Chan Khotthot naa ... dilarang boom like.
Kenzie, seorang wanita berusia 27 tahun, sering mendapat olokan perawan tua. 'Jika aku tidak dapat menemukan lelaki kaya, maka aku akan menjadi jomblo hingga mendapatkan kriteriaku' Itulah yang dikatakannya. Namun, ibunya tidak tahan ketika para tetangga menghina anaknya yang tidak laku. Akhirnya memutuskan untuk membuat perjodohan dengan sahabat lamanya! Akankah Kenzie bersedia ataukah menolak perjodohan itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ShiZi_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran Ardi (6)
Ardi seketika terbangun ketika air tengah membasahi wajahnya dengan wajah menahan sesuatu.
"Ada apa? Kenapa kamu menyiramku?" Dengan memakai bahasa isyarat Ardi bertanya.
Tanpa menjawab, Kenzie memasang alat pendengar di telinga Ardi. "Siapa yang menyuruhmu tidur di atas ranjang?" tanya Kenzie dengan geram karena hal itu sebuah larangan yang harus ditaati oleh Ardi.
"Maaf karena aku ketiduran." Jawab Ardi dengan suara khas orang bangun tidur, meski hatinya menahan amarah. Sebisa mungkin lelaki tersebut berpura-pura baik-baik saja.
"Jangan berkelit, kamu sengaja kan karena ingin mengambil kesempatan!" dengus Kenzie dengan mata berapi-api.
"Maaf, aku akan bangun."
Dengan tubuh yang terkejut pasca disiram oleh air, Ardi pun bangun dan segera membersihkan kamar yang berantakan.
"Enak saja dia main tidur di atas. Apa dipikir hanya karena aku demam," batin Kenzie dengan wajah penuh kekesalan.
Mata yang sebelumnya terpejam, kini terbuka dengan lebar. Tidak mengira jika Kenzie setega itu terhadapnya. Kini, Ardi berjalan dengan wajah sulit diartikan.
Ketika Ardi ingin membuatkan bubur untuk Kenzie lagi. Lantas, wanita itu sendiri merasakan pusing secara tiba-tiba dan pandangannya mulai kabur.
"Kenzie ...!"
Bersyukur pada saat Kenzie hendak terjatuh dengan sigap Ardi menangkapnya. "Zie, tidurlah dan jangan lagi bangun karena badanmu masih belum sehat betul."
Untuk sejenak Kenzie menatap wajah Ardi sebelum matanya benar-benar terpejam. "Zie, untuk saat ini kamu jangan menjadi keras kepala. Meski membenciku setidaknya biarkan aku merawatmu," ujar Ardi dengan wajah penuh kecemasan.
Mata Kenzie pun terpejam karena tidak sanggup menahan rasa sakit di kepalanya. Mengabaikan apa yang dilakukan Ardi terhadapnya.
Entah sudah berapa lama Kenzie tertidur dan kini perlahan matanya dibuka. "Argh ... sakit sekali," batin Kenzie dengan sesekali mendesis.
Setelah cukup baik Kenzie pun mengedarkan pandangannya dan tak ada Ardi di sekeliling. Hingga merasa ada sesuatu di kakinya dan barulah wanita itu menyadari jika sosok yang dicarinya sedang tidur sambil duduk.
"Mau seperti apa pun perjuangan kamu, bahkan tidak akan bisa meluluhkan hatiku." Suara lirih Kenzie mengiringi sebuah tatapan penuh kebencian.
"Salah besar telah menuruti permintaan ibu, sungguh aku benar-benar menyesal!" gumam Kenzie lagi.
Mengabaikan sejenak di mana Ardi yang sedang tidur. Rasa haus tak lagi bisa ditahan dan mencoba untuk meraih gelas tersebut. Namun, ketika hendak meraih yang terjadi gelas tersebut jatuh. Hingga membuat Ardi seketika terbangun.
"Zie, kamu kenapa? Apa yang kamu butuhkan?" cerocos Ardi.
Kenzie melirik ke arah bawah dan di situlah Ardi bernapas lega dan mengambilkan minum istrinya.
"Makanlah bubur ini mumpung tidak terlalu dingin. Aku akan membersihkan pecahannya," ujar Ardi.
Selagi Kenzie makan Ardi pun dengan sabar membersihkan kamar akibat pecahan gelas tersebut.
"Aku akan turun sebentar kamu tidurlah kembali." Setelah berkata Ardi pun meninggalkan Kenzie. Namun, langkah lelaki tersebut karena merasa ada yang menahan lengannya.
"Katakan," ucap Ardi tanpa basa-basi.
"Tetaplah di sini dan jangan tinggalkan aku," pinta Kenzie dengan cara mengalihkan wajahnya yang sulit ditebak.
"Aku hanya turun untuk menemui seseorang." Jawab Ardi, lalu melepaskan tangan Kenzie.
"Perse*tan, kenapa aku menjadi bodoh sih!" gerutu Kenzie ketika memohon pada Ardi.
"Tidak, aku tidak mencintainya dan sangat membencinya." Kata Kenzie dengan lirih. Menolak kebaikan dari lelaki tersebut karena semakin sosok itu menjadi baik, maka ia juga akan semakin membencinya.
Sudah setengah jam Ardi tak kunjung datang. Membuat Kenzie mulai gelisah karena traumanya kembali menghantuinya lagi.
"Siapa yang ditemui oleh si tuli sampai belum juga datang," batin Kenzie.
Sedangkan di ruang tamu.
"Ar, aku membawakanmu ini. Sepertinya kamu belum makan," ucap Deva.
"Terima kasih, entah aku harus memulainya dari mana. Setelah aku kembali pagi tadi, Kenzi sepertinya ketakutan alasan tersebut belum kuketahui." Di sini Ardi mencoba bercerita kepada Deva, siapa tahu dengan begitu ada petunjuk karena mustahil baginya untuk bertanya.
Deva yang mendengarkan cerita dari Ardi, meyakini kalau istrinya pernah mengalami sesuatu hingga mendatangkan traumanya lagi.
"Jika aku boleh berpendapat kalau istrimu pernah mengalami trauma." Jawab Deva.
"Trauma, apa maksudnya? Bukankah selama ini wanita itu begitu tangguh. Terlebih dalam soal berdebat pun aku kalah," jawab Ardi dalam hati yang sedang dirundung oleh berbagai pertanyaan.
"Ingat, Ar. Dia hanya membutuhkan di saat genting saja," ucap Deva.
"Aku tahu." Jawab Ardi.
"Ingat untuk tidak menjadi seseorang berhati lembut dan berujung dimanfaatkan," kata Deva kembali memberi wejangan kepada Ardi, karena dia ... sebagai sahabatnya terlalu tidak tahan dengan sebuah ketidakadilan.
"Kamu tenang saja, jangan khawatirkan aku." Seulas senyum di bibir Ardi membuat Deva terpaksa mempercayai ucapannya.
"Kalau begitu segeralah makan dan aku akan kembali ke pekerjaanku, ingat! Jangan memberikan itu pada istrimu."
Ardi pun mengangguk paham, meski mulut sahabatnya memiliki lidah tajam. Meski begitu dialah orang yang selalu memberi perhatian, terlebih Kenzie sedang sakit.
"Sungguh tuan naif," batin Ardi seraya menatap kepergian Deva hingga hilang dalam pandangannya.
Setelah Deva pergi, Ardi pun kembali ke kamar untuk melihat perkembangan Kenzie. Berharap jika wanita itu lekas membaik seperti biasanya. Namun, tanpa disangka jika wanita tersebut masih tetap keras kepala.
"Cih, aku kira kamu akan nongkrong dengan temanmu." Meski dengan keadaan sakit, tetapi mulut Kenzie tetap tajam.
Ardi tidak menghiraukan, tetapi teringat akan dengan Deva.
"Sepertinya kamu sudah baik-baik saja, makanlah jika merasa lapar." Setelah meletakkan foam berisikan bubur ayam, Ardi pergi karena sepertinya lelaki tersebut butuh ketenangan.
Ardi pun pergi ke halaman belakang, melepaskan kembali alat pendengarannya. Menghirup udara bebas dan tidak lupa sebatang rokok menjadi teman kesendiriannya.
Di dalam kamar, Kenzie yang bosan memilih bermain game di ponsel. Beberapa saat, terdapat nomor tidak dikenal tengah mengiriminya pesan. Entah siapa pemilik dari nomor tersebut.
"Siapa pemilik nomor ini. Sudahlah sepertinya dari oknum penipu," gumam Kenzie dan mencoba mengabaikan pesan tersebut.
Tidak hanya satu pesan yang di kirim, tetapi ada beberapa dan hal itu membuat Kenzie terus berpikir. Jika ada seseorang dengan sengaja mengiriminya, tapi yang membuat menjadi sebuah pertanyaan, kenapa tidak menghubunginya secara langsung?
"Siapa sebenarnya orang ini," batin Kenzie.
"Aneh." Itulah yang ada di pikiran Kenzie sekarang.
Akhirnya dengan keberanian Kenzie membuka pesan tersebut dan ....
"Apa yang dia mau dariku sehingga memaksaku untuk bertemu?" Hati Kenzie mulai berkecamuk, entah mendapat nomornya dari siapa yang jelas ini ada sangkut pautnya atas rumah tangganya.
"Baiklah, mari kita bertemu dan apa yang kamu ingin katakan padaku nanti." Bibir Kenzie terangkat, seulas senyum menghiasi wajahnya dengan sebuah pikiran licik karena bagaimanapun ia tak akan membiarkan, orang-orang menindasnya dan memandang rendah martabatnya.
semangatt..
jgn lamalama Up nyaa...