menjadi anak pertama dan satu-satu nya membuat aku merasakan kasih sayang sepenuhnya dari kedua orangtua ku terutama ayahku.
tapi siapa sangka, kasih sayang mereka yang begitu besar malah membuat hidupku kacau,,,.
aku harus menjalani hidupku seorang diri disaat aku benar-benar sedang membutuhkan keberadaannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Titik.tiga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
“Yah, kok tadi ibunya Mira titip salam buat Zahra? Emang dulu Ibu dipanggilnya Zahra ya?” tanyaku sambil memandang keluar jendela.
"Lia itu nama panggilan sayang dari orangtuanya, tapi teman-teman ibumu biasanya manggil dia Bunda Aul atau Bunda Zahra," jawab ayahku.
Karena penasaran, aku bertanya lagi, “Kok pakai Bunda?”
"Soalnya ibumu dari dulu bawel, suka ngatur ini itu. Apalagi kalau lagi ada kegiatan kerelawanan, dia pasti yang paling vokal. Nggak ada yang berani bantah, termasuk Ayah... Tapi, meskipun begitu, ibumu yang paling peduli di antara yang lain," Ayah tersenyum saat bercerita.
"Kamu tahu nggak, ibumu itu jago renang loh?" lanjutnya.
"Hah? Seriusan? Masa sih?" jawabku terkejut.
"Iya, serius. Ada videonya kok. Nih, lihat," Ayah mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sebuah video.
"Ini kegiatan apa, Yah?" tanyaku penasaran.
"Kalau nggak salah, ini waktu ada latihan gabungan. Ayah pertama kali ketemu ibumu di situ. Lihat deh, yang pakai kaos oblong hitam itu," kata Ayah sambil menunjuk layar.
"Eh, iya, beneran jago. Tapi kok Ibu nggak pernah ajak Nura renang bareng? Waktu Nura les renang aja, Ibu cuma lihat dari jauh. Kenapa nggak ngajarin langsung, ya?" tanyaku heran.
"Kalau itu Ayah juga nggak tahu. Nanti kamu tanya saja langsung ke Ibumu," jawabnya singkat.
"Keren, tapi kenapa nggak dilanjutin lagi?" tanyaku semakin penasaran.
"Sejak kamu lahir, Ayah sama Ibu mutusin buat fokus ngurus kamu. Tapi, kadang-kadang masih renang kok, cuma nggak sering seperti dulu," jawabnya dengan nada lembut.
"Yah, kenapa sih sampai segitunya? Nura penasaran. Meski Ayah sudah cerita, tetap aneh aja rasanya. Apalagi Ibu sampai berhenti juga. Emangnya ada kejadian apa?" tanyaku dengan nada penuh rasa ingin tahu.
Ayah terdiam sejenak, menghela napas panjang, lalu berkata dengan senyum tipis, "Ayah nggak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya. Dulu, waktu Ayah dan Ibu sedang pergi, Ayah dapat kabar kalau kamu jatuh terpeleset dan hanyut. Kamu sempat koma selama seminggu. Sejak itu, Ayah nggak pernah mau ninggalin kamu lagi," ucapnya sambil mencium kepalaku.
Tanpa sadar, air mata Ayah jatuh membasahi rambutku.
"Maafin Nura, Yah... Nura nggak maksud. Nura sayang Ayah," ucapku sambil memeluknya erat. Tak pernah kusangka akan melihat Ayah menangis. Selama ini, Ayah selalu tampak kuat.
Sakit rasanya melihat Ayah sedih seperti itu.
Sepanjang perjalanan, aku terus memeluknya hingga tanpa sadar tertidur di bahunya.
Singkat cerita, kami tiba di terminal. Aku dan Ayah langsung menuju sebuah angkot yang sedang ngetem. Sebelum naik, Ayah dihampiri seorang laki-laki seusia denganku. Ia tiba-tiba menyalami Ayah dengan penuh hormat.
Aku hanya bisa diam, bingung.
"Siapa itu, Yah?" tanyaku.
"Murid ibumu dulu, waktu masih jadi pengajar," jawab Ayah singkat.
"Ooh..." jawabku tak banyak bicara.
Sekitar 20 menit kemudian, kami sampai di rumah. "Assalamualaikum... Buuu, Nura pulang," seruku.
"Waalaikumsalam... Eeeeh, sayaaang, anak Ibu! Kangen!" jawab Ibu sambil memelukku erat.
Setelah itu, Ibu mencium tangan Ayah sebelum kembali memelukku dan membawaku ke ruang santai.
"Ayah mandi dulu ya, nggak enak badan, keringetan," ucap Ayah, lalu berjalan menuju kamar mandi.
“Bu, Bu, tahu nggak orangtua Mira itu siapa?” tanyaku penuh semangat.
"Emangnya siapa, Sayang? Kok kamu heboh gitu?" jawab Ibu balik bertanya.
"Tunggu, Nura sempat foto kok. Ibu pasti kaget," ucapku sambil menunjukkan foto yang kuambil.
Saat Ibu melihat foto itu, benar saja, seketika ia menjerit, antara bahagia dan sedih. Ibu langsung memelukku lagi. Bahagia karena bisa melihat sahabat lamanya, tapi sedih melihat kondisi sahabatnya yang sedang sakit.
Ibu lalu bertanya tentang keadaannya, dan aku pun menjelaskan.
Sambil menunggu Ayah selesai mandi, aku banyak bertanya pada Ibu, termasuk soal Ibu yang dulu juara renang.
"Bu, jangan marah ya, tapi Nura mau tanya... Kenapa sih Ibu nggak pernah ngajarin Nura renang?" tanyaku penasaran.
"Iyaa, karena Ibumu ini nggak bisa berenang, Sayang. Ibu takut air," jawabnya sambil tersenyum.
"Ih, bohong! Katanya nggak boleh bohong. Kok Ibu bohong sih? Nih buktinya apa?" ucapku sambil menunjukkan video latihan gabungan.
Melihat video itu, ekspresi Ibu langsung berubah. Tatapannya kosong, wajahnya tak lagi tersenyum, dan tiba-tiba air matanya menetes.
Melihat Ibu seperti itu, aku langsung mengambil ponselku kembali dan memeluknya erat sambil meminta maaf.
"Maafin Nura, Bu. Nura sayang Ibu," ucapku penuh penyesalan.
"Hmmmm... Yuk, Ibu mau tunjukin sesuatu," jawabnya pelan.
Ibu pun membawaku ke sebuah ruangan di dekat dapur. Rupanya, tempat yang selama ini aku kira hanya tempat menyimpan peralatan dapur, sebenarnya adalah sebuah pintu menuju ruangan lain. Aku tak pernah menyangka rumah kami memiliki ruangan tersembunyi.
Cara membuka pintu itu cukup unik. Ibu menarik sebuah benang yang ada di bawah wastafel. Begitu ditarik, pintu pun terbuka.
"Ruangan apa ini, Bu? Kok Nura baru tahu," tanyaku penasaran.
Ibu hanya tersenyum lalu masuk ke dalam ruangan tersebut. Setelah menyalakan lampu, aku tertegun melihat isinya. Banyak sekali foto dan medali menghiasi dinding ruangan itu. Beberapa piala tersusun rapi di lemari yang berada di atas meja kerjanya. Ibu kemudian membuka slot yang menempel pada dinding. Sekali lagi, ibu menunjukkan kepiawaiannya. Di ruang sempit ini, dia membuat sebuah sofa lipat yang juga menempel di dinding.
Rasa penasaranku semakin memuncak. Kutepuk dindingnya, ternyata bukan tembok melainkan terbuat dari triplek atau semacamnya.
Ibu mengajakku duduk di sofa itu. Tak ada kata yang bisa kugumamkan selain rasa kagum. Ibu mengambil sebuah kotak, membukanya, dan di dalamnya terdapat album bertuliskan *Kenangan Masa Lalu*.
"Mungkin sudah saatnya ibu menunjukkan ini padamu. Apapun reaksimu nanti, ibu harap kamu tidak membenci ibu," ucapnya lembut sambil tersenyum.
Saat ibu berbicara begitu, hatiku langsung terbesit pikiran, *Jangan-jangan aku bukan anak kandungnya. Kalau benar, lalu siapa orang tua asliku?*
Aku mulai membuka album tersebut. Di bagian awal, ada lima foto ibu saat merayakan ulang tahunnya bersama kakek dan nenek. Lalu, foto-foto ibu semasa sekolah. Semuanya terlihat normal sampai akhirnya di tengah album ada tulisan besar: *Aku Tak Ingin Anakku Seperti Aku*. Saat membaca itu, aku memandang ibu. Dia hanya tersenyum, seakan mengisyaratkan aku untuk terus membuka album tersebut.
Ketika membuka halaman berikutnya, aku langsung terkejut. Ada foto ibu menenteng kepala manusia yang berlumuran darah, sementara wajahnya juga berlumuran darah. Seketika aku merasa mual, hampir muntah.
Semakin kulanjutkan, semakin mengerikan foto-foto itu. Ada sekitar 14 halaman penuh dengan foto ibu yang tampak kejam, dengan tatapan tajam penuh dendam. Aku tidak sanggup lagi melihatnya dan segera menutup album tersebut.
"Apa maksudnya ini, Bu? Ibu bukan pembunuh, kan?" tanyaku gemetar.
Ibu hanya tersenyum dan menutup matanya sejenak. Dengan napas panjang, dia berkata, "Kalau saja bukan ayahmu yang menahan ibu waktu itu, mungkin ibu sudah tidak ada sekarang."
"Maksudnya?" tanyaku semakin bingung.
Ibu menyuruhku membuka kembali album itu. "Lihatlah sampai akhir, kamu akan tahu apa yang sebenarnya terjadi," katanya sambil bersandar lemas.
Dengan enggan, aku membuka kembali album tersebut. Gunung, hutan, rawa, sungai, dan laut menjadi latar belakang dari semua foto-foto berdarah ibu. Beberapa foto menunjukkan ibu menggendong anak kecil yang kotor dan berdebu. Sampai di satu foto besar, terlihat ibu tergeletak dengan pisau tertancap di perutnya. Aku langsung menatap ibu dengan kaget.
Sebelum sempat bertanya, ibu dengan tenang membuka kaosnya dan memperlihatkan bekas luka di perutnya. Saat kuamati lagi album itu, ada secarik kertas dengan bekas tetesan darah dan sebuah foto yang distaples.
"Cukup, Tuhan... jangan lagi Kau ambil nyawa teman-temanku. Kalau Engkau butuh nyawa, ambil saja nyawaku. Aku ikhlas... Tolong, Tuhan, aku mohon... Sampai kapan Engkau akan merenggut kebahagiaanku? Tuhan, kembalikan sahabatku, aku mohon. Biarkan aku saja yang menggantikan posisinya..."
Tulisan itu menutup kisah yang tersimpan di album tersebut. Di bagian belakang album, terpajang foto ibu sedang menggendongku, ditemani ayah, dengan caption *Terima kasih, berkat kamu, aku bisa kembali hidup. Dan karena kamu, aku kuat menjalani hidup*.
"Bu, aku masih belum mengerti... Foto ibu berlumuran darah itu, apa ibu pembunuh?" tanyaku lagi, cemas.
"Bukan, sayang. Itu foto-foto saat ibu bertugas bersama ayahmu sebelum menikah," jawab ibu sambil mencubit pipiku.
"Ih, bikin takut aja! Terus, luka itu?" tanyaku lagi.
"Yang ini? Ibu hampir frustasi waktu gagal menyelamatkan sahabat ibu yang tenggelam. Pisau yang ibu bawa saat itu tumpul, jadi ibu kesulitan memotong jala yang melilit tubuh sahabat ibu. Karena lama, dia tidak tertolong."
"Tapi kenapa ibu sampai mau bunuh diri?" tanyaku dengan bingung.
"Itu karena ibu merasa bersalah. Kalau saja pisau itu tidak tumpul, sahabat ibu pasti selamat. Selain itu, ibu merasa bersalah pada ayahmu, karena sahabat ibu itu adalah tunangan ayahmu. Dua bulan lagi, mereka akan menikah. Ayahmu benar-benar terpukul. Sikap diamnya membuat ibu semakin merasa bersalah, sampai akhirnya ibu nekat melakukan itu," cerita ibu dengan lembut.
"Apa itu alasan ibu menikah dengan ayah?" tanyaku lagi.
"Lebih tepatnya, karena kebaikan ayahmu. Selama di rumah sakit, ayahmu yang menemani ibu. Dia bahkan rela menjual cincin dan perhiasannya untuk biaya perawatan ibu. Bukan hanya itu, ayahmu tetap sabar meski orang tua ibu marah dan mengusirnya. Setelah kejadian itu, ibu tidak pernah bertemu ayahmu lagi sampai suatu hari ibu ziarah ke makam sahabat ibu dan melihat ayahmu di sana."
"Satu hal yang ibu tidak akan pernah lupa adalah ketika ayahmu berkata, 'Tamparan ayahmu memang sakit, tapi kematianmu lebih menyakitkan. Jadi, kalau kamu ingin mati, ajak aku. Percuma aku hidup kalau tidak bisa menjagamu.'"
Aku tertegun mendengar cerita ibu. "Terus, bagaimana akhirnya ibu menikah dengan ayah?"
"Waktu itu, ibu hampir tenggelam lagi. Ada seorang ibu berteriak meminta tolong karena anaknya tenggelam. Ibu langsung melompat untuk menyelamatkannya, tapi ibu terbawa arus dan pingsan. Setelah sadar, ibu diberitahu kalau ibu diselamatkan oleh seorang laki-laki dengan bekas jahitan di kakinya. Ternyata, itu ayahmu."
Ibu tersenyum mengingat kenangan itu. "Sejak saat itulah, ibu jatuh cinta pada ayahmu, dan akhirnya, kami menikah dan memiliki kamu."
"Wow, aku tidak menyangka, ayah sangat mencintai ibu," ucapku sambil memeluknya erat.
"Terima kasih, Bu, untuk semuanya. Nura sayang ibu..." tambahku, masih memeluk ibu.