Tristan dan Amira yang berstatus sebagai Guru dan Murid ibarat simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Tristan butuh kenikmatan, Amira butuh uang.
Skandal panas keduanya telah berlangsung lama.
Di Sekolah dia menjadi muridnya, malam harinya menjadi teman dikala nafsu sedang meninggi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @Alyazahras, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nomor Haram!
"Malam ini? Kalau bisa malam selanjutnya juga jangan pulang! Pasti mau ketemuan sama guru ganjen itu lagi, yang alisnya kayak ulet bulu itu, tuh. Iyuh, seleranya yang begituan," gerutu Amira mulutnya komat-kamit sambil meletakkan kembali ponselnya dan memeluk guling. Berusaha tidak terpengaruh, lebih baik pejamkan mata saja.
Sebelumnya nama kontak Tristan di ponselnya disamarkan dengan nama 'Gak tau, siapa ya?', tapi karena chattingannya pernah ketahuan Uci, apalagi chattingannya pada saat itu Tristan sedang membahas rencana malam panasnya dengan Amira, alhasil Amira harus mengeluarkan ribuan omong kosong untuk membuat Uci percaya kalau dia sedang diganggu oleh seorang pedofil.
Nama kontak itu pun akhirnya berganti jadi Pedofil. Dan, tentu tanpa sepengetahuan Tristan karena Tristan tidak pernah memeriksa ponselnya. Tristan sangat menghargai privasi Amira.
°°°
Sebuah panggilan telepon berdering nyaring di pagi buta, hingga membangunkan Amira yang masih terlelap tidur di balik selimut.
Amira dengan masih memejamkan matanya, berusaha meraba sekitar ranjang dan setelah mendapatkan ponselnya, dia angkat telepon tersebut tanpa melihat siapa yang menelepon karena sudah tahu pasti Tristan.
"Günaydın, Canım! (Pagi, sayangku)," ucap Tristan dengan semangat menggebu, terdengar dari nada bicaranya.
"Hm, günaydın," jawabnya lemas.
"Masih tidur?"
"He'em."
"Bangun dong, udah jam berapa ini? Telat ke sekolah nanti."
"Hoaamm, 5 menit lagi~"
"Benar, ya? Saya telepon 5 menit lagi. Awas kalau belum bangun!" ancam Tristan.
Panggilan telepon dimatikan. Amira yang masih ngantuk, kembali menenggelamkan diri ke alam bawah sadarnya. Namun, sayang ponselnya tidak mau diajak kompromi. Lagi-lagi berdering.
Amira angkat dengan sedikit rasa kesal karena waktu tidur berharganya meski tersisa beberapa menit lagi jadi terganggu.
"Apalagi, honey bunny sweety?" ledeknya sambil memaksakan tersenyum dengan nada riang gembira agar enak didengar. "Memangnya sudah 5 menit? Baru juga nelepon barusan!"
"Rara?"
Deg!
Ternyata bukan suara Tristan yang berat nan seksi yang terdengar, melainkan suara lembut dan tenang yang cukup familiar di telinga Amira. Yang mulanya kelopak mata Amira sangat berat seperti ketimpa emas 10 kilo, kini terbuka lebar dengan mudah.
Amira terduduk tegang sambil memeriksa layar ponselnya. Deretan nomor yang tertera cukup membuatnya syok setengah mati. Dia kenal nomor itu. Nomor haram baginya.
"Ra?"
Suara itu terdengar lagi dengan nada lirih. Amira buru-buru mematikannya. Ketenangannya benar-benar terusik kali ini.
Dia bergegas mengambil handuk dan masuk ke kamar mandi. Membiarkan ponsel itu tergelatak tak bertuan di atas ranjang.
°°°
Sesampainya di Sekolah.
Amira terlihat tak bersemangat saat masuk ke Sekolah dengan seragam batik plus ransel. Wajahnya lesu. Uci dan Sofi yang memanggilnya pun tak dia tanggapi. Diam saja sambil melengos ke depan seperti ular.
"Amira!" teriak Uci dan Sofi. Mereka menghentikan langkah Amira di depan kantor Kepala Sekolah.
"Dipanggil-panggil juga dari tadi. Sakit bukan? Lemes gitu mukanya," tanya Uci perhatian dengan kuncir kuda khas-nya.
"Jangan-jangan efek squat jump 50 kali itu, ya?" duga Sofi.
"Bukan. Cuma lemes belum sarapan. Ke kantin yuk, beli uduk kek atau bubur," usul Amira. Dia tak nafsu makan di rumah karena kepikiran dengan nomor haram yang menghubunginya pagi tadi.
"Aku juga belum sarapan," kata Uci.
"Oh iya, Ra, kenapa nomor kamu gak aktif? Aku chat kamu dari jam 6-an lho, tapi ceklis satu. Di telepon biasa juga gak aktif. Mau minjem sepatu tadinya buat besok pelajaran olahraga," kata Sofi sambil merapikan rambutnya dengan sikap centil.
"Oh, itu -"
Perkataan Amira seketika terhenti saat melihat di dalam kantor, Tristan dengan seragam gurunya sedang memperhatikannya bulat-bulat. Tumben sekali dia datang pagi-pagi. Bola mata ambernya itu tampak mengamati obrolan Amira dan dua temannya, seolah penasaran juga dengan apa yang Sofi tanyakan.
Ya ampun, aku lupa sama si mesum itu. (Batin Amira)
"Ehem, itu HP aku mati gara-gara lupa gak dicharger semalem. Sekarang juga belum aku nyalain. Udah yuk, ke kantin. Aku merinding di sini, kayak ada yang merhatiin tapi gak ada wujudnya gitu, hiiihhh seremm...!" Amira menggiring paksa teman-temannya ke kantin untuk menghindari tatapan menusuk Tristan.
Setelah menghubungi Amira pagi tadi, seperti janjinya sendiri 5 menit akan menghubungi Amira kembali untuk membangunkannya. Namun, belum ada 5 menit, Tristan mencoba menghubungi Amira lagi. Dan anehnya nomor Amira sibuk saat ditelepon.
Tristan coba hubungi lagi, barangkali kesalahan sinyal. Tapi ternyata nomor Amira lagi-lagi sibuk. Tristan kembali mencoba dan masih tetap sama, sibuk.
Tristan mengirimkan pesan padanya, 'Sedang teleponan dengan siapa?'
Namun, Amira tak membalas pesannya.
Tristan membiarkannya dulu beberapa saat, lalu dia coba hubungi Amira lagi dan saat itu nomornya malah tidak aktif.
Tristan mendengus kesal sambil beranjak bangun dan melangkah pergi dari kantor.
°°°
Saat jam istirahat, di mana Amira tengah makan siang dengan teman-temannya di kantin, dia mendapatkan sebuah pesan baru. Setelah diperiksa, ternyata pesan itu dari nomor haram sebelumnya.
'Kenapa menghindariku terus? Tidak rindu, kah?'
Itulah isi pesannya.
Selama 2 tahun ini Amira selalu diganggu oleh nomor yang sama, nomor mantan kekasihnya-Reyhan. Amira sudah bergunta-ganti nomor sampai puluhan kali, tapi entah dari mana Reyhan selalu bisa mendapatkan nomornya.
'Ra, aku ada kabar baik. Angkat telepon!'
Isi pesan kedua yang muncul.
Tidak lama, ponsel Amira berdering. Reyhan benar-benar menghubunginya. Amira sedikit terkejut ketika melihat Tristan dan Damar yang sedang mengobrol memperhatikannya dari lantai dua gedung Sekolah, tepatnya di depan ruang komputer sambil menyesap secangkir kopi.
Tatapan Tristan saat memandangnya terlihat dingin dan misterius. Dia menyimpan banyak tanya dari sorot matanya.
Amira buru-buru menyetel mode silent untuk ponselnya dan memasukan ponsel itu ke dalam saku seragam. Dia berpura-pura berbaur dengan Uci dan Sofi sambil diam-diam melirik Tristan.
Di saat itu, Tristan mengeluarkan ponselnya dan menempelkan ponsel tersebut ke telinga, seolah sedang menghubungi seseorang.
Amira berkeringat dingin sambil meremas lutut. Jangan bilang kalau Tristan sedang menghubunginya di saat Reyhan menghubunginya juga.
Entah benar atau tidak, tapi mata Tristan langsung menyipit dan aura disekujur tubuhnya terlihat hitam berkabut.
"Ra?"
"Amira?"
"Woi, Amira!" panggil Uci sambil menepuk bahunya dan seketika membuat Amira tersentak kaget bukan kepalang.
"Kenapa, sih? Aneh banget dari tadi. Jangan-jangan kesurupan kamu?" duga Sofi cemas dengan mulut penuh bakso.
"Ih, amit-amit. Lagi cuci mata ini, liatin pemandangan indah di lantai dua," bisik Amira sambil menggerakkan alisnya, memberi kode.
Uci dan Sofi pun mengikuti arah mata Amira tertuju, mereka menangkap sosok Tristan yang berwibawa dengan wajah datar tanpa ekspresi di atas sana. Ekspresi diam dan tatapan sinisnya saja dapat menggetarkan hati sampai membuat histeris.
"Kyaaa ... Pak Tristan! Kenapa gak bilang dari tadi sih, Ra? Pantes aja kamu ngelamun. Pak Tristan gantengnya gak ada obat sumpah," kata Uci dan Sofi. Mereka mengeluarkan ponsel masing-masing dan saling berlomba memotret Tristan dari sebelah sudut.
Tristan yang merasa risih, memutuskan masuk ke ruang komputer meninggalkan Damar yang sedang tebar pesona pada murid-murid yang meneriaki Tristan.
Amira buru-buru memeriksa ponselnya dan pada saat dia hendak memblokir nomor Reyhan, pesan baru darinya muncul yang mengatakan,
'Aku sudah kembali dan sangat rindu padamu. Sampai bertemu, Amira."
Deg!
....
BERSAMBUNG!!
tp amira tnpa sepengetahuan ibunya dia lnjutin sekolh,,
iya kah thor