Jingga lelah dengan kehidupan rumah tangganya, apalagi sejak mantan dari suaminya kembali.
Ia memilih untuk tidak berjuang dan berusaha mencari kebahagiaannya sendiri. dan kehadiran seorang Pria sederhana semakin membulatkan tekadnya, jika bahagianya mungkin bukan lagi pada sang suami.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deodoran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Koa terkekeh pelan saat Jingga menyerahkan sebuah buku bersampul ungu dengan tulisan 'Tuntunan sholat lengkap'
"Kau benar benar......" Koa mengacak pelan rambut sebahu Jingga sesaat setelah melepas helm wanita itu. Ia mengambil buku tersebut dan menyimpannya didalam bagasi motor.
"Ingat harus dibaca, hapalkan semuanya! Karena aku juga beli satu untuk diriku sendiri," Jingga menepuk tas selempang kecilnya "Ingat kita punya janji menemukan bahagia bersama, lalu membuat lukisan Sang Jingga terindah yang pernah ada!"
"Iya Bocah!" Koa menoel pipi Jingga, pria itu kemudian kembali menjalankan motornya setelah melambai kepada Jingga.
"Bocah....." Beo Jingga menatap kendaraan roda dua itu, ia memegang pipinya yang terasa hangat.
Ayahnya juga pernah mengatakan ia masih seperti bocah, namun setelah menjadi istri Jingga berusaha untuk terlihat dewasa agar bisa mengimbangi sang suami yang usianya lebih tua enam tahun dari dirinya.
Kini Jingga merasa kembali ke dirinya yang dulu. Jingga Marina yang kekanakan dan selalu tampil ceria.
Jingga tersenyum miris, sepanjang perjalanan setelah melewati pos penjagaan dan gerbang ia terus menangis sambil sesekali mengusap air matanya. Jingga memutuskan berjalan sembari menunggu sang supir yang baru saja ia hubungi, tentu dengan panggilan biasa.
"Ibuk baik baik saja?" tanya sang supir begitu melihat wajah Jingga dibalik Miror rear.
"Aku menangis bahagia mang Ujang." jawab Jingga sembari tersenyum.
"oh iya, mobil udah datang ya dari bengkel? " Jingga mengalihkan pembicaraan dengan bertanya mengenai mobilnya yang kemarin bannya kempes.
"Udah buk, tadi sore barusan diantar sama tukang bengkelnya."
.
.
.
Danish berjalan gontai menuju kamar. Arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya sudah menunjukkan pukul sebelas malam, beberapa kali ia menghembuskan nafas berat seakan ingin membuang segala beban fikiran yang ada dikepalanya.
Nyatanya makan malam bersama kedua orang tua Alea tidak menghasilkan apapun. Ia tak bahagia sama sekali padahal Alea, kakak, dan kedua orang tuanya menyambutnya dengan penuh tawa gembira, namun sekedar perut kenyang pun tak ia dapati disana, Semua makanan terasa hambar.
Mungkinkah ia merindukan masakan Jingga?
Danish membuka pintu kamarnya perlahan, takut membangunkan sang istri. Jingga memang tak pernah menguncinya sebelum ia pulang.
Dengan gerakan sesenyap mungkin Danish melakukan segala aktifitasnya mulai dari mandi, dan memakai piyama yang ia ambil sendiri dari dalam walk in closet. Karena Jingga memang sudah sangat jarang menyiapkan keperluannya.
Semua ia kerjakan dalam diam di kesunyian malam.
Setelahnya ia membaringkan tubuh sambil memandang wajah cantik Jingga yang begitu damai dalam tidur lelapnya, bibirnya sedikit terbuka dan itu membuat Danish menginginkan istrinya malam ini. Sudah sangat lama Danish tidak menyentuh Jingga mungkin sekitar dua minggu yang lalu. Dan saat ia mulai menyingkap selimut istrinya, tiba tiba Danish didera rasa bersalah akibat perasaannya sendiri.
Tiga bulan sejak kedatangan Alea tak pernah sekalipun ia mendeklarasikan hubungan yang mungkin bisa disebut perselingkuhan itu, namun tingkah mereka mengatakan mereka memang tengah berselingkuh, ciuman di kening, pelukan , salìng mengecup punggung tangan sudah menggambarkan dengan jelas bagaimana hubungan gila mereka, dan puncaknya malam ini saat ia mengantarkan Alea kedepan pintu Apartemennya.
Alea memaksa untuk mengetahui perasaan seperti apa sebenarnya yang kini dirasakan Danish? Dan tiga kata yang Danish ucapkan membuat Alea sukses menghadiahkan kecupan dibibir pria itu.
"Aku masih mencintaimu."
Danish sampai sekarang masih bingung dengan apa yang ia rasakan, sama sekali tak ada kebahagiaan ketika ia mengucapkannya padahal ia yakin masih mencintai Alea. Yang ada hanya ketakutan hingga membuat tubuhnya seakan menggigil kedinginan.
Danish kembali menyelimuti Jingga, kemudian mengusap wajahnya dengan lembut. wanita cantik yang kini menjadi istrinya itu sama sekali tak pernah mengungkapkan perasaannya kepada Danish, ada tanda tanya besar dibenak Danish, dengan segala perlakuannya selama ini Apakah ia mencintainya sebagai seorang suami atau hanya sekedar menggugurkan kewajibannya sebagai istri.
Hah....Danish menghela nafas pasrah, ia berfikir selama ini tidak pernah banyak bicara kepada istrinya.
" maaf mengganggu tidurmu, Selamat malam Jingga." Dikecupnya kening sang istri, kemudian Danish ikut berbaring sembari memeluk tubuh mungil itu.
Sabtu pagi.
Danish bangun tepat pukul delapan pagi, ia sama sekali tak mendapati Jingga disampingnya. Danish tak banyak berfikir ia kemudian cuci muka lalu berjalan cepat menuju dapur yang ada dilantai bawah. Biasanya Jingga sudah berjibaku di dapur bersama para pelayan untuk menyiapkan sarapan.
"Pagi pak..." sapa seorang ART yang ditemui Danish di Dapur.
Dirumah besarnya ini Danish menyediakan tiga orang ART yang bertugas untuk melakukan pekerjaan rumah tangga, satu orang tukang kebun dan satu orang supir pribadi untuk Jingga. Sedang dia lebih suka mengendarai mobil sendiri.
Dan Mereka semua punya tempat tinggal khusus dihalaman belakang.
"Dimana istriku?"
"Ibuk belum turun pak dari kamar." Jawab salah satu ART pelan dan penuh rasa hormat. Danish memang bukan tipikal majikan kejam namun semua pekerjanya segan terhadap dirinya.
Danish mengernyitkan alis. Ia sudah memastikan Jingga sama sekali tak ada dikamar. Ia kemudian berjalan kearah pintu depan, berharap mendapati Jingga tengah menyiram tanaman. namun nihil! lagi lagi Jingga tak ia dapati disana.
Dengan gusar Danish menyusuri setiap ruangan di lantai satu, kemudian berpindah dilantai dua sambil terus memanggil nama Jingga, hingga membuat para pekerja yang mendengarnya merasa heran karena Danish sama sekali tak pernah terlihat gusar sebelumnya. Ia dikenal dengan pembawaan dinginnya yang tegas dan tenang.
Seketika Ada bayangan buram yang terlintas dibenak Danish jika Jingga pergi meninggalkannya.
"JINGGA!!"
"JINGGA!!"
"JINGGA MARINA!!"
Tiga lantai sudah Danish telusuri dan pencariannya terhenti diruang baca. Ruangan itu berukuran empat kali empat meter dan hampir semua permukaan dindingnya dipenuhi rak berisi buku- buku miliknya. Ditengah ruangan terdapat sebuah meja berukuran besar dengan sebuah kursi beroda.
Tidak! Jingga tidak duduk dan membaca disana. Lagi pula setahu Danish istrinya itu tidak suka membaca buku diruang baca, kebanyakan koleksi novelnya memiliki rak sendiri dikamar.
Jingga tengah tertidur tepat dibelakang meja dengan mukenah yang membalut tubuhnya, ia tidur beralaskan sajadah yang terbuat dari rasfur. Danish kemudian duduk bersila disamping tubuh Jingga yang tengah terlelap. Hatinya dipenuhi kelegaan melihat istrinya ternyata tidak pergi Jauh.
Namun ada yang sedikit yang membuat hati Danish berdenyut nyeri, yakni penampilan Jingga. Ia bahkan baru ingat jika dirinya pun seorang muslim. Danish lebih parah dari Jingga, jika istrinya itu masih rutin berpuasa dibulan ramadhan berbanding terbalik dengan Danish yang acap kali abai akan kewajibannya. disiang hari ia bahkan bisa dengan sengaja merokok dan makan jika memang merasa lapar, sedangkan Jingga menjalankannya hanya karena mengikuti Euforia mencari takjil disore hari dan berbuka puasa bersama dengan para pekerjanya . Mengenai sholat jangan tanya lagi Danish hanya melakukannya dua kali setahun saat hari raya begitupun dengan sang istri.
Danish mengusap wajah Jingga pelan hingga membuatnya terjaga dan mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Jing....."Danish tak jadi melanjutkan perkataannya karena Jingga lebih dulu mengajukan pertanyaan yang menurut
"Abang, Sholat subuh sebenarnya jam berapa?" tanya Jingga dengan polosnya. Ia kini sudah bersila seraya mengucek matanya dan menatap pintu kaca yang terhubung dengan balkon, disana matahari sudah begitu terang.
"Se- sepertinya jam lima." Danish menggaruk belakang lehernya yang tidak gatal, ia juga tak tahu pasti kapan waktu sholat subuh. Yang ia tahu jam lima adalah subuh.
"Sepertinya begitu. Aku lupa lupa ingat perkataan guru ngaji dulu soal waktu subuh, soalnya tidak ada suara masjid yang kedengaran disini." Jingga tersenyum bodoh "Aku tadinya bangun jam empat, trus sholat, setelah itu aku gak bisa tidur lagi eh jam enam baru ngantuk lagi jadinya tidur deh sampai kebablasan haha " Jingga tertawa begitu renyah sehingga membuat Danish begitu terpana. Ini kali pertama ia melihat Jingga dengan tawa lepasnya.
"Yaudah yuk bang," Jingga menepuk paha Danish, namun saat hendak berdiri Danish menggenggam tangan Jingga hingga membuat wanita itu kembali duduk.
"Jingga....kau belajar agama?" tanya Danish serius. Ia penasaran mengapa istrinya itu mendadak berubah.
jingga menghela nafas berat sebelum menjawab. namun kemudian ia kembali tersenyum manis lalu menggeleng pelan.
"Aku tidak menyebutnya seperti itu bang. tapi aku menyebutnya belajar tentang kebahagiaan, aku percaya tak ada orang lain yang akan memikirkan bagaimana aku bahagia, maka dari itu aku ingin mencari bahagiaku sendiri. Dan itu kudapat dengan melakukan seperti apa yang abang lihat sekarang." Jingga mengusap pipi Danish , ia memandang wajah tampan dengan sedikit guratan eropa itu dengan lembut. Ada rasa yang begitu menyakitkan saat Jingga tidak lagi melihat kebahagiaannya terpancar disana.
"Mari berdamai bang, kita cari kebahagiaan kita masing masing!"
Jingga segera beranjak saat genggaman tangan Danish melemah. Meninggalkan sang suami yang mematung dengan segala fikiran buruk menari dibenaknya.
semoga ada karya baru yg seindahhh ini... aamiin
semua karya author yg pernah aku baca keren semua... 👍👍👍
(sedih banyak penulis yang keren yang gak lanjut disini)