Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5. Minggu - minggu sibuk untuk Ayzel
Terhitung sudah satu minggu semenjak Ayzel menjadi asisten pribadi Alvaro, selalu ada saja tingkah random Alvaro yang membuat Ayzel memijat ke dua pelipisnya. Alvaro adalah sosok CEO idaman yang sempurna yang selalu digilai oleh rekan-rekan kantornya, namun berbeda dengan Ayzel yang bertolak belakang dengan rekan-rekannya.
Bagi Ayzel Alvaro punya sisi lain yang mungkin hanya pak Kim dan dia yang tahu, sikap tantrum Alvaro, tingkah randomnya, bahkan ada satu hal yang Ayzel baru tahu tetang Alvaro. Tentang ke cerobohan seorang Alvaro yang bisa merusak benda apapun yang dia sentuh atau pegang.
“Ayzel. Jangan biarkan pak Alvaro menyentuh benda-benda itu,” pak Kim berbisik padanya sambil menunjuk vas porselin dan beberapa pajangan akrilik.
“Kenapa pak?” Ayzel penasaran.
“Kalau kamu tidak ingin melihat benda-benda itu rusak. Jangan biarkan dia memegangnya,” pak Kim tersenyum saat melihat Ayzel yang masih ke bingungan dengan apa yang dia katakan.
Seperti biasa Ayzel sedang fokus dengan pekerjaannya. Dia juga tampak sibuk menghubungi beberapa klien yang akan di temui atasannya tersebut, salah satunya adalah memastikan waktu dan tempat untuk melakukan pertemuan. Beberapa menit lalu dia masih melihat Alvaro duduk manis memainkan ponselnya di meja, lengah sedikit dia sudah hilang dari pandangan Ayzel.
“Ze,” Alvaro dengan muka mencebik menunjukkan padanya pajangan boneka akrilik dengan kepala yang sudah terpisah dari badannya.
“Iya, ada yang bisa sa ...” Ayzel tidak jadi melanjutkan ucapannya. Dia langsung menutup mulutnya dengan satu tangan menahan tawa saat melihat kelakuan atasannya.
Ayzel menghentikan aktivitasnya, dia mengahampiri atasannya yang sedang berusaha menyatukan kepala dan badan boneka.
“Jadi ini maksud pak Kim yang tidak memperbolehkan Alvaro menyentuh benda apapun?” batin Ayzel.
“Kalu mau tertawa tidak usah di tahan,” ujar Alvaro pada Ayzel sambil menyerahkan pajangan akrilik yang sudah rusak.
“Tidak ada yang mau tertawa pak,” balas Ayzel. Meskipun sebenarnya saat ini dia menahan untuk tidak tertawa, bagaimanapun dia tetap merasa takut jika menyinggung Alvaro.
“Ganti saja. Itu tidak bisa di perbaiki sepertinya,” titah Alvaro pada Ayzel.
“Baik pak,”
Sepertinya suasana hati Alvaro menjadi tidak bagus setelah kejadian tadi, Ayzel tentu menyadari itu. Biar bagaimanapun dia adalah calon psikolog, perubahan sekecil apapun dia pasti akan dapat merasakan dan menebaknya. Dia tidak mungkin membiarkan begitu saja suasana hati Alvaro menjadi buruk, itu dapat mempengaruhi meetingnya dengan klien nanti.
“Pak Alvaro? Saya ijin keluar sebentar, ada yang harus saya lakukan,” Ayzel meminta ijin pada atasannya tersebut.
“Hmm ... ya,” Alvaro hanya menjawab singkat.
Ayzel sebenarnya hanya berniat pergi ke pantry sebentar, tapi di sana dia bertemu dengan Shanaz dan beberap rekan yang lain. Berakhirlah mereka saing menyapa dan megobrol sebentar, semenjak jadi asisten Alvaro memang Ayzel jarang makan siang bersama.
“Dimana?” baru lima belas menit Ayzel pergi, Alvaro sudah mencarinya.
“Lima menit lagi saya kembali,” Ayzel bergegas menyelesaikan urusannya di pantry. Dia pamit pada rekan-rekannya karena sudah di cari Alvaro.
Ayzel berjalan sambil sedikit melamun, banyak yang sedang menganggu pikirannya saat ini. Minggu ini dia ada ujian mata kuliah terakhirnya, tanggung jawabnya sebagai asisten pribadi juga sangat padat. Belum lagi tentang magang klinis yang akan dia jalani tahun ini untuk mendapatkan sertifikasi profesionalnya.
“Ayzel?” penggilan Athaya membuyarkan lamunannya.
“Iya, bu?” jawabnya.
“Jangan melamun!” Athaya menunjuk tempat sampah yang hampir di tabrak Ayzel kalau saja Athaya tidak memanggilnya tadi.
“Hehe ... iya bu. Trimakasih,” dia tersipu malu karena tingkah cerobohnya yang melamun. Ayzel meninggalkan Athaya yang masih di sana setelah dia mohon diri untuk kembali ke ruangannya.
Dia dapati Alvaro sudah berpindah posisi merebahkan diri di sofa, Ayzel megira dia tidur. Namun ternyata dia hanya berbaring sambil membaca beberapa file dari ipadnya.
“Biar modnya pak Alvaro membaik,” Ayzel membawa dua gelas minuman coklat yang dia buat di pantry tadi.
“Kamu beli ini tadi?” Alvaro merubah posisinya dari tiduran menjadi duduk untuk menerima minuman coklat yang di bawa Ayzel.
“Saya buat di pantry,” Ayzel kembali ke mejanya setelah memberikan coklat hangat pada atasannya tersebut.
“Kenapa punya saya tidak ada es batunya?” ujar Alvaro yang melihat es coklat milik Ayzel, sementara punya dia coklat hangat.
“Takut bapak flu nanti,” Ayzel menunjuk pada jendela kaca yang mengembun terkena air hujan.
“Lalu kamu sendiri mau sakit?” gantian Alvaro menunjuk minuman es coklat milik Ayzel.
“Saya tidak bisa minum panas pak,” Alvaro menatap bingung dengan ucapan Ayzel.
Ayzel menjelaskan pada Alvaro tentang metabolisme tubuhnya, juga tentang suhu tubuhnya yang lebih tinggi dari pada suhu tubuh kebanyakan orang. Di tengah-tengah obrolan mereka, Ayzel tiba-tiba ingat sesuatu. Lantas dia menghampiri atasnnya yang masih menikmati coklat hangat, Ayzel duduk di sisi sofa lain menghadap Alvaro.
“Ada apa?” Alvaro menatap Ayzel yang memegang beberap berkas di tangannya.
“Saya perlu bicara serius dengan pak Alvaro,” Ayzel mulai mebuka ipadnya.
“Katakan saja,” Alvaro membenarkan posisi duduknya dan mulai mendengarkan apa yang akan di bicarakan asistennya tersebut.
Ayzel langsung menunjukkan digital plannernya pada Alvaro, karena dia bukan tipikal orang yang bisa berbasa-basi. Selain itu untuk mempersingkat waktu, juga agar lawan bicaranya lebih paham terhadap apa yang akan dia sampaikan.
“Lalu apa yang menjadi masalahmu?” tanya Alvaro setelah membaca planner Ayzel.
“Saya harus memperjelas tanggung jawab saya di perusahaan ini dulu pak. Sebelum saya menjadi asiste pak Alvaro, saya adalah tim divisi riset dan pengembangan konsep. Beberapa konsep masih ada di tangan saya.”
Alvaro mengerti dengan maksud Ayzel. “Selama kamu menjadi asisten saya, berarti tanggung jawabmu sbagai divisi riset dan pengembangan berhenti.”
Ayzel tersenyum lega setelah mendengar ucapan atasannya tersebut, setidaknya dua beban tanggung jawab telah gugur dari pundaknya. Dia bisa lebih fokus pada tanggung jawab barunya sebagai asisten Alvaro, selain itu dia juga bisa membagi fokus untuk persiapan sidang tesisnya.
“Tapi sesekali mungkin saya akan minta pendapatmu tentang riset dan pengembangan. Karena kamu punya kualifikasi dalam bidang itu,” ucap Alvaro
“Baik pak, siap.”
Ayzel kemudia menyerahkan beberapa berkas yang harus di tanda tangani Alvaro, dia juga mengingatkan Alvaro tentang meeting dengan tim riset mengenai data hasil uji coba aplikasi kesehatan mental berbasis AI terbaru merekan.
“Pak Kim akan meneman pak Alvaro meeting nanti. Karena saya harus ke kampus untuk revisi tesis,” Alvaro mengangguk. Dari awal dia minta Ayzel untuk menjadi asistennya, Alvaro sudah tahu kalau perempuan dengan mata teduh itu harus membagi waktu antara kerja dan kuliahnya.
...***...
Hari-hari benar berjalan dengan cepat bagi Ayzel di minggu-minggu itu, bagaimana tidak jika dia harus bangun lebih pagi untuk menyiapkan sarapan pak Alvaro. Dia memang sudah membagi waktunya, berusaha membuat semua jadwalnya terlaksana. Meskipun kadang ada satu dua jadwal yang meleset dari perkiraannya.
Pagi ini Alvaro minta di buatkan sarapan bubur ala Indonesia dengan taburan ayam juga kacang kedelai. Ayzel tampak sibuk mengaduk buburnya yang sudah setengah jadi sambil membaca kembali materi kuliahnya, karena sore ini dia ada ujian mata kuliah terakhir. Untungnya dia sudah lebih dulu membuat ayam kecap yang tinggal di hangatkan sebelum nanti dia bawa ke kantor.
“Minggu ini benar-benar menguras energiku,” Ayzel bermonolog dengan dirinya sendiri saat menyiapkan bekal sarapan untuk atasannya.
Akhir-akhir ini waktu tidurnya berkurang karena begadang menyelesaikan revisi tesis. Selain itu dia mulai mencari rumah sakit atau lembaga yang akan menjadi tempatnya magang klinis setelah tesisnya di setujui.
Seperti biasa Alvaro masih tetap menjempunya untuk berangkat ke kantor bersama dengan alasan Ayzel adalah asistennya, dia harus datang lebih pagi. Memang Alvaro biasanya datang lebih dulu dari pada karyawan lainnya, jika karyawan mereka datang am 07.45 maka Alvaro sudah ada di ruangannya jam 07.30 waktu Istanbul.
“Pak Alvaro. Sepertinya tidak perlu setiap hari menjemput saya,” Alvaro melirik tajam seolah mengingatkan Ayzel bahwa atasannya itu tidak menerima penolakan.
“Saya bisa datang tepat waktu,” Ayzel mencoba meyakinkan Alvaro. Dia benar-benar canggung karena beberapa rekan kerjanya sudah mulai menggosipkannya.
“Akan saya pertimbangkan,” Alvaro sebenarnya paham bahwa Ayzel merasa kurang nyaman, tapi Alvaro tidak perduli karena dia adalah atasannya.
“Alhamdulillah,” Ayzel tersenyum simpul. Alvaro bahkan baru tahu ternyata Ayzel juga punya lesung pipi, namun tak terlalu terlihat karena tertutup pipi chubynya.
Mereka menyusuri jalanan kota pagi hari, udaranya sangat sejuk karena sudah memasuki musim gugur. Dengan suhu kisaran 10-15 derajat di pagi hari masih membuat nyaman. Butuh waktu kurang lebih lima belas menit dari apartemen Ayzel untuk sampai kantor, dengan catatan kondisi jalanan tidak macet.
“Jam berapa saya akan meeting dengan pihak rumah sakit, Ze?” Alvaro bertanya pada Ayzel, namun tetap fokus membaca file dari ipadnya. Merasa tak ada jawaban, Alvaro memanggilnya lagi.
“Ze? Kamu dengar saya?” Alvaro menaruh ipadnya, dia melihat Ayzel setelah dua kali menjawab pertanyaan Alvaro.
Alvaro tersenyum mendapati orang yang di panggilnya ternyata terlelap tidur, dia tidur dengan menyandarkan kepalanya pada kaca mobil. Dia memandangi satu persatu tiap bagian wajah Ayzel, garis alis yang tidak tipis namun juga tidak tebal. Bulu mata lentik natural, hidung yang tidak terlalu mancung dan bibir tipis dengan warna lipstik yang sesuai dengan kulitnya menambah parasnya semakin mempesona.
“Allahuakbar,” Ayzel kaget saat kepalanya teratuk kaca mobil.
“Özür dilerim,” supir Alvaro meminta maaf karena berhenti mendadak karena ada kecelakaan di depan.
“Önemli değil” tidak masalah, jawab Ayzel.
“Kamu tidak apa-apakan?” Alvaro terlihat khawatir pada Ayzel.
“Tidak apa-apa. Saya hanya terkejut, maaf pak saya ketiduran.” Ayzel menggaruk pelipisnya yang tidak gatal dengan pipi bersemu merah karena malu.
Alvaro tersenyum gemas melihat tingkah asistennya tersebut.
Karena jalanan yang macet dan adanya kecelakaan, jadilah mereka sampai di kantor sedikit terlambat dari jam biasa mereka datang. Saat ini mereka sampai kantor bertepatan dengan rekan-rekan lain, otomatis mereka akan melihat dia turun dari mobil Alvaro.
“Sampai kantor saat yang lain belum datang ternyata lebih baik,” gumam lirihnya sambil menghela napas.
“Tidak usah khawatir. Saya yang akan menegur langsung jika mereka menggosipkanmu,” Alvaro menyadari keresahan Ayzel saat ini.
“Tidak bisa seperti itu pak Alvaro. Justru anda membunuh saya nanti dengan bertindak seperti itu,” Ayzel protes pada Alvaro.
“Kalau begitu saya cukup bilang kamu calon istri saya,” Ayzel membelalakkan matanya, masih saja dia terkejut dengan ucapan atasannya itu. Padahal entah sudah berapa kali Alvaro mengeluarkan cletukan-cletukan yang di luar pemikiran Ayzel.
“Gak lucu Alvaro,” Ayzel menutup mulutnya. Dia terkejut dengan ucapannya sendiri, sementara Alvaro bukannya marah justru menahan tawa.
“Mulutmu Ayzel,” batin Ayzel sambil buru-buru dia turun dari mobil karena malu. Alvaro tak dapat menahan tawa ketika melihat asistennya salah tingkah karena ulahnya sendiri.