Mengisahkan Tentang Perselingkuhan antara mertua dan menantu. Semoga cerita ini menghibur pembaca setiaku
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Gita Arumy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Maya Bertikai Dengan Ibu-ibu Julid
Maya Bertikai Dengan Ibu-Ibu Julid
Maya sudah merasa cukup dengan segala pandangan dan cemoohan yang diterimanya selama ini. Setiap kali dia keluar rumah, dia selalu merasa seperti ada yang mengawasi. Tak jarang, bisik-bisik tajam terdengar begitu jelas di telinganya, seperti pedang yang mengiris hati. Dan itu semua berawal dari pernikahannya dengan Arman, yang bagi sebagian orang adalah sebuah dosa besar.
Suatu pagi, ketika Maya sedang berbelanja di pasar, dia mendengar lagi suara-suara yang tidak asing—suara ibu-ibu yang sedang berbicara tentang dirinya dan Arman. Maya mencoba untuk tetap tenang, tetapi kali ini perasaan kesalnya tidak bisa lagi ditahan.
Di sebuah sudut pasar, Maya mendengar percakapan ibu-ibu itu yang terdengar begitu keras. Salah satu dari mereka, ibu Tuti, yang terkenal dengan mulut pedasnya, berkata, "Maya itu benar-benar tak tahu malu. Menikahi menantunya sendiri, tak punya harga diri. Ini bukan lagi masalah keluarga, ini sudah jadi aib besar di kampung ini."
"Betul, benar sekali," timpal ibu Sari, ibu muda yang baru pindah ke kampung itu. "Sama saja seperti dia mempermalukan keluarganya sendiri. Siapa yang mau berteman dengan orang seperti itu?"
Maya yang sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya, menghampiri kelompok ibu-ibu itu dengan langkah cepat. Tanpa basa-basi, Maya berhenti tepat di depan mereka dan menatap mereka dengan mata tajam. Ibu-ibu yang sedang asyik berbicara langsung terdiam seketika, kaget melihat Maya berdiri di hadapan mereka.
"Kalian pikir apa, ya?" kata Maya dengan nada yang dingin, berusaha menahan suaranya yang bergetar. "Kalian merasa lebih baik dengan mengobrol di belakang orang lain? Apakah itu yang kalian sebut 'teman' atau 'tetangga' yang baik?"
Ibu Tuti yang terkenal suka menggosip itu segera mencoba membela diri. "Maya, kami cuma... kami cuma bicara tentang apa yang sudah diketahui banyak orang. Kamu dan Arman itu kan hubungan yang tidak biasa, jadi wajar kalau orang berbicara."
Maya menatap ibu Tuti dengan tatapan tajam yang membuat ibu itu sedikit mundur. "Oh, jadi sekarang kalian merasa berhak menghakimi hidup saya? Apakah kalian merasa kehidupan kalian begitu sempurna sehingga bisa mengkritik orang lain?" Maya melangkah lebih dekat, menghadap ibu-ibu itu dengan sikap yang tegas. "Jangan pernah bicara tentang hidup orang lain, terutama kalau kalian hanya tahu sebagian dari cerita. Kalian tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam keluarga kami."
Maya bisa merasakan ketegangan di udara. Ibu-ibu itu mulai merasa tidak nyaman dengan keberadaannya. Ibu Sari, yang tampaknya agak terkejut dengan keberanian Maya, mencoba untuk menenangkan suasana. "Maya, kami tidak bermaksud begitu... Kami hanya berpikir..."
"Berpikir? Hah!" Maya tertawa sinis. "Jangan sembarangan berpikir kalau kalian tidak tahu apa-apa. Aku tidak peduli kalau kalian ingin berbicara, tapi jangan sampai kalian menyakiti orang lain hanya untuk mendapatkan sedikit hiburan."
Ibu Tuti mencoba untuk tersenyum, namun terlihat jelas bahwa ia sudah mulai gugup. "Kami tidak bermaksud untuk menyakiti hati kamu, Maya. Hanya saja..."
"Hanya saja apa?" potong Maya dengan nada tinggi. "Kalian tidak ada hak untuk menghina hidup orang lain. Kalau kalian merasa bahagia dengan merendahkan orang lain, mungkin kalian perlu merenung dan melihat diri kalian sendiri."
Melihat Maya yang begitu berani dan tidak gentar, ibu-ibu itu mulai mundur satu langkah. Mereka tidak tahu harus berkata apa. Ketegangan yang ada di udara terasa sangat tebal, dan Maya tahu bahwa ia sudah memenangkan pertarungan ini. Tidak ada yang bisa merendahkan martabatnya lebih jauh lagi, terutama dari orang-orang yang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di dalam hidupnya.
Maya menatap mereka satu per satu dan berkata dengan suara yang lebih tenang, "Jadi, kalau kalian ingin berbicara tentang saya dan Arman, pastikan kalian tahu apa yang kalian bicarakan. Jangan sembarangan menganggap orang lain buruk hanya karena kalian mendengar gosip."
Dengan langkah pasti, Maya meninggalkan ibu-ibu itu yang kini hanya bisa menatap punggungnya. Sebelum pergi, ia sempat mendengar bisikan mereka lagi, tetapi kali ini sudah berbeda—tidak ada lagi ejekan, hanya keheningan yang menggelisahkan.
Sesampainya di rumah, Maya merasa lega meskipun hatinya masih diliputi amarah. Arman yang melihat perubahan wajahnya langsung mendekat, mengetahui bahwa Maya baru saja menghadapi konflik dengan tetangga.
"Mama, ada apa? Kenapa kelihatannya kamu marah sekali?" tanya Arman dengan lembut, mencoba menenangkan.
Maya menghela napas panjang. "Aku sudah cukup dengan semua kebohongan dan gosip itu, Arman. Aku tidak mau diam lagi. Kalau mereka terus menghakimi kita, aku akan bicara. Aku tak akan biarkan hidup kami terus dihancurkan hanya karena orang lain suka menggosip."
Arman menatap Maya dengan penuh kekaguman. "Aku tahu, Mama. Aku bangga padamu. Tapi hati-hati, ini bisa berbahaya kalau mereka semakin membenci kita."
Maya mengangguk. "Aku tahu. Tapi kita harus hidup dengan kepala tegak. Kita sudah cukup menderita karena kebohongan dan penilaian orang lain. Kita harus hidup dengan cara kita sendiri."
Kehidupan mereka memang tidak akan mudah. Ketika cibiran tetangga semakin sering datang, mereka harus siap menghadapi lebih banyak tantangan. Namun, yang terpenting bagi Maya dan Arman adalah mereka memiliki satu sama lain. Dengan cinta dan keberanian untuk mempertahankan apa yang mereka miliki, mereka bertekad untuk terus maju, meskipun dunia luar tidak akan pernah benar-benar menerima mereka.