Setelah kejadian kecelakaan kerja di laboratorium miliknya saat sedang meneliti sebuah obat untuk wabah penyakit yang sedang menyerang hampir setengah penduduk bumi, Alena terbangun di suatu tempat yang asing. Segala sesuatunya terlihat kuno menurut dirinya, apalagi peralatan di rumah sakit pernah dia lihat sebelumnya di sebuah museum.
Memiliki nama yang sama, tetapi nasib yang jauh berbeda. Segala ingatan tentang pemilik tubuh masuk begitu saja. Namun jiwa Alena yang lain tidak akan membiarkan dirinya tertindas begitu saja. Ini saatnya menjadi kuat dan membalaskan perlakuan buruk mereka terutama membuat sang suami bertekuk lutut.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menjaga Alena saja tidak becus.
Begitu mengetahui ada yang hendak mencelakai Alena, Althaf langsung bergegas menuju rumah sakit. Pantas saja, langkah kaki Althaf begitu berat saat meninggalkan rumah sakit. Di kamar hotel pun Althaf pikirannya sama sekali tak tenang, sudah sangat mengantuk namun tak kunjung bisa memejamkan matanya.
Tak tanggung-tanggung, satu lantai tempat Alena di saat langsung di kosongkan dan dijaga dengan 2 orang bodyguard terbaik.
Alasannya karena orang yang hendak mencelakai Alena merupakan anggota dari organisasi mafia Silent Mask, organisasi mafia hitam paling berharga.
Tanda topeng hitam di tengkuk belakang merupakan ciri khas dari anggota Silent Mask. Sayangnya saat Zaldo hendak menginterogasi orang tersebut keburu bunuh diri dengan cara menggigit kapsul yang terselip di antara giginya. Dalam hitungan detik, mulutnya langsung mengeluarkan busa dan seketika mati.
Memang begitu, setiap anggota Silent Mask gagal dalam menjalani misi maka wajib bunuh diri atau seluruh anggota keluarganya akan dihabisi tanpa bersisa. Zaldo mengeratkan kepalan tangannya karena tidak bisa mencari tahu siapa dalang yang hendak mencelakai Alena. Apalagi setelah hasil pemeriksaan cairan infus yang telah terkontaminasi ternyata mengandung racun ular Taipan yang sangat mematikan. Sedikit saja racun itu masuk ke dalam tubuh Alena, maka nyawa Alena tidak akan terselamatkan.
Guratan-guratan di dahinya serta kantung mata yang menghitam memperjelas kondisi Althaf yang kelelahan dan kurang tidur. Namun Althaf masih tak bisa tenang saat mengetahui anggota Silent Mask yang turun langsung untuk mengeksekusi targetnya. Yang artinya, dalang dibalik ini bukan orang yang sembarangan, tidak semua orang bisa menggunakan jasa Silent Mask. Selain membutuhkan uang yang sangat banyak, tentu orang tersebut memiliki koneksi dengan petinggi Silent Mask.
“Sebaiknya kamu istirahat saja, Al. Lihatlah mata panda kamu sudah sangat tebal, tentu akan mempengaruhi citra ketampanan seorang Tuan Besar Althaf,” sindir Zaldo.
Kedua bola mata Althaf membola, bahkan nyaris keluar dari tempatnya. Bisa-bisanya Zaldo bercanda saat situasi seperti ini. Selamat dalang belum dapat diketahui maka nyawa Alena masih belum aman. Namun Althaf berfikir keras siapa yang ingin membunuh Alena, musuh saja Alena tidak punya. Dan jika dipikirkan lebih jauh, tidak akan ada untungnya membunuh Alena.
“Sepertinya dalang dari semua ini sebenarnya ditujukan untuk kamu, tapi mereka menargetkan Alena agar untuk membuatmu kehilangan fokus,” tebak Zaldo, nyaris sama dengan apa yang diduga oleh Althaf.
“Tapi bukankah itu terlalu beresiko? Jika dalang ini semua menargetkan saya, mengapa tidak langsung saja. Bukannya jika saya mati beres semua akan selesai,” jawab Althaf asal.
“Apa beristri tiga orang membuat seorang jenius Althaf berubah menjadi manusia idiot? Apa perkara membunuh kamu semudah membeli cireng?” Zaldo hanya bisa menggelengkan kepalanya.
Althaf terdiam, kepalanya saat ini begitu pusing tidak dapat digunakan untuk berpikir dengan jelas. Dia butuh istirahat, tadi hanya Alena yang bisa membuatnya tidur dengan nyenyak.
Sayup-sayup suara orang yang sedang berbicara terdengar di telinganya. Mencoba untuk membuka mata namun terasa begitu sulit, hanya seberkas cahaya yang bisa masuk melalui celah kelopak matanya. Tubuhnya pun seakan mati rasa, tak merasakan apapun.
Pikirannya menerawang, saat terakhir sebelum kehilangan kesadaran dia sedang di laboratorium melakukan penelitian untuk membuat obat. Terjadi ledakan sangat besar saat salah satu laboran salah memasukkan racikan bahan kimia ke dalam sampel uji. Dirinya berfikir tidak akan selamat dari kecelakaan itu.
Tenggorokannya yang terasa gatal dan kering, menyulitkannya untuk berbicara dan meminta tolong. Setelah berusaha mengumpulkan tenaga, akhirnya dalam penglihatan yang masih terbatas, dia bisa melihat ada dua orang pria yang tengah berbicara. Dia hanya bisa mendengarkan tanpa bisa meminta bantuan. Menggerakkan tangan pun tak kuasa, tubuhnya seakan lumpuh untuk memberikan isyarat jika dia sudah sadar dan membutuhkan sesuatu.
“Ha–ha–us,” ucapnya begitu lirih.
Telinga Althaf yang sensitif mendengar suara yang keluar dari mulut Alena.
“Lena… Lena.. kamu sudah sadar??” Althaf memastikan kondisi Alena.
Sedangkan Zaldo segera memencet tombol bantuan agar dokter dan perawat datang untuk memeriksa kondisi Alena. Ada hal yang Zaldo khawatirkan, Alena sudah sadar namun tak kunjung membuka matanya.
Tak lama seorang dokter dan dua perawat datang, mereka langsung memeriksa kondisi Alena. Althaf dan Zaldo menunggu dengan cemas, tak banyak berbicara takut mengganggu proses diagnosa dokter.
“Tuan, saat ini kondisi Nyonya sudah sadar dari koma. Namun karena koma dalam waktu cukup lama, kondisi tubuhnya masih sangat lemah. Nyonya memang sudah sadar dan memerlukan beberapa waktu agar bisa sepenuhnya membuka mata. Untuk sekarang nyonya sudah bisa mendengarkan dengan baik situasi yang ada disekitarnya.” terang dokter dengan jelas.
“Apakah tidak ada masalah lain dalam kondisi istri saya, Dok?” Althaf penasaran.
“Sepertinya yang saya jelaskan pasca operasi Nyonya bisa saja mengalami kelumpuhan atau amnesia akibat cedera di bagian belakang dan punggung. Untuk saat ini memang kita tidak bisa memastikannya sebelum Nyonya sadar sepenuhnya,” ungkap Dokter sedikit ragu, dia takut akan menjadi sasaran kemarahan Althaf.
Dunia Althaf seakan berguncang, tubuhnya mendadak linglung dan nyaris hilang keseimbangan. Dia bahkan melupakan tentang bagaimana kemungkinan kondisi Alena pasca operasi. Kepalanya yang sakit semakin bertambah sakit setelah mendengar ucapan dokter. Bahkan Althaf sama sekali tak menggubris saat Zaldo meremas pakaian Althaf dan menghimpitnya ke tembok.
Tak ingin menjadi sasaran kemarahan dua orang pria, dokter dan perawat tersebut segera meninggalkan ruang perawatan.
“Dengarkan ucapan aku baik-baik Althaf, jika sesuatu yang buruk setelah Alena bangun maka Alena akan aku bawa pergi menjauh dari kehidupanmu yang busuk Tuan Althaf!!!” ancam Zaldo sambil mencengkram kerah baju Althaf.
“Tidak… tidak… kelinci kecilku tetap sehat, tetap cantik.” Althaf berbicara dengan ekspresi mata yang kosong.
Gilbert yang duduk di sofa, hanya berdiam menikmati secangkir kopi. Dia nampak acuh tak acuh dan membiarkan kedua pria itu bersitegang. Gilbert tak ingin ikut campur dalam urusan memperebutkan wanita.
Bbuugghh.
“Bangun breng-sek, ini semua gara-gara kamu!! Menjaga Alena saja tidak becus. Jangan harap setelah ini, kamu bisa bertemu dengan Alena.” Zaldo melampiaskan emosi dan kesedihannya dengan memberikan pukulan pada perut Althaf.
Entah bagaimana nanti jika Alena menjadi seseorang yang lumpuh, akankah dia sanggup menghadapi kehidupan selanjutnya. Namun apabila Alena amnesia, apa akan mengingat dirinya saat ini. Semua itu bercampur aduk dalam pikiran, Zaldo. Bukan berarti dia tidak menerima Alena apa adanya tetapi dia mengkhawatirkan kondisi Alena.
Tatapan Althaf berubah kelam, bola matanya membidik pria yang ada dihadapannya saat ini. Ucapan Zaldo seperti sebuah boom waktu yang siap meledak, saat ini Althaf mulai kehilangan pengendalian atas dirinya.
“Tidak ada yang bisa mengambil boneka kesayanganku termasuk Tuhan sekalipun,” tegas Althaf penuh penekanan.
Zaldo tak gentar, bahkan dia siap menantang balik Althaf dan mengambil Alena yang seharusnya menjadi miliknya.
“Ciihh apa masih pantas kamu berkata seperti itu hah? Alena terbaring saat ini memang salah siapa?? Siapa yang tidak bisa menjaganya dengan benar hah!! Ngaca Althaf, ngaca Al. Dasar sialan… manusia burik!!!” balas Zaldo dengan segala umpatannya kepada Althaf.
Praaakkkk
Suara pecahan gelas memecah ketegangan di antara mereka. Tanpa mereka sadari, Alena sudah dasar sedari tadi. Dengan sorot mata kebingungan, Alena melihat sekelilingnya yang sangat asing dan berbeda.
“Sampai kapan kalian terus bertengkar seperti ini?? Sampai salah satu di antara kalian ada yang meninggal!” sindir Gilbert, dia menghampiri Alena dan memberikannya segelas air minum.
Zaldo dan Althaf menatap Alena dengan serius, menunggu wanita itu berbicara. Dengan tatapan yang terkesan bingung dan penuh pertanyaan, Alena menatap satu persatu wajah orang-orang yang ada disekitarnya.
Sekelebat ingatan yang tak pernah dia alami melintas begitu saja dan berputar -putar. Namun layaknya sebuah kaset kusut, semakin dia berusaha mencerna dan memahaminya semakin sakit kepalanya. Semuanya tampak bias dan samar, apalagi suasana dimana dia berasa sangat jauh berbeda.
Alat infus, alat EKG (monitor detak jantung), ranjang pasien dan interior ruangan yang sangat ketinggalan jaman. Belum lagi pria-pria dihadapannya menggunakan pakaian jadul, ketinggalan mode.
“Alena… Alena.. kamu tidak apa-apa?” tanya Althaf antusias.
“Ka-kamu si-siapa??”