Megha Anantasya, gadis ceria yang terjebak dalam cinta sepihak pada Bima Dirgantara, berjuang melawan penolakan dan dinginnya hati pria yang dicintainya. Meskipun usaha dan harapannya tak pernah padam, semua usaha Megha selalu berakhir dengan patah hati. Namun, saat mereka kembali bertemu di kampus, Megha menyimpan rahasia kelam yang mengancam untuk merusak segalanya. Ketika perasaan Bima mulai beralih, kegelapan dari masa lalu Megha muncul, mengguncang fondasi hubungan mereka. Di tengah ketidakpastian, Megha menghadapi kenyataan pahit yang tak terhindarkan, dan Bima harus berjuang melawan penyesalan yang datang terlambat. Ketika semua harapan tampak sirna, cinta mereka terjebak dalam tragedi, meninggalkan luka mendalam dan pertanyaan tanpa jawaban: Apakah cinta cukup untuk mengalahkan takdir yang kejam?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon siscaatann, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PENGAKUAN YANG PATAH
Hari kelulusan akhirnya tiba. Semua orang di sekolah terasa excited. Baju putih abu seragam kita di hari spesial ini kayaknya bikin semuanya jadi lebih ceria. Di mana-mana ada tawa dan kegembiraan, tapi di hatiku, rasanya kayak ada badai yang mengancam. Semangatku untuk merayakan kelulusan itu campur aduk dengan ketakutan dan harapan yang belum terwujud.
Aku udah siap dengan rencana ini. Aku mau ngungkapin perasaanku ke Bima. Udah lama banget aku nyimpen perasaan ini, dan momen hari kelulusan ini terasa kayak kesempatan yang tepat. Tapi, di sisi lain, aku juga ngerasa deg-degan parah. “Gimana kalau dia nolak lagi?” pikirku. “Gimana kalau semua usaha ini sia-sia?” Setiap pertanyaan itu berputar di kepalaku kayak roller coaster.
Aku ngeliat Bima di keramaian. Dia lagi ngobrol sama temen-temen yang lain, tersenyum lebar. Senyumnya itu selalu bikin jantungku berdebar. Aku pengen banget mendekat dan ngajak dia bicara, tapi rasanya kayak ada tembok yang nahan aku. “Ah, Meg! Berani dong! Ini momen yang kamu tunggu!” ujarku dalam hati.
Acara kelulusan dimulai. Banyak banget teman-teman yang udah bersiap dengan foto-foto, sambil menggenggam piala penghargaan. Setiap kali nama panggilan aku diucapin, aku ngerasa bangga dan senang. Tapi, semua rasa itu kayak sirna begitu aku melihat Bima lagi. Dia terjebak dalam kerumunan, dan aku takut dia nggak bakal lihat aku.
“Eh, Meg! Foto dulu yuk!” ajak Rina sambil menarik tanganku. Kami semua berkumpul untuk foto. Momen-momen kayak gini bikin aku sadar, kami bakal berpisah. “Gila, nanti kita udah nggak bareng lagi,” pikirku sedih. “Bima, kamu harus tau perasaanku sebelum kita semua terpisah.”
Setelah foto-foto selesai, aku pun memberanikan diri untuk mendekati Bima. “Bima!” seruku. Dia menoleh dengan senyum. “Meg! Seneng banget bisa liat kamu di sini!” ucapnya. Wajahnya bener-bener ceria. “Lu juga, ya! Gimana, udah siap untuk yang baru?” tanyaku, berusaha terdengar tenang.
“Siap sih, tapi ada satu yang bikin gue bingung,” jawab Bima sambil menggaruk kepalanya. “Kayaknya banyak yang berubah, kan?” Aku ngerasa kesempatan itu ada. “Bima, bisa kita bicara sebentar?” tanyaku, berusaha menguasai diri. Bima mengangguk dan kami beranjak ke tempat yang sedikit lebih sepi.
Ketika kami sampai di sudut, aku bisa merasakan detak jantungku semakin cepat. “Bima, ada yang pengen aku bilang,” kataku, mengumpulkan keberanian. “Gue udah lama ngerasain ini… dan gue tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi… gue suka sama lu.”
Suaraku bergetar, dan rasanya waktu berhenti sejenak. Bima terdiam. Ekspresinya campur aduk, kayak lagi mikir sesuatu yang berat. “Meg…,” dia mulai, tapi aku udah terlanjur cemas. “Gue tahu ini mungkin terlalu mendadak, tapi aku nggak bisa terus-terusan nyimpen perasaan ini. Aku suka kamu, Bima!”
Bima menggeleng pelan. “Meg, gue…,” dia kelihatan bingung. “Gue nggak tahu harus bilang apa. Gue ngerasa kita udah deket, tapi…” Dia terdiam, dan aku ngerasa hatiku copot.
“Gue ngerti kalo ini bikin lu bingung. Mungkin kita bisa tetap temenan, kan?” tawarku, mencoba menyelamatkan situasi. “Gue nggak mau kehilangan lu, Bima.” Air mata udah di ujung mata, dan aku berusaha keras untuk nahan supaya nggak jatuh. “Gue… gue juga pengen temenan sama lu, tapi…” Suara Bima lembut, dan aku bisa merasakan sakit di hatinya.
“Tapi apa?” tanyaku, terpaksa menatapnya. “Tapi gue ngerasa… gue belum siap untuk hubungan kayak gitu, Meg. Ada banyak yang harus gue pikirin,” jawabnya pelan. Dan saat itu, seolah semua harapanku runtuh.
“Jadi… ini berarti kita nggak bisa lebih dari temen?” tanyaku, suaraku hampir serak. “Gue takut kehilangan lu, Bima. Lu udah jadi bagian penting dalam hidup gue,” tambahku, mencoba menahan air mata.
“Gue juga ngerasain hal yang sama, Meg. Tapi situasi kita sekarang… bukan waktu yang tepat,” kata Bima dengan nada sedih. Dan rasanya, hatiku udah hancur berantakan. “Gue harus pergi. Maaf kalau ini bikin lu sedih.” Dia bilang sambil menatapku dengan penuh penyesalan sebelum pergi.
Aku berdiri di situ, merasa semua harapanku hilang. “Apa yang salah, ya? Kenapa semua ini terjadi?” Dalam sekejap, semua kebahagiaan yang ada di hari kelulusan itu berubah menjadi kesedihan. Teman-temanku kembali berkumpul, dan mereka semua terlihat bahagia, sementara aku hanya bisa tersenyum palsu.
Hari itu, aku pulang dengan hati yang hancur. Rasanya kayak semua kegembiraan di dunia ini udah sirna. Setiap kali aku teringat momen itu, rasanya semua hal yang terjadi di antara aku dan Bima terasa sia-sia. Kenapa cinta selalu terasa rumit dan menyakitkan?
Di rumah, aku berbaring di tempat tidur dengan pikiran yang berputar. Setiap kata yang Bima ucapin kayak terngiang di kepala. “Belum siap untuk hubungan…” Rasanya kayak dia menutup pintu yang udah aku harapkan. “Mungkin aku terlalu terburu-buru,” pikirku. “Mungkin aku harus memberi dia waktu.”
Hari-hari berlalu, dan meski aku berusaha untuk move on, rasanya semua itu sulit. Di kampus, setiap kali aku melihat Bima, hatiku bergetar. Dia masih terlihat cool dan tenang, sedangkan aku terjebak dalam perasaan sakit yang belum sembuh. Setiap kali temanku nanya, “Gimana? Masih suka Bima?” aku cuma bisa senyum pahit. “Nggak apa-apa,” jawabku, meskipun sebenarnya hatiku hancur.
Suatu sore, saat aku lagi duduk di kafe favoritku, Rina datang dan duduk di sampingku. “Meg, kamu kayaknya beda. Apa kabar?” tanyanya, khawatir. Aku tahu dia peduli, jadi aku putuskan untuk cerita. “Rina, aku bilang ke Bima bahwa aku suka dia. Tapi dia nolak aku,” ungkapku, suara bergetar.
Rina terkejut. “Serius? Kenapa dia nolak? Kalian kan deket!” Aku menggeleng. “Gue nggak tahu. Mungkin dia emang belum siap atau ada masalah lain,” jawabku sambil menatap kopi di hadapanku. “Sakit, kan? Rasa ditolak gini. Rasanya kayak dunia mau runtuh.”
“Meg, kadang emang perasaan itu rumit. Lu harus ingat, kamu berharga. Dan cinta itu nggak harus berbalas untuk menjadi sesuatu yang berarti,” kata Rina sambil menggenggam tanganku. “Coba lu fokus ke hal lain, mungkin ada jalan keluar yang lebih baik.”
“Gampang ngomongnya. Tapi hati ini kayak susah move on,” keluhku. “Mungkin aku butuh waktu sendiri.” Rina mengangguk. “Tapi jangan lupa, kita masih ada di sini. Teman itu penting. Gue bakal ada buat lu.”
Dengan dukungan Rina, aku berusaha untuk move on. Aku mulai lebih fokus ke hobi dan kegiatan di kampus. Setiap kali ada kesempatan, aku berusaha untuk memperbaiki diri dan belajar lebih banyak. Mungkin cinta bukan segalanya, dan aku harus belajar menghargai diriku sendiri.
Di satu sisi, aku tetap berharap Bima bisa kembali melihatku dengan cara yang berbeda. Tapi di sisi lain, aku mulai menyadari bahwa cinta tidak bisa dipaksakan. Kadang, orang harus melalui proses mereka sendiri untuk menemukan apa yang mereka inginkan.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Meskipun hatiku masih terasa sakit, aku belajar untuk bertahan. Terkadang, senyuman dan tawa dari teman-teman bisa jadi obat terbaik. Dan meski aku tahu perasaanku kepada Bima mungkin nggak akan pernah hilang, aku berusaha untuk menyimpan kenangan itu dengan cara yang indah.
Dan di dalam hatiku, aku tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Mungkin suatu hari nanti, Bima akan menyadari bahwa cinta itu lebih dari sekadar kata-kata. Untuk sekarang, aku akan fokus pada diriku sendiri dan menikmati