Dalam perjalanan cinta yang penuh hasrat, kebingungan, dan tantangan ini, Adara harus menentukan apakah dia akan terus bertahan sebagai "sekretaris sang pemuas" atau memperjuangkan harga dirinya dan hubungan yang bermakna. Di sisi lain, Arga harus menghadapi masa lalunya dan memutuskan apakah ia siap untuk membuka hatinya sepenuhnya sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rafi M M, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Larut dalam Pekerjaan
Adara menatap layar komputer di mejanya dengan ekspresi serius. Matanya bergerak cepat mengikuti deretan angka dan data yang tampak tidak pernah berakhir. Sejak pagi, ia sudah tenggelam dalam laporan keuangan yang diminta oleh Arga, CEO yang selalu menuntut kesempurnaan dalam setiap pekerjaan. Ini adalah minggu kedua Adara bekerja sebagai sekretaris pribadi Arga Pratama, dan sejauh ini, pekerjaan ini telah menguras hampir seluruh energinya.
Ruangan kantor Arga berada di lantai tertinggi gedung pencakar langit, dengan pemandangan kota yang luar biasa. Namun, keindahan panorama itu jarang menarik perhatiannya, terutama ketika tumpukan pekerjaan terus meningkat. Meski kantor Arga didesain dengan gaya modern yang minimalis, lengkap dengan furnitur elegan dan pencahayaan lembut, aura ruangan itu tetap terasa tegang, seolah mencerminkan kepribadian pemiliknya yang selalu terlihat dingin dan berjarak.
Jam dinding di sudut ruangan menunjukkan pukul 7 malam. Adara menghela napas panjang. Waktu sudah beranjak jauh melewati jam kerja normal, namun laporan yang dikerjakannya belum juga selesai. Sementara itu, Arga masih berada di ruangannya, seperti biasa tenggelam dalam pekerjaannya tanpa menunjukkan tanda-tanda akan pulang dalam waktu dekat.
Kata-kata temannya, Maya, masih terngiang di benaknya. "Jaga kesehatanmu, Dara. Jangan sampai pekerjaan membuatmu lupa pada dirimu sendiri." Namun, Adara tahu, dalam pekerjaannya saat ini, melupakan diri sendiri kadang-kadang terasa seperti syarat tak tertulis. Semuanya tentang kinerja maksimal, dedikasi total, dan sedikit waktu untuk beristirahat.
Ruang kerja mereka senyap. Hanya suara lembut ketikan jari-jari Adara di atas keyboard yang memecah kesunyian. Sesekali, suara kipas pendingin udara terdengar samar di kejauhan. Adara telah menyelesaikan sebagian besar laporannya, tapi setiap kali dia merasa hampir selesai, ada saja hal kecil yang harus diperbaiki. Arga sangat teliti. Satu kesalahan kecil saja bisa membuatnya harus mengulang pekerjaan dari awal.
Bukan hanya kesibukan yang membuat Adara semakin lelah, tetapi juga interaksi sehari-hari dengan Arga yang penuh ketegangan. Arga adalah pria dengan sikap keras, selalu menjaga jarak, dan tidak pernah memperlihatkan sisi emosionalnya. Meski tampan dan berwibawa, ia tampak sulit didekati. Adara sering merasa seperti ada dinding tak terlihat di antara mereka—dinding yang membuat segala komunikasi terasa kaku dan formal.
Setiap pagi, saat Arga tiba di kantor dengan setelan jasnya yang sempurna, dia selalu memberikan instruksi dengan nada dingin. Tidak pernah ada basa-basi atau percakapan pribadi. Hanya perintah langsung dan target yang harus dicapai. Terkadang, Adara bertanya-tanya apakah Arga pernah benar-benar merasa lelah, atau apakah ada sesuatu di balik sikap kerasnya itu. Namun, ia tak pernah berani bertanya lebih jauh. Lagipula, siapa dia hingga bisa mempertanyakan kehidupan bosnya?
Saat Adara tengah memeriksa ulang lembaran-lembaran laporan, tiba-tiba telepon di mejanya berdering. Suara itu memecah keheningan dan membuatnya sedikit terkejut. Dengan cepat, ia meraih gagang telepon.
"Adara, tolong bawa laporan keuangan itu ke ruangan saya sekarang," suara Arga terdengar dari seberang telepon. Nada bicaranya tetap datar, tanpa emosi.
"Baik, Pak. Laporannya hampir selesai. Saya akan membawanya dalam lima menit," jawab Adara.
Setelah menutup telepon, ia mempercepat pekerjaannya. Tangannya bergerak lincah di atas keyboard, menyelesaikan sentuhan akhir pada laporan itu. Dia memastikan bahwa setiap angka dan tabel berada di tempat yang seharusnya. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak jika laporan itu ditujukan untuk Arga.
Lima menit kemudian, Adara berdiri dari kursinya, meraih dokumen yang telah dicetak, dan berjalan menuju ruangan Arga. Jantungnya sedikit berdebar setiap kali harus bertemu langsung dengan sang bos. Meski sudah terbiasa dengan suasana tegang, ada sesuatu tentang kehadiran Arga yang selalu membuatnya gugup.
Dia mengetuk pintu kayu besar ruangan Arga sebelum masuk. Di dalam, Arga duduk di balik mejanya yang besar dan bersih, wajahnya serius saat menatap layar komputernya. Tanpa mengangkat pandangannya, dia memberi isyarat pada Adara untuk meletakkan laporan di meja.
"Ini laporan keuangannya, Pak," ujar Adara dengan nada sopan sambil meletakkan berkas di atas meja.
Arga akhirnya mengalihkan pandangannya dari layar dan mengambil dokumen itu. Dia mulai membolak-balik halaman, matanya menyusuri setiap angka dengan teliti. Adara berdiri di sisi meja, menunggu tanggapannya. Ia merasa waktu berjalan sangat lambat ketika Arga memeriksa laporannya. Setiap detik terasa seperti selamanya.
Setelah beberapa saat, Arga akhirnya mengangguk pelan. "Laporan ini terlihat baik. Terima kasih, Adara."
Kata-kata itu mungkin sederhana, tetapi bagi Adara, itu adalah pencapaian besar. Mendapatkan pujian, sekecil apa pun, dari Arga adalah hal yang langka. Sebagian besar karyawan lain hanya mendengar kritik atau permintaan revisi darinya.
"Sama-sama, Pak," jawab Adara, menahan senyumnya. "Apakah ada lagi yang perlu saya lakukan?"
Arga menatapnya sejenak, seolah mempertimbangkan sesuatu. "Tidak untuk malam ini. Kau bisa pulang."
Perintah itu terdengar seperti pembebasan. Adara mengangguk cepat. "Baik, Pak. Saya akan segera pulang."
Saat ia berbalik menuju pintu, Arga tiba-tiba berbicara lagi. "Adara."
Langkahnya terhenti. "Ya, Pak?"
"Besok, kita akan memiliki rapat penting dengan klien besar. Siapkan presentasi terbaikmu."
Adara tersenyum tipis. Tantangan baru sudah menunggu. "Akan saya siapkan, Pak."
Dia keluar dari ruangan itu dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa lega karena pekerjaannya malam ini diterima tanpa kritik. Di sisi lain, pikirannya sudah dipenuhi dengan persiapan untuk besok. Tuntutan pekerjaan ini tak pernah berhenti, dan Adara tahu, untuk bertahan di sisi Arga, dia harus memberikan lebih dari yang diharapkan setiap hari.
Malam semakin larut ketika Adara akhirnya keluar dari gedung perkantoran. Angin malam yang sejuk menyambutnya, dan untuk pertama kalinya sejak pagi, dia mengizinkan dirinya untuk merasa sedikit tenang. Meskipun pekerjaannya menuntut banyak waktu dan energi, ada kepuasan tersendiri setiap kali ia berhasil memenuhi ekspektasi Arga.
Namun, di balik semua itu, terselip sebuah pertanyaan di benak Adara: apakah ia hanya terjebak dalam pekerjaan yang tak berujung, atau ada hal lain yang membuatnya tetap bertahan di sisi seorang pria seperti Arga Pratama?