Kaivan, anak konglomerat, pria dingin yang tak pernah mengenal cinta, mengalami kecelakaan yang membuatnya hanyut ke sungai dan kehilangan penglihatannya. Ia diselamatkan oleh Airin, bunga desa yang mandiri dan pemberani. Namun, kehidupan Airin tak lepas dari ancaman Wongso, juragan kaya yang terobsesi pada kecantikannya meski telah memiliki tiga istri. Demi melindungi dirinya dari kejaran Wongso, Airin nekat menikahi Kaivan tanpa tahu identitas aslinya.
Kehidupan pasangan itu tak berjalan mulus. Wongso, yang tak terima, berusaha mencelakai Kaivan dan membuangnya ke sungai, memisahkan mereka.
Waktu berlalu, Airin dan Kaivan bertemu kembali. Namun, penampilan Kaivan telah berubah drastis, hingga Airin tak yakin bahwa pria di hadapannya adalah suaminya. Kaivan ingin tahu kesetiaan Airin, memutuskan mengujinya berpura-pura belum mengenal Airin.
Akankah Airin tetap setia pada Kaivan meski banyak pria mendekatinya? Apakah Kaivan akan mengakui Airin sebagai istrinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12. Dianggap Guling
Ferdi menunduk sedikit sebelum menjawab, "Belum, Tuan. Saya sudah menyelidiki rute perjalanan yang dilalui Tuan muda, tetapi belum menemukan petunjuk tentang keberadaannya."
Alva menghela napas panjang, memijit pelipisnya dengan gerakan perlahan. "Kerahkan lebih banyak orang untuk mencarinya. Aku ingin dia ditemukan secepat mungkin, Ferdi."
Ferdi mengangguk, mata tajamnya memancarkan kesungguhan. "Baik, Tuan. Saya akan memastikan tim saya bekerja maksimal."
Saat Ferdi berbalik untuk pergi, Alva bergumam lirih, lebih kepada dirinya sendiri, "Ke mana kamu, Van? Kami semua mengkhawatirkanmu."
Ferdi mendengar gumaman itu, dan meski sering bertindak di luar perintah, ia tahu seberapa besar Alva mempercayainya. Dalam hatinya, ia bertekad, "Aku tidak akan pulang sebelum menemukan Tuan muda."
Ferdi tidak akan pernah melupakan momen saat hidupnya berada di titik terendah, ketika tidak ada seorang pun yang bersedia membantunya. Saat itu, Alva datang, mengulurkan tangan dengan tulus, memberinya pekerjaan, dan memberinya kesempatan untuk memperbaiki hidup. Berkat bantuan Alva, Ferdi mampu menghidupi keluarganya dengan layak.
Namun, kebaikan Alva tidak berhenti di situ. Meskipun Ferdi hanya seorang pekerja, Alva selalu memperlakukannya dengan hormat, seolah mereka adalah setara, tanpa sedikit pun merendahkannya. Perlakuan itu menyentuh hati Ferdi dan menumbuhkan rasa hormat yang mendalam. Karena itu, Ferdi berjanji pada dirinya sendiri untuk selalu setia kepada Alva, apa pun yang terjadi.
Beberapa menit kemudian, Alva menatap ke arah pintu ruang kerjanya yang perlahan terbuka. Seorang wanita anggun melangkah masuk. Penampilannya rapi, dengan rambut hitam yang disanggul sederhana, menambah kesan muda pada wajahnya yang dihiasi kecantikan alami. Disha, istrinya, membawa serta aura kecemasan yang tak mampu ia sembunyikan.
"Sayang, apa sudah ada kabar tentang putra kita?" tanyanya dengan suara mendesak, matanya memancarkan ketakutan yang mendalam.
Alva menarik napas dalam, berusaha menutupi ketegangan yang perlahan merayapi hatinya. Ia melangkah mendekat, menyentuh jemari tangan Disha dengan lembut, memberi kehangatan yang menenangkan. "Tenanglah, Sayang," ucapnya dengan nada penuh keyakinan. "Ferdi sedang bekerja keras mencarinya. Cuaca kemarin malam memang buruk, sehingga menyulitkan pencarian. Tapi aku percaya, dia akan segera menemukan putra kita."
Disha mengangguk kecil, meski matanya masih menyiratkan kekhawatiran. Jemarinya menggenggam tangan Alva, seolah mencari kekuatan. "Aku hanya ingin dia pulang dengan selamat," gumamnya, nyaris tak terdengar.
Alva menatapnya dalam, mencoba mengirimkan ketenangan lewat pandangan matanya. "Dia anak kita, Disha. Dia akan kembali," ujarnya pelan namun penuh kepastian, meski hatinya pun dihantui pertanyaan yang sama.
Sepasang suami istri itu duduk di sofa ruang kerja Alva, keduanya tampak diam memandangi hujan deras yang mengguyur tanpa henti di luar jendela. Wajah Alva terlihat tenang, tetapi matanya menyimpan kecemasan yang sulit disembunyikan. Di sisinya, Disha memeluk lututnya, tatapannya kosong, tetapi sesekali ia menghela napas panjang, seolah berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di dadanya.
"Sudah sehari semalam, Sayang. Dia bahkan tidak memberi kabar sedikit pun," ujar Disha lirih, suaranya bergetar menahan tangis. "Apa dia baik-baik saja di luar sana? Apa dia terlindung dari hujan seperti ini?"
Alva meraih tangan istrinya, menggenggamnya erat. "Dia anak kita, Sayang. Dia mungkin keras kepala, tapi dia bukan anak yang ceroboh. Aku yakin dia bisa menjaga dirinya." Meski kata-katanya terdengar menenangkan, hatinya sendiri dipenuhi keraguan dan rasa bersalah.
Sementara itu, di rumah sederhana milik Airin, udara semakin dingin karena hujan deras disertai angin kencang yang menggoyang pepohonan di luar. Airin menggigil di balik selimut tipisnya. Ia melirik Kaivan yang tertidur di sisi lain ranjang, terlihat begitu tenang meski udara dingin menusuk tulang.
Airin bergumam pelan dalam hati, "Mungkin, kalau tidur berpelukan, rasanya akan lebih hangat." Namun segera ia menepis pikiran itu, pipinya terasa memanas. Mana mungkin ia meminta Kaivan memeluknya, apalagi berinisiatif lebih dulu. Mereka baru saja menikah, bahkan baru saling mengenal. "Tidak, itu tidak pantas," batinnya lagi, meski tubuhnya menggigil semakin parah.
Di sisi lain, Kaivan yang mulai merasa dingin, menggerakkan tangannya perlahan, meraba-raba mencari guling yang biasa ia peluk. Namun, ia lupa kalau saat ini ia sedang tidak berada di rumahnya. Tangannya terus mencari hingga akhirnya menyentuh sesuatu yang hangat dan lembut.
Airin terperanjat. Matanya terbuka lebar saat Kaivan tanpa sadar menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Ia membeku, tak berani bergerak sedikit pun, terutama ketika Kaivan menaikkan kakinya ke atas pahanya, seperti sedang memeluk guling kesayangannya.
"Kak... Ivan..." Airin berbisik dengan suara lirih, mencoba membangunkannya tanpa membuatnya kaget.
"Hm?" gumam Kaivan dalam kondisi setengah sadar. "Gulingku... akhirnya ketemu," katanya sambil memeluk Airin lebih erat.
Airin membulatkan matanya, pipinya semakin memerah. "Guling? Dia pikir aku guling?" batinnya tak percaya.
Meskipun hanya dianggap sebagai guling, Airin tidak merasa marah. Sebaliknya, ia justru menikmati kehangatan pelukan Kaivan. Ia memilih diam, tidak membangunkannya, karena tidak ingin membuat suasana menjadi canggung. Dalam keheningan malam itu, ia bergumam dalam hati dengan senyuman tipis di bibirnya, "Seperti inikah rasanya dipeluk seorang pria? Rasanya... hangat."
Pelukan Kaivan terasa nyaman. Tubuh atletisnya, dengan dada bidang dan bahu yang lebar, membuat tubuh kecil Airin tenggelam sempurna dalam dekapan itu. Ia bisa merasakan napas Kaivan yang teratur dan tenang, seperti irama yang perlahan menenangkan pikirannya.
“Aku tidak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya,” pikir Airin, masih tersenyum tipis. Pipinya memerah, tapi kehangatan itu mengalahkan rasa malunya.
Kaivan, yang tampaknya semakin terlelap, memeluk Airin lebih erat secara refleks, membuatnya merasa lebih aman di tengah dinginnya malam. Perlahan, Airin yang tadinya gelisah pun merasa tubuhnya mulai rileks. Kehangatan pelukan itu menyelimuti hatinya, membuatnya lupa sejenak akan semua masalah yang sempat membuat risau hatinya.
Dengan perasaan nyaman dan hangat yang baru pertama kali ia rasakan, Airin akhirnya memejamkan mata. Tidak butuh waktu lama, ia pun mulai terlelap dalam pelukan pria yang baru saja menjadi suaminya. Di luar, hujan deras masih mengguyur, tetapi di kamar kecil itu, kedamaian mulai menyelimuti keduanya.
Keesokan harinya, Airin membuka matanya perlahan. Cahaya matahari pagi yang tembus melalui jendela menyinari wajahnya. Ia tersadar bahwa dirinya masih berada dalam pelukan Kaivan. Dada pria itu naik turun perlahan, tanda masih terlelap dalam tidurnya.
Airin tersenyum kecil, merasa hangat dalam dekapan itu. Dalam hatinya, ia bergumam, “Betapa nyamannya seperti ini. Tapi... aku tidak bisa terus begini. Aku harus bangun dan bekerja.” Meski ingin bermalas-malasan lebih lama, ia mengingat semua tanggung jawabnya.
Dengan hati-hati, Airin mencoba melepaskan pelukan Kaivan. Namun, ketika ia baru saja menggeser tubuhnya sedikit, Kaivan tiba-tiba bergerak. “Astaga!” Airin hampir berseru kaget, lalu menutup mulutnya dengan tangan, takut membangunkan suaminya.
Kaivan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, wajahnya terlihat damai. Airin menatapnya sejenak, lalu menghela napas lega. “Untung dia masih tidur,” bisiknya pada dirinya sendiri.
Setelah memastikan Kaivan tidak terbangun, Airin turun perlahan dari ranjang. Ia merapikan selimut dan menatap pria itu sebentar sebelum keluar dari kamar. “Baiklah, saatnya mulai hari ini,” gumamnya, mencoba memotivasi diri.
Airin segera memulai rutinitas paginya. Di dapur, ia menyiapkan sarapan sederhana sambil berbicara pelan kepada dirinya sendiri, “Apa yang Kak Ivan suka, ya? Hmm, mungkin aku buatkan nasi goreng saja. Siapa tahu dia suka.”
Sedangkan di dalam kamar, Kaivan perlahan terbangun dari tidurnya. Ia merasa silau saat membuka matanya, meskipun sinar matahari yang masuk dari jendela tak terlalu terang. Kaivan mengerutkan kening, mencoba menyesuaikan diri dengan perasaan asing yang ia rasakan.
“Ini... apa aku...” gumamnya pelan, suara penuh kebingungan.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Semangat Thour.
awas lho Airin.... diam-diam tingkahmu bikin Ivan lama-lama tegang berdiri loh . Kaivan tentu laki-laki normal lama-lama pasti akan merasakan yang anu-anu 🤭🤭😂😂😂
mungkinkah Ivan akan segera mengungkapkan perasaannya , dan mungkinkah Airin akan segera di unboxing oleh Ivan .
ditunggu selalu up selanjutnya kak Nana ...
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
aduuh sakit perut ku ngebayangin harus tetap tenang disaat hati sedang kacau balau 😆😆😆
pagi pagi di suguhkan pemandangan yang indah ya Kaivan...
hati hati ada yang bangun 😆😆😆😆
maaf ya Airin.... Ivan masih ingin di manja kamu makanya dia masih berpura-pura buta .
lanjut terus kak semangat moga sehat slalu 😍😍😍
Sebaiknya kaivan lg lama2 memberitahukan kabar baik istrimu dan nenekmu krn airin dan nenek asih sangat tulus dan ikhlas jgn ragukan lg mereka...
Kaivan sangat terpesona kecantikan airin yg alami,,,baik hati sangat tulus dan ikhlas dan dgn telaten merawat kaivan...
Bagus airin minta pendapat suamimu dulu pasti suami akan memberikan solusinya dan keluarnya dan kaivan merasa dihargai sm istrinya....
Lanjut thor........
jgn lm lm..ksh kjutannya .takutny airin jd slh phm pas tau yg sbnrny.
semoga kejutan nya gak keduluan juragan Wongso