Anyelir adalah salah satu nama apartemen mewah yang terletak di sudut kota metropolitan. Suatu hari terjadi pembunuhan pada seorang wanita muda yang tinggal di apartemen anyelir 01. Pembunuhnya hanya meninggalkan setangkai bunga anyelir putih di atas tubuh bersimbah darah itu.
Lisa Amelia Sitarus harus pergi kesana untuk menyelidiki tragedi yang terjadi karena sudah terlanjur terikat kontrak dengan wanita misterius yang ia ditemui di alun-alun kota. Tapi, pada kenyataan nya ia harus terjebak dalam permainan kematian yang diciptakan oleh sang dalang. Ia juga berkerjasama dengan pewaris kerajaan bisnis The farrow grup, Rafan syahdan Farrow.
Apa yang terjadi di apartemen tersebut? Dan permainan apakah yang harus mereka selesaikan? Yuk, ikutin kisahnya disini.
*
Cerita ini murni ide dari author mohon jangan melakukan plagiat. Yuk! sama-sama menghargai dalam berkarya.
follow juga ig aku : @aca_0325
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mapple_Aurora, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35
Rafan memperhatikan setiap sudut ruangan menggunakan lilin yang tadi diambil di ruangan Clarissa. Dia melihat loteng yang ada diatas lemari sepertinya bisa di buka. Rafan menepuk pundak Lisa pelan, "Kita naik kesana."
Diluar semakin keras gedoran pada pintu dan memaksa untuk masuk.
"kamu yakin?" Tanya Lisa memastikan.
Rafan mengangguk tegas, "Aku akan mencoba membukanya. Tetap perhatikan pintu,"
Rafan berdiri di depan kaca lemari sejenak, memikirkan cara terbaik agar bisa naik keatas. Lilin dia letakkan diatas meja rias, mengepalkan tangannya sebentar kemudian memegang erat sisi lemari.
Sementara itu Lisa dan Prisha menunggu dengan was-was. Suara gedoran pintu semakin keras, dan pintu hampir terbuka. Timbul sedikit celah, sepasang mata mengintip dari sana, bahkan sengaja memperlihatkan seringaian.
"Sial." Prisha memegang tangan Lisa erat, "sebentar lagi dia akan berhasil masuk."
"Raf, bagaimana?" Lisa melirik pada Rafan yang sudah berhasil naik keatas lemari, sedang mencoba membuka salah satu kotak loteng. Jika tidak berhasil, habislah mereka malam ini.
"Kalian tidak bisa sembunyi," Terdengar suara geraman dari luar.
Gagang pintu bergerak cepat dan celah yang terbuka semakin lebar, celah itu cukup untuk memasukkan tangan sehingga tiba-tiba saja sebuah tangan masuk kedalam, memperlihatkan sebuah pisah tajam. Barangkali pisau itu yang digunakan untuk menggores pintu tadi.
"Hei, cepat naik kesini." Kata Rafan pelan. Seperti dugaannya loteng itu bisa dibuka.
Lisa mengambil lilin diatas nakas dan bergegas mendekat, dia melirik Prisha sekilas dan berkata, "Kamu naik lebih dulu, Sha."
Tidak membuang waktu lagi, Prisha dengan segenap tenaga mencoba memanjat lemari. Ini adalah pengalaman pertama dalam hidupnya, bahkan Prisha tidak pernah memanjat pohon mangga tetangga seperti yang pernah dilakukan teman-teman masa kecilnya.
Terlahir dari keluarga yang bergelimang harta membuat Prisha menghabiskan masa kanak-kanaknya dengan mengikuti serangkaian les dan belajar bagaimana seharusnya seorang wanita bersikap, anggun.
"Cepatlah, Prisha!" Desak Rafan sambil melirik cemas kearah pintu yang hampir terbuka.
"Aku tidak bisa naik," Ringis Prisha.
Saat ini mereka sedang diburu, tidak ada waktu untuk menunggu, apalagi untuk mengajarkan Prisha memanjat. Jadi, Lisa meletakkan lilin kembali diatas nakas kemudian berjongkok didepan Prisha,
"Naik ke bahuku. Raf, kamu bantu dia dari atas." Kata Lisa.
Prisha ragu untuk sesaat, Lisa lebih kurus darinya, dia khawatir Lisa tidak akan bisa menahan berat badannya dan akan berakhir dengan keduanya jatuh bersama.
"Cepat, Prisha!" Kata Lisa.
"Ayo! Lihat dia sudah memasukkan badannya separuh." Kata Rafan yang masing mengawasi pintu. Separuh badan orang itu sudah masuk, sepertinya dia akan menggunakan tubuhnya memperbesar celah pintu.
Prisha meletakkan kedua kakinya diatas bahu Lisa dan kedua tangannya di tempelkan pada lemari. Lisa menggertakkan gigi, lalu berdiri hingga Prisha sekarang sudah berada di bagian atas lemari. Rafan mengulurkan tangannya dan menarik Prisha.
"Naik keatas, Lisa akan segera naik dan lemari ini tidak akan cukup menampung berat badan tiga orang-"
"Kalian ingin kabur?"
Oh, Tuhan! Orang bertopeng rupanya sudah berhasil masuk. Dia melangkah lebar kearah Lisa.
Lisa tidak menunggu orang itu berhasil berada di dekatnya. Gadis yang sudah terbiasa melakukan kegiatan ekstrem tidak kesulitan naik keatas.
Saat orang bertopeng berada dibawah, Lisa sudah sampai diatas dan langsung masuk kedalam loteng yang terbuka. Rafan sebagai orang terakhir yang masuk membawa penutup nya dan meletakkan secara asal diatas lubangnya. Setidaknya jika orang itu mengejar mereka kesini, dia akan membukanya terlebih dahulu. Tidak akan dapat menahan terlalu lama, namun beberapa detikpun juga berharga disini.
Dalam loteng sangat gelap, tidak ada cahaya, lilin tadi tertinggal diatas meja rias. Hanya ada suara gemuruh nafas dari ketiganya yang menjadi pemahaman diam-diam bahwa mereka saling berdekatan.
"Prisha, coba jalan ke depan." Kata Lisa pelan hampir berbisik.
Prisha mengangguk walaupun Lisa tidak akan bisa melihatnya. Tangannya meraba-raba, merasakan tidak ada yang menghalanginya, dia berjalan dengan posisi merangkak.
"Kenapa rumahnya dibuat loteng seperti ini? padahal masih ada lantai tiga diatas ini," Gumam Rafan.
"Mungkin orang yang-"
Clap..
Sebuah pisau muncul di depan Lisa, dia mengatupkan mulutnya dan merasakan ketakutan. Jaraknya terlalu dekat, jika Lisa berjalan dengan cepat mungkin pisau itu sudah mengenainya.
"Orang itu melemparkan pisaunya kesini, dia ingin membunuh kita." Kata Prisha spontan.
"Kita dibawa kesini memang untuk dibunuh," Gerutu Lisa sembari meraba di depannya dan mencabut pisau tersebut kemudian menggenggamnya erat.
"Kamu baik-baik saja, Raf?" Tanya Lisa.
"Salah satu pisaunya mengenai kakiku," Jawab Rafan meringis pelan. Dia berusaha keras untuk tidak beteriak saat benda tajam itu menancap di telapak kakinya.
"Tahan sebentar, Raf. Aku merasakan ada tekstur yang berbeda, sepertinya ini bisa dibuka dan jalan untuk keatas," Kata Prisha dari depan. Sejak tadi gadis itu meraba-raba bagian atas yang dipastikan sebagai lantai tiga, mengandalkan instingnya dia baru saja mendapatkan tekstur yang berbeda, tidak seperti lantai pada umumnya.
"Kamu bisa membukanya?" Tanya Lisa,
"Aku sedang mencoba,"
Sebuah pisau lagi di lemparkan dan hampir mengenai Prisha, untung saja dia berhasil membuka jalan dan langsung naik ke lantai tiga. Lisa dan Rafan menyusul dari belakang.