Pindah sekolah dua kali akibat dikeluarkan karena mengungkap kasus yang tersembunyi. Lima remaja dari kota terpaksa pindah dan tinggal di desa untuk mencari seseorang yang telah hilang belasan tahun.
Berawal dari rasa penasaran tentang adanya kabar duka, tetapi tak ada yang mengucapkan belasungkawa. Membuat lima remaja kota itu merasa ada yang tidak terungkap.
Akhir dari setiap pencarian yang mereka selesaikan selalu berujung dikeluarkan dari sekolah, hingga di sekolah lain pun mengalami hal serupa.
Lantas, siapakah para remaja tersebut? Apa saja yang akan mereka telusuri dalam sebuah jurnal Pencari Jejak Misteri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zennatyas21, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Bertemu Panca
Usai beberapa jam perjalanan, akhirnya mereka pun sampai di desa Kantil pada pukul 13.00 siang. Setelah mendapatkan tempat untuk menginap, lima anak itu akan melaksanakan shalat dzuhur berjamaah di sebuah rumah yang dikontrakkan.
"Nanti abis shalat dzuhur, kita ke sirkuit, yuk? Katanya hari ini tuh ada hiburan balap motor trail sama ada kuda lumping juga, sekali-kali buat kita hibur diri ya gak sih," ujar Bisma mengajak keempat temannya.
Sesudah Reyza berwudhu, lelaki itu menarik Bisma untuk merapikan shaf barisan.
"Udah, sholat dulu. Soal itu mah gampang nanti dibahas," sahut Reyza.
Selang beberapa menit semuanya telah bersiap-siap untuk pergi ke sirkuit. Untuk sang supir yang bertugas menjaga mereka ditugaskan tetap di kontrakan.
"Emang lo tau lokasinya dimana?" tanya Reyza dengan satu tangan menggenggam ponselnya.
Bisma terkekeh sambil menggeleng pelan. Bola matanya mengarah ke beberapa warga yang melintas di depan kontrakan.
"Tuh, ikutin mereka aja."
•••••
Suasana ramai di sirkuit yang dibuat oleh warga sekitar sudah dipenuh oleh orang-orang, baik dari asli warga sekitar maupun orang luar daerah.
Reyza menggandeng Ratu sembari membelah kerumunan orang yang menutupi acara. Bisma pun mengikuti dengan menjaga Intan dan Ninda.
"Wah, ternyata balap motornya udah selesai, cuy. Berarti tinggal kuda lumping nih," kata Bisma setelah mengikuti jejak Reyza yang membawa Ratu ke pendopo.
Di belakang para kelompok pemain gamelan, Reyza menyodorkan sebuah masker untuk kakaknya. Dengan segera Ratu menerimanya.
"Kakak gak lagi buka mata batin kan?" tanya Reyza memastikan.
Ratu menggeleng. "Enggak, santai aja. Justru yang bahaya itu kamu, takut ada yang masuk tanpa izin." jawabnya sekilas menatap adiknya.
"Emang ada yang mau masuk, Kak. Cuma aku udah ngomong baik-baik buat gak masuk, karena aku lagi males berurusan sama mereka." celetuk Reyza.
Tontonan kuda lumping dari desa sebrang sudah memasuki waktu dimana para pemain jaranan akan mendem alias kerasukan.
Tatapan Ratu sejak tadi sudah menatap terus sosok penari jaranan yang sedang ikut mengitari sesajen bersama penari lainnya.
Reyza yang penasaran dengan kakaknya pun mengikuti arah pandangan Ratu yang tertuju pada satu lelaki.
Disela-sela alunan musik gamelan memunculkan detik-detik penari akan kerasukan, Bisma mendapati dua gandengan dari Intan dan Ninda.
"Gue takut, Bis," rintih Intan.
"Gue gak tahan sama bau nya," Desis Ninda.
Bisma bergantian menatap Ninda serta Intan. Sambil mengusap dua tangan sahabatnya itu.
"Udah, gak papa. Gak bakalan kesini kok pemainnya, kalo gak tahan sama bau nya, mending lo pake masker aja nih, gue persiapan bawa tadi." kata Bisma lembut.
Tepat pada saat para pemain mulai sempoyongan dan langsung kerasukan atau mendem, lagi-lagi Ratu masih memperhatikan seorang lelaki tadi yang ternyata tak ikut kerasukan. Lelaki tersebut justru keluar dari garis tengah khusus penari jaranan, kemudian ia mengambil beberapa sesajen untuk para temannya.
"Itu cowok kenapa gak ikut mendem ya, Rey?" tanya Ratu berbisik.
Reyza menatap Ratu turut heran. "Iya, Kak, atau mungkin dia emang gak mau kerasukan kali — atau gak, mungkin belum ada yang masuk ke tubuhnya?" Tebak Reyza.
Bisma yang berdiri di sisi kiri Reyza seketika berdecak.
"Itu orang kayaknya emang gak mau ikutan kayak gitu, jadi dia cuma ikut bagian tariannya aja pake kuda lumping. Keliatan sih dari mukanya, kalem tapi ganteng. Mana putih juga kulitnya,"
Ketika sedang asik menonton, Ninda dan Intan tiba-tiba ingin membeli pop ice. Karena mereka mulai merasa kehausan. Dua remaja tersebut pun tak lupa menawarkan titipan pada Ratu.
"Lo mau titip beli pop ice gak sama sosis bakar?" tanya Ninda.
Ratu menoleh kemudian mengangguk. "Boleh deh, pop ice nya terserah rasanya apa, tapi sosisnya enam ya. Buat barengan sama Reyza, soal duit nanti gampang gue ganti." jawabnya.
"Santai kalo soal itu mah," sahut Intan kemudian menggandeng Intan untuk segera pergi.
Beberapa menit kemudian, Intan bersama Ninda pun datang membawa jajan yang Ratu pesan. Di tengah itu, belum sempat menerima sosis serta minuman dari tangan Intan, tiba-tiba Ratu diperintah oleh seorang bapak-bapak yang sedang berjualan es teh.
"Mbak, maaf, apa boleh saya minta tolong?" tanya sang pria paruh baya itu menatap Ratu.
"Oh, boleh, Pak. Ada apa ya?" jawab Ratu lemah lembut.
"Ini saya mau minta tolong kasih es teh ini ke Mas yang gak ikut kesurupan itu, Mbak. Soalnya tadi dia pesan dan udah bayar, minta diantar tapi saya masih banyak yang minta diantarkan juga." jelas pria tersebut.
Ratu menoleh dan menatap sang adik untuk meminta keputusan. Karena Reyza mengangguk, Ratu pun menyetujuinya.
"Oh, baik. Mari, biar saya aja yang antarkan es nya. Ke Mas yang lagi jongkok itu kan ya?" tanya Ratu memastikan.
Pria itu mengangguk. "Terima kasih, Mbak."
"Iya, sama-sama, Pak."
••••
Di tengah-tengah kerumunan yang padat, Ratu berusaha menyempil untuk sampai ke seorang laki-laki pemain jaranan tersebut.
Setelah sampai, Ratu berusaha memberikan es teh dari penjual tadi ke pemuda itu. Baru saja ingin mencolek lengannya, Ratu lebih dulu kepergok olehnya.
"Eh, anu," gumam Ratu usai terkejut dan merasa malu.
Pemuda itu menoleh menatap Ratu dengan tatapan dingin. "Kenapa?"
Ratu lagi-lagi merasa gugup tak karuan, apalagi saat ia berdekatan dengannya. Sungguh, jantungnya terasa akan copot.
"Duh ... Ini jantung kok gak bisa diajak serius sih," Desis Ratu kesal.
Dengan tangan yang gemetaran, Ratu seketika berusaha menyodorkan es teh.
"Ini, Mas, tadi saya disuruh penjual es teh buat antar pesanan Mas nya," ucap Ratu.
Beruntung pemuda tersebut langsung menerima dan berdiri untuk mengucapkan terima kasih pada Ratu.
"Makasih ya, Mbak." jawabnya dingin.
Ratu melihat pemain jaranan satu ini begitu berbeda dengan lainnya. Pertama, lelaki itu sungguh tampan. Kedua, memakai jam tangan warna hitam. Ketiga, kulitnya cukup putih. Keempat, sungguh karakternya dingin!
"Iya, sama-sama."
Suasana di sirkuit semakin ramai dan berisik, tanpa disangka-sangka ketika Ratu hendak kembali ke posisi Reyza serta teman-temannya tiba-tiba ada seorang penonton laki-laki yang kesurupan.
"Astaghfirullah ... Kok bisa sih yang nonton ikut kemasukan," ujar Ratu lirih.
Melihat perempuan yang telah membantunya terkejut, pemuda tadi memperhatikan sang penonton yang kesurupan.
"Nonton sini aja, Mbak. Kalo takut ada yang kesurupan lagi," kata si pemuda itu menyuruh Ratu sedikit menjauh.
Sesudah suasana menonton sedikit aman, Ratu mulai mencoba perkenalan. Walau rasa gengsinya sebagai perempuan harus ditebas habis, demi menemukan jawaban atas pertanyaan di kepalanya.
"Kalo boleh tau, maaf nih, kenapa kamu gak ikut kesurupan kayak yang lain? Tadi aku lihat cuma kamu aja yang minggir, kenapa?" tanya Ratu penasaran namun dengan nada yang sopan.
Pemuda tersebut menyeruput sedikit es tehnya. "Karena aku gak satu daerah sama mereka. Mereka itu dari desa sebrang, kalo aku asli sini." jawabnya.
Ratu menggeleng cepat.
"Pertanyaan aku itu kenapa kamu gak ikut kesurupan, bukan soal satu daerah atau gak nya ya, maaf,"
"Iya itu, karena gak satu daerah jadi aku gak ikut. Di daerah mereka emang kesurupan semua, Mbak. Dan karena mereka udah tahu soal aku dari desa ini aja sih, jadi mereka menghargai lah." jelas pemuda tersebut namun menurut Ratu itu belum jelas.
"Kamu kan bilang kamu asli dari daerah sini, itu berarti kamu dari desa Kantil dong? Terus kenapa kamu gak ikut kesurupan? Padahal desa Kantil ini kan yang warganya pada suka buat ritual sesat,"
Beruntung Ratu dibawa pemuda itu sedikit jauh dari kerumunan orang, yang berarti obrolan mereka tidak didengar oleh warga asli desa Kantil.
"Justru karena itu, aku — aku gak bisa cerita, aku harus balik ke pendopo dan membantu yang belum sembuh dari kesurupan." katanya terburu-buru beranjak, semakin membuat Ratu timbul rasa mencurigakan.