Berjuang sendirian sejak usia remaja karena memiliki tanggungan, adik perempuan yang ia jaga dan ia rawat sampai dewasa. Ternyata dia bukan merawat seorang adik perempuan seperti apa yang dirinya sangka, ternyata Falerin membesarkan penghianat hidupnya sendiri.
Bahkan suaminya di rebut oleh adik kandungnya sendiri tanpa belas kasihan, berpikir jika Falerin tidak pernah memperdulikan hal itu karena sibuk bekerja. Tapi diam-diam ada orang lain yang membalaskan semua rasa sakit Falerin. Seseorang yang tengah di incar oleh Faldo, paparazi yang bahkan sangat tidak sudi menerima uangnya. Ketika Faldo ingin menemui paparazi itu, seolah dirinya adalah sampah yang tidak pantas di lihat.
Walaupun Falerin terkesan selalu sendiri, tapi dia tidak sadar jika ada seseorang yang diam-diam melindunginya. Berada di saat ia membutuhkan pundak untuk bersandar, tempat untuk menangis, dan rumah yang sesungguhnya. Sampai hidupnya benar-benar usai.
"Biarin gw gantiin posisi suami lo."
Dukungannya ya guys
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angel_Enhy17, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⋇⋆CHAPTER 5 : THE TRAITOR⋆⋇
Sebuah tamparan keras melayang di pipinya, seketika hanya rasa panas dan perih yang ia rasakan sekarang. Perempuan itu hanya terdiam di sana tanpa melakukan apa pun, memangnya apa yang harus ia lakukan di situasi seperti ini? Tidak ada, tidak ada yang membelanya bahkan di saat dirinya yang sakit hati di sini. Ibunya bahkan membela perempuan itu dari pada dirinya, orang-orang bilang jika seseorang yang lebih berjasa akan mendapatkan pembelaan lebih banyak. Tapi sepertinya hal itu tidak akan pernah berlaku di keluarganya.
"Kamu menampar adik mu?" Bahkan ketika ia sama sekali tidak melakukan hal itu, ia hanya berteriak tanpa bermain tangan sama sekali.
Dia hanya diam, karena ia tahu lawannya siapa. Bukan karena takut, melainkan ia hanya khawatir dengan kesehatan ibunya yang memburuk. Falerin tidak berharap mendapatkan sebuah pembelaan, ia hanya mau keadilan di dalam kehidupannya yang sudah memuakan.
"Gak, aku gak pernah nampar dia sama sekali. Aku mengusirnya, itu benar. Karena aku gak mau lihat wajahnya-"
Lagi-lagi tamparan yang ia dapatkan, ucapannya yang membenarkan situasi saat itu. Falerin hanya diam, itu yang bisa ia lakukan agar tidak memperburuk situasi sekarang. Dan sekarang, ia hanya akan mengutuk seseorang. Rumi, adiknya sendiri yang dia besarkan dengan segala kerja kerasnya. Bahkan ia harus menyamping kan pendidikannya yang bahkan lebih penting tapi dia melewatkan itu. Sekarang apa yang dia lakukan kepada Falerin? Hanya sebuah penghianatan yang tidak akan pernah Falerin lupakan.
Wanita itu menatap tajam ke arah kamar yang tertutup, di sana suara tangisan Rumi terdengar seperti drama di televisi. Falerin menata penampilannya agar tidak terlihat kacau, bahkan makanan yang ia bawakan khusus untuk ibunya sudah tercecer di atas lantai. Falerin memungut semua itu, dan dia membawanya kembali.
"Aku ke sini untuk berkunjung, bukan untuk mencari validasi. Jika ibu membelanya itu tidak salah untuk ibu, tapi aku akan menekankan ucapan ku. Aku tidak akan pernah menolong siapa pun ketika dia sudah mengkhianati ku. Dengan apa yang sudah aku lakukan selama ini bagi kalian tidak pernah cukup, maka bolehkah kalau aku yang menghentikan semua ini?"
"Apa maksudmu, Erin? Kamu mau memutuskan hubungan dengan ibu? Hanya karena membela adikmu? Kamu terus mengatakan itu-"
"Dan kali ini aku akan melakukannya. Tapi tenang saja, tanggung jawab ku akan tetap aku lakukan. Semua kebutuhan ibu akan aku penuhi sampai kapan pun, tapi jangan berharap dengan dia. Dia sudah ada yang menanggung, jadi untuk apa aku membiayai hidupnya lagi, benarkan Rumi?"
Di dalam kamar Rumi terkejut, terdiam di sana karena ucapan kakaknya yang terdengar cukup jelas. Perempuan itu membuka pintu kamarnya, memperlihatkan keadaannya yang kacau di depan kedua wanita di depannya.
"Kakak tidak menganggap aku lagi?" Falerin tersenyum sinis, dia tidak mau melihat wajah penuh drama itu.
"I thought you were as smart as your boyfriend said you were, but you're stupid." Falerin menaruh kartu kreditnya, di sana memang hanya bisa untuk mengakses beberapa saja dan sisanya tidak akan bisa di akses.
Di sana wanita yang memiliki dua anak perempuan itu tertegun, dia menatap ke arah anak pertamanya yang nampak tidak menatapnya lagi. Sepertinya dia sudah enggan, sekaligus muak dengan apa yang sudah terjadi selama ia berada di rumah itu. Tidak salah jika Falerin membeli rumah pribadi setidaknya untuk memenangkan dirinya sendiri, di situasi yang paling ia benci.
"Ibu bisa berbelanja dengan uang itu, tapi tidak bisa di akses oleh beda tangan. Aku mendesain kartu itu dengan sidik jari ibu, jangan khawatir tentang itu. Setelah ini, aku tidak akan berkunjung lagi. Itu yang ibu mau bukan? Aku akan kabulkan itu." Falerin pun beranjak pergi dari sana, membawa makanan yang bahkan sudah tidak berbentuk dan itu sama seperti hatinya saat ini.
Di saat tidak ada yang membelanya sama sekali. Ia seperti benar-benar sudah sendirian di dunia ini, di saat itu Rumi mengejar Falerin dan hendak menahan kepergian kakak perempuannya. Tetapi, dengan cepat Falerin menepis tangan adik perempuannya itu dengan kasar.
"Kakak-"
"Don't call me that, lo udah gak berhak." Falerin melanjutkan langkahnya pergi dari rumah itu, dengan hati yang sudah benar-benar hancur.
...♡♡♡...
Di sana, perempuan itu benar-benar sendirian. Entah kenapa rasanya kekosongan di dalam hidupnya sepertinya akan bertambah, ia memang puas dengan reaksi publik kepada adik perempuannya itu. Hanya saja tidak cukup, karena dia sudah benar-benar menghancurkan hidupnya dengan sangat penuh.
"Permisi? Nyonya maaf mengganggu anda?"
Falerin hanya diam saja sampai karyawannya itu masuk ke dalam ruangannya tanpa melihat keadaannya sekarang karena Falerin duduk membelakangi karyawannya itu. Ia tidak mau, ada yang mengetahui kondisinya yang sekarang ini, terlalu menyedihkan.
"Katakan,"
"Besok adalah final mini album Harka. Apakah anda ingin memeriksanya lagi?" Falerin melihat-lihat file yang belum sempat ia lihat, ternyata semuanya sudah selesai.
"Lakukan saja yang terbaik, aku akan melihat hasilnya nanti. Kamu bisa pulang sekarang, jangan pulang terlalu larut," perempuan itu, selalu karyawan di sana mengangguk mengiyakan ucapan atasannya itu.
"Terimakasih nyonya, saya undur diri. Selamat malam,"
"Hm... " Falerin kembali mengabaikan semuanya, ia memeriksa filenya walaupun suasana hatinya tengah tidak baik. Setidaknya ia berusaha menjadi profesional menjadi seorang pendiri perusahaan entertainment itu.
Di sana dia beranjak dari tempat duduknya dan masih membawa makanan yang sudah berantakan di tangannya itu. Ketika ia keluar dari gedung itu, tiba-tiba saja seseorang merebut kantung makanan di tangannya dan membuangnya ke tempat sampah. Sempat Falerin akan marah di saat itu juga, berpikir akan memukul orang itu dan kenyataannya tangannya tertahan oleh seseorang.
"Kamu?"
Harka melepaskan tangan Falerin dengan perlahan, dia sebenarnya tidak bermaksud membuang benda yang terus di bawa Falerin dari luar gedung. Hanya saja makanan yang bahkan sudah tidak berbentuk itu, pantas di buang.
"Kenapa belum pulang? Membawa makanan yang sudah jatuh, buat apa?" Harka sebenarnya sudah merasa tidak ada yang beres dengan direkturnya itu. Tapi dia mencoba bersikap biasanya saja, apa lagi sekarang mereka berdua bisa saja tertangkap oleh paparazi yang berkeliaran di sekitarnya.
"Aku akan mengantar mu pulang, sudah malam dan hujan deras. Kamu tidak bisa berkendara dengan mata bengkak seperti itu, nona... " Harka menunjuk kedua mata Falerin, yang bahkan tidak bisa membohongi pria itu.
Falerin langsung mengusap matanya, ia bersikap tetap angkuh walaupun sudah ketahuan menangis dengan jangka waktu yang lama. Perempuan memang begitu ya?
Harka tidak memikirkan itu, hujan memang deras dan anginnya bahkan tidak bisa di prediksi akan berapa lama. Jadi dia akan mengantar Falerin ke rumah, entah rumah mana yang akan jadi tujuan wanita itu nantinya. Keduanya berjalan sampai mobil milik Harka terlihat di sana, seperti niat awalnya akan mengantar Falerin.
Tapi berbeda saat sudah di dalam mobil, Harka tiba-tiba saja fokus dengan bekas merah di pipi kanan wanita itu. Apakah ada orang yang menampar wajah cantik itu tadi? Apakah itu alasannya mengapa Falerin nampak tidak ada senyuman sama sekali sejak tadi?
Harka menghidupkan mesin mobilnya dan mengantar Falerin pulang, seraya ia harus menerjang hujan angin yang tengah menerjang kota mereka sejak tadi. Suasana yang dingin itu begitu menusuk, hanya ada keheningan di antara keduanya. Harka memberikan waktu Falerin untuk merenung, dia pasti membutuhkan itu.
Berselang beberapa lama, mereka sampai dan mobil berwarna merah itu berada di lobby rumah itu. Bukan rumah yang biasanya Falerin buat pulang, melainkan untuk sekedar istirahat ia punya tempatnya sendiri. Di sana Falerin belum turun dari mobil, tapi pintu mobil sudah terbuka oleh Harka.
"Perlu bantuan nona Erin?"