan suara pelan, “Selamat datang, Nona Anis. Jika ada yang dibutuhkan, saya ada di belakang.” Dengan cepat, Pak Handoko berlalu, tapi Anis bisa merasakan sesuatu yang tidak ia mengerti dalam tatapan pria itu—seolah ada peringatan yang tak terucap.
Malam pertama di rumah baru itu, Anis sulit tidur. Kamar yang disiapkan untuknya berada di lantai atas, menghadap ke halaman belakang yang gelap dan terkesan menyeramkan. Setiap kali Anis mencoba memejamkan mata, ia merasa seperti ada yang mengawasinya. Angin malam menembus celah jendela tua, menghasilkan bunyi berdesir yang menyeramkan. Di tengah malam, ia mendengar suara langkah kaki di lorong.
Awalnya ia mengira itu hanya perasaan atau halusinasi karena lelah, tapi suara itu semakin nyata—langkah demi langkah, terdengar semakin dekat. Dengan jantung berdegup kencang, Anis berusaha tetap diam. Namun, ketakutannya semakin menjadi ketika pintu kamarnya berderit terbuka sedikit, meski ia tahu telah menguncinya.
“Siapa… di luar sana?” bisiknya dengan suara gemetar.
Tak ada jawaban. Setelah beberapa saat, langkah kaki itu menghilang begitu saja, dan pintu kembali tertutup pelan, seolah tak ada yang pernah terjadi.
Keesokan paginya, Anis mencoba menyingkirkan perasaan takutnya. Ia berpikir mungkin saja itu hanya imajinasinya, atau mungkin suara angin yang kebetulan berhembus di lorong. Namun, ia masih tidak bisa menghilangkan perasaan aneh itu.
Di sore hari, saat sedang duduk di beranda belakang, Anis mendengar suara lembut dari belakang. “Halo, kamu Anis, ya?”
Anis terkejut dan menoleh. Seorang gadis seusianya berdiri di sana, mengenakan pakaian putih sederhana. Rambutnya hitam panjang, dan matanya tampak menyimpan keanehan yang sulit dijelaskan.
“Siapa… kamu?” tanya Anis, mencoba mengenali gadis itu.
“Aku Fina. Senang berkenalan denganmu, Anis,” jawab gadis itu dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat.
Anis mengernyit. “Kamu tinggal di sekitar sini?”
Fina mengangguk, tetapi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut. “Aku sering datang ke sini. Rumah ini menarik, penuh kenangan, dan penuh cerita yang belum selesai.” Ucapannya terdengar aneh, namun Anis tidak ingin mengusik lebih jauh. Fina kemudian mengajaknya berjalan di sekitar halaman, sambil bercerita tentang bagian-bagian rumah yang tampak usang dan berdebu.
Namun, ada satu hal yang membuat Anis merasa tidak nyaman. Fina tampak sangat mengenal rumah itu, bahkan lebih dari dirinya sendiri. Gadis itu tahu setiap sudut dan detail kecil di rumah itu, termasuk ruangan-ruangan terkunci yang bahkan belum pernah dibuka oleh Anis.
Saat Fina mengajak Anis ke ruang bawah tanah, Anis menolak dengan sopan. “Aku pikir, mungkin lain kali saja. Tempat ini… terlalu menyeramkan,” kata Anis sambil tersenyum kaku.
Fina memandangnya dengan tatapan kecewa, namun senyumnya masih tetap terpampang. “Baiklah, kalau begitu. Tapi ingat, Anis, ada banyak hal yang harus kamu ketahui tentang rumah ini,” katanya sambil menatap tajam. “Kadang, bukan kita yang memilih tempat tinggal, tetapi tempat itu yang memilih kita.”
Anis merasakan bulu kuduknya meremang. Gadis ini aneh, dan cara bicaranya membuat suasana menjadi semakin tidak nyaman. Namun sebelum ia sempat bertanya lebih lanjut, Fina berbalik dan berjalan perlahan ke arah taman belakang, menghilang di balik pepohonan.
Saat itu, Pak Handoko datang menghampiri dengan raut wajah serius. “Nona Anis, kalau boleh tahu, tadi Anda bicara dengan siapa?” tanyanya sambil melirik ke arah taman.
“Oh, tadi aku bertemu seorang gadis bernama Fina. Dia bilang sering datang ke sini. Dia sepertinya tahu banyak tentang rumah ini,” jawab Anis dengan santai.
Ekspresi Pak Handoko tiba-tiba berubah pucat. “Nona Anis… Tidak ada seorang pun yang bernama Fina di sini. Sejak dulu, rumah ini selalu sepi,” katanya dengan suara bergetar.
Anis terdiam, hatinya mendadak terasa berat. Tiba-tiba, pertemuannya dengan Fina terasa semakin aneh dan menyeramkan. Tidak mungkin itu hanya halusinasi—Fina tampak begitu nyata, begitu dekat. Namun, ucapan Pak Handoko membuat Anis mempertanyakan apa yang sebenarnya terjadi.
Saat itu juga, perasaan gelisah kembali menyelimuti Anis. Apa yang sebenarnya tersembunyi di balik rumah ini? Dan siapa sebenarnya Fina?
Pertanyaan itu terus menghantuinya, seolah-olah memberi isyarat bahwa pertemuannya dengan Fina adalah awal dari sebuah misteri yang lebih gelap dan lebih dalam dari yang bisa ia bayangkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 24 Episodes
Comments