Tiga tahun lalu, Agnia dan Langit nyaris menikah. Namun karena kecelakaan lalu lintas, selain Agnia berakhir amnesia, Langit juga divonis lumpuh dan mengalami kerusakan fatal di wajah kanannya. Itu kenapa, Agnia tak sudi bersanding dengan Langit. Meski tanpa diketahui siapa pun, penolakan yang terus Agnia lakukan justru membuat Langit mengalami gangguan mental parah. Langit kesulitan mengontrol emosi sekaligus kecemburuannya.
Demi menghindari pernikahan dengan Langit, Agnia sengaja menyuruh Dita—anak dari pembantunya yang tengah terlilit biaya pengobatan sang ibu, menggantikannya. Padahal sebenarnya Langit hanya pura-pura lumpuh dan buruk rupa karena desakan keluarga yang meragukan ketulusan Agnia.
Ketika Langit mengetahui penyamaran Dita, KDRT dan talak menjadi hal yang kerap Langit lakukan. Sejak itu juga, cinta sekaligus benci mengungkung Dita dan Langit dalam hubungan toxic. Namun apa pun yang terjadi, Dita terus berusaha bertahan menyembuhkan luka mental suaminya dengan tulus.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rositi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dua Puluh Delapan
“Biar aku gendong saja,” sergah Langit masih belum bisa tenang.
Langit belum bisa meredam emosinya. Jelas Langit juga belum bisa menguasai diri. Sakitnya Dita yang tiba-tiba menjadi alasannya mengalaminya.
“Aku sudah bisa jalan, Mas. Beneran sudah enakan,” yakin Dita.
Meski Dita menyikapinya dengan lembut, emosi Langit tetap tersulut. Karenanya, kedua orang tua Langit yang ada di sana dan menyaksikannya, meminta Dini untuk mau digendong.
Bertepatan dengan Dita yang dibopong Langit, wajah Dita yang tak tertutup cadar, terlihat oleh Agnia.
“Hah ...? Dita? Jadi istri Langit masih Dita?” kaget Agnia tak percaya. Jantungnya berdetak cepat, sementara tubuhnya gemetaran hebat. Jadi, ketimbang kepadanya, orang tua Langit lebih ikhlas Langit bersanding dengan anak pembantu seperti Dita?
“Dasar maalling kamu Dita! Enggak tahu diri banget ya kamu!” kecam Agnia benar-benar kesal. Kedua tangannya yang mengepal, memukul-mukul stir mobilnya.
Dari yang Agnia amati, orang tua Langit sangat peduli dan jelas menerima Dita. Begitu juga dengan Langit yang meski tampak sangat emosi, tetap sangat peduli kepada Dita.
“Aku harus melakukan sesuatu! Aku harus melakukan sesuatu!” yakin Agnia pada dirinya sendiri. Selain itu, ia juga jadi histeris sendiri. Agnia kacau dan refleks menjam*bak-jam*bak rambut panjangnya yang tergerai.
Di tempat berbeda, Haris masih terjaga di depan kontrakan Dita. Haris begitu sabar sekaligus setia menunggu Dita. Barulah setelah tetangga sebelah mengabarkan kepindahan Dita, akhirnya keteguhan pria bermata sendu itu tumbang. Air mata Haris jatuh lantaran dari kabar tetangga kontrakan Dita, Dita sekeluarga dikabarkan pindah dan memang diboyong oleh suami Dita.
“Apakah aku memang harus menyerah? Kenapa mencintai harus sesakit ini?” batin Haris. Ia melangkah loyo menuju motor matic miliknya yang ia parkir di depan gang.
Ketika Haris berpikir apakah memang sudah saatnya untuk menyerah, Langit justru bersikap makin posesif. Langit tak hentinya mondar mandir terjaga untuk Dita. Hingga adzan subuh terdengar, Langit masih melakukannya.
“Mas ... Mas beneran enggak tidur?” Dita menatap sedih suaminya. Bisa dipastikan, sakit mental suaminya kembali kambuh.
“Aku takut kamu kenapa-kenapa, dan andai aku tidur, takutnya aku enggak dengar,” sergah Langit buru-buru menghampiri Dita. Ia sengaja duduk kemudian membingkai wajah Dita, dan mengabsennya menggunakan kecupan.
“Ini aku harus bahagia, apa malah sebaliknya. Suamiku enggak baik-baik saja. Dan ternyata, terlukanya aku bisa menjadi salah satu alasannya kembali terluka. Aku benar-benar minta maaf ya Mas!” batin Dita yang kemudian menuntun Langit untuk tidur di pangkuannya.
“Kamu beneran sudah enakan? Sudah enggak sakit?” Langit masih sibuk bicara, dan lagi-lagi melayangkan pertanyaan yang sama meski Dita selalu menjawabnya.
“Eh, kita subuhan dulu, yuk. Habis itu kita tidur. Subuhan, biar yang di perut juga terbiasa beribadah,” lembut Dita sambil meletakan tangan kanan Langit di perutnya yang agak mungil.
“Pikiranku sangat kacau. Aku sampai berpikir, apa lebih baik, kamu enggak hamil saja.”
“Mas, ... enggak boleh gitu. Aku baik-baik saja. Ayo tenangkan pikiran Mas. Ingat, kita baik-baik saja. Mas berpikir begitu karena pikiran Mas sedang kacau. Ingat, adanya Mas saja karena mama Mas hamil dari pernikahannya dan papa Mas, kan? Terus, Mas juga jangan lupa. Setiap kehidupan termasuk setiap rumah tangga, punya cobaan masing-masing,” yakin Dita.
Beres shalat dan akhirnya berhasil menidurkan Langit, giliran Dita yang bingung. “Mas Langit bisa sembuh kan, ya? Takutnya setelah anakku lahir, Mas Langit tetap menyalahkannya. Ya Allah, memangnya aku sekuat ini, ya? Hamba mohon, tolong angkat luka mental suami hamba. Kasihan dia, ... hidup tapi sangat tersiksa karena setiap saat, pikirannya selalu perang."
Melalui sambungan interkom, Dita sengaja menghubungi mama mertuanya. “Aku enggak akan keluar dari kamar, selagi Mas Langit belum stabil keadaannya Ma. Takutnya pas dia bangun dan enggak lihat aku, dia langsung ... ya gitu Ma. Ini, sampai sekarang saja masih menyesalkan kehamilanku. Mas Langit berpikir, gara-gara kehamilanku, aku jadi tersiksa.”
“Ya sudah, dikondisikan saja. Sekarang kamu akhirnya tahu, bahwa suamimu sangat mencintaimu. Saking cintanya ke kamu, rasa cintanya itu sudah berubah jadi obsesi. Lengah dikit, sekadar kamu enggak kelihatan, atau malah kamu kesakitan, ... kemungkinan suami kamu ‘kambuh’ beneran besar ya, Mbak. Jadi mulai sekarang, wajib pintar-pintar saja lihat situasi dan kondisi. Selain itu, Mama juga mau pesan. Dulu pas kehamilan pertama, Mama sempat keguguran. Khawatirnya, percaya enggak percaya, hal semacam ini juga bisa menurun ke anak dan menantu. Jadi, Mbak jangan sampai kelelahan apalagi stres,” ucap ibu Azzura dari sambungan telepon.
“Iya, Ma. Makasih banyak. Bismillah, aku dan keluarga kecilku kuat. Kami sehat, dan kami bisa bahagia seperti keluarga normal lainnya,” balas Dita masih penuh kelembutan.
Tak lama kemudian, setelah sambungan telepon mereka berakhir, Dita sengaja kembali mendekati Langit. Dita mengecup kening Langit penuh cinta. “Sehat-sehat, yah, Mas!” lembutnya sambil mendekap tubuh Langit.
***
Satu hal yang membuat ibu Azzura maupun pak Excel terkejut. Sebab di hari itu juga, dan masih terbilang pagi karena ibu Azzura dan sang suami tengah sarapan. Ada seorang wanita bercadar dan mengaku sebagai Agnia.
“Wanita bercadar, bernama Agnia?” lirih ibu Azzura yang mengulang kabar dari sang ART.
Wanita bercadar yang dimaksud, masih ditahan di depan gerbang dan memang tidak diizinkan masuk. Kebiasaan yang selalu terjadi untuk siapa pun yang bertamu ke rumah mereka dan belum dikenal apalagi belum membuat janji.
Padahal, keadaan Langit yang masih kerap kambuh karena hal sepele saja sudah menjadi beban untuk ibu Azzura dan pak Excel. Namun sekarang, Agnia mendadak datang dan sampai berpenampilan menggunakan cadar?
“Drama apa lagi?” kesal ibu Azzura benar-benar muak.
“Mau sampai kapan dia mempermainkan Langit, Pa! Gara-gara dia, Langit selalu siaaal! Susah diatur, kecelakaan fatal, sampai lumpuh, wajah kanan Langit juga sempat terluka parah, dan sekarang kita tahu, penolakan demi penolakan darinya bikin mental dan jiwa Langit terluka! Aku enggak terima. Aku beneran enggak terima, Ma!” Ibu Azzura benar-benar emosi. Tubuhnya gemetaran karena emosi yang ditahan. Sedangkan air matanya tak hentinya berlinang membasahi pipi karena kini ia tak sedang bercadar.