kisah cinta seorang gadis bar-bar yang dilamar seorang ustadz. Masa lalu yang perlahan terkuak dan mengoyak segalanya...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uutami, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Satria membuka pintu kamar dengan hati-hati. Di depan pintu, Faraz, anak angkatnya yang berusia lima tahun, berdiri dengan mata besar yang penuh rasa ingin tahu.
"Abi..."
"Maaf, ya, Abi tinggal sebentar tadi. Ganti baju, baju Abi basah."
Satria tersenyum lembut dan menggendong Faraz, merasakan kehangatan tubuh kecil itu di pelukannya. Ia sangat tau Faraz masih sangat takut ia tinggalkan.
"Ayo masuk, Raz," ajaknya sambil melangkah masuk ke dalam kamar.
Di dalam kamar, pandangan mata Faraz bertemu dengan Adiba, istri Satria. Adiba menatap Faraz dengan penuh sesal dan harapan. Insiden tenggelamnya Faraz tadi siang masih membekas di hati mereka. Adiba merasa bersalah karena tidak mengawasi Faraz dengan lebih baik. Satria duduk di depan Adiba, sambil memangku Faraz di pangkuannya.
"Faraz, apakah kamu marah pada Umi cantik?" tanya Satria lembut, sambil mengusap rambut Faraz.
Faraz menggeleng pelan. "Tidak, Abi. Faraz sangat sayang pada Umi," jawabnya dengan suara kecil namun tegas.
Kata-kata itu membuat hati Adiba bergetar. Tanpa sadar, air mata haru mengalir di pipinya. Dia meraih Faraz dari pangkuan Satria dan memeluknya erat.
"Maafkan Umi, Raz. Umi juga sangat sayang padamu," bisik Adiba sambil mencium kening Faraz. Faraz membalas pelukan itu dengan erat, seolah ingin meyakinkan Adiba bahwa semuanya baik-baik saja.
Satria tersenyum melihat pemandangan itu. Dia tahu bahwa insiden tadi telah membuat mereka semakin dekat.
"Maafkan Abi, juga ya Umi. Udah sempat mengabaikan Umi Adiba tadi. Abi... sudah melukai hati Umi. maaf, ya?" Satria menimpali seraya mengusap kepala Faraaz yang masih dalam pelukan Adiba. Istrinya itu mengangguk.
"O iya, Umi, dari tadi Faraz belum kemasukan nasi. Umi mau suapi Faraz?"
Adiba mengangguk, dan mengurai pelukan. "Faraz mau Umi suapi?"
Faraz menggeleng, "telinga, hidung Faraz sakit, Umi."
"Maaf, ya. Salah Umi."
Faraz menggeleng lagi. "Enggak, salahnya air."
Adiba tersenyum ditengah derai air matanya mendengar jawaban polos Faraz.
"Abi ambilkan makanan ya, Raz."
Satria beranjak, tepat saat itu, nyai Atiyah, masuk membawa piring dan gelas.
"Eh, udah dibawain nih, sama Eyang putri," celetuk Satria.
"Iya, ini Raz, ayo makan dulu. Sedari siang belum makan pasti lapar," timpal Nyai Atiyah.
"Biar Adiba aja, umi yang suapi." Adiba hendak beranjak. Namun, Satria sudah menahan dan mengambil piring dari tangan ibunya.
Dada Adiba berdesir, melihat piring itu sama dengan yang Novi ambil tadi. Nasi dengan lauk ayam goreng. tapi, ia tak ingin terlalu memikirkannya.
Faraz menggeleng pelan, menolak piring itu. "Faraz tidak lapar, Abi," katanya dengan suara manja.
Adiba ikut membujuk, berusaha mengesampingkan desiran di dadanya yang terasa nyeri. Bagaimana pun, itu hanya makanan, dan dia tak boleh terbawa perasaan.
"Ayo, Raz. Makan dulu, sakit harus dilawan. Kalau tidak, malah tambah yang sakit nanti. Udah sakit telinga, hidung belum sembuh, tambah lagi sakit perut karena nggak makana," katanya sambil tersenyum lembut."Makan, ya? Umi suapi."
Faraz akhirnya mengangguk dan menerima piring itu. "Baiklah, Umi. Faraz makan," katanya.
Adiba merasa senang dan mengambil sendok beserta ayam dan nasi.
"Faraz makan sendiri aja, Umi," ucap Faraz sambil mengambil sendok dari tangan Adiba dan mulai menyuap makanan ke mulutnya. Satria dan Adiba saling berpandangan, merasa lega melihat Faraz kembali ceria.
Seusai makan, Faraz sudah berceloteh lagi seperti biasa. Adiba bahkan ikut bersahutan menimpali. Satria merasa bersyukur Faraz dan Adiba bisa akrab lagi setelah insiden itu. Terlintas dalam bayangannya tentang Faraz yang tenggelam, semua panik. Tapi ada seseorang yang membawanya keluar dengan cepat.
"Mereka memang sudah bertaut sejak lama..." gumam Satria dalam hati. "Mas, mbak, aku sudah penuhi janjiku."
****
Malam semakin larut, namun deru angin malam yang semilir tak mampu menghapus luka di hati Novi. Dengan langkah gontai, dia berhenti di tepi jalan yang sepi, menatap langit yang gelap.
Hati Novi berkecamuk, air matanya jatuh tak terbendung saat ia mengingat wajah Satria yang kini milik wanita lain. Setiap tetes air mata yang jatuh bagaikan menegaskan kekalahan hatinya, kepedihan yang tak terperi.
"Mengapa mas Satria? Mengapa harus Adiba?" gumamnya lirih, suara hatinya memekik dalam keheningan malam.
Tangannya mencengkeram erat tas yang digenggam, seolah mencari suatu pegangan. Novi duduk lemas di trotoar, kepala tertunduk, Jilbab yang tergerai menutupi wajahnya yang basah oleh air mata. Sesekali isak tangisnya pecah, memecah kesunyian malam yang hanya diisi oleh suara jangkrik dan desir angin.
Dia tidak peduli lagi dengan dunia sekitarnya, hatinya terlalu sakit untuk memikirkan apa pun. Di tengah rasa sakit yang menggurita, Novi merasakan amarah yang berkobar-kobar terhadap Adiba, wanita yang kini bersanding dengan Satria, lelaki yang selama ini ia puja.
"Kenapa dia? Apa yang lebih dia miliki dibandingkan aku?" tanya Novi dalam hati, rasa frustrasi dan kecewa bercampur menjadi satu.
Teringat akan janji Satria dulu, hati Novi semakin kalut.
"Kenapa... kenapa kamu harus memenuhi janji itu, mas? kamu tidak harus menikahinya dan mengorbankan perasaan kita..."
Setelah menangis sampai tak ada air mata yang tersisa, Novi mengambil napas dalam-dalam, mengusap air matanya dengan punggung tangan, dan dengan berat hati, dia berdiri.
Langkahnya kembali melangkah, pulang ke rumahnya, ke dalam kesendirian yang akan menjadi saksi bisu atas penderitaan hatinya. Meskipun malam telah memberi sedikit penenangan, Novi tahu bahwa luka ini akan membutuhkan waktu untuk sembuh.