Cerita ini benar karya orisinil Author.
✅️ Bijak dalam membaca
✅️ Mohon saran dan kritik yang membangun
❌️ Tidak boomlike dan lompat bab
Uswa wanita yang penuh luka, menemukan secercah cahaya dalam sorot mata Hanz, seorang nahkoda yang ia temui di dermaga.
Gayung pun bersambut, bukan hanya Uswa yang jatuh hati, namun Hanz juga merasakan getaran kecil di hatinya.
Seiring berjalannya waktu, rasa di antara keduanya semakin besar. Namun, Uswa selalu menemukan ketidakpastian dari kegelisahan Hanz.
Uswa pun terjebak dalam penantian yang menyakitkan. Hingga akhirnya, ia dipertemukan oleh sosok Ardian, pria yang berjuang untuk Uswa.
Lantas, kisah mana yang akan dipilih Uswa?
Tetap menanti Hanz yang perlahan memulihkan luka, namun selalu berakhir dengan ketidakpastian?
Atau membuka lembaran baru bersama Ardian yang jelas memiliki jawaban yang sudah pasti?
Ikuti kisah dan temukan jawaban Uswa pada cerita Senandung Penantian.
Cover by Ig : @desainnyachika
Ig : @oksigentw
TT : @oksigentw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oksigen TW, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Uswa dan Hanz membisu dalam keheningan malam. Setelah berhasil menenangkan Uswa, Hanz mengantar Uswa sampai ke rumahnya, dan berakhir duduk berdua di teras rumah. Malam minggu yang syahdu, ditemani dengan indahnya pancaran sinar rembulan.
Rumah Uswa berada di pinggir jalan utama, hanya berjarak 150 meter dari minimarket. Uswa sengaja memilih kontrakan itu, karena halaman yang luas dan rumah yang tidak terlalu besar, terlebih lagi tidak terlalu jauh dari tempatnya bekerja, hanya memerlukan waktu kurang lebih tujuh menit.
"Kamu tinggal sendiri?" tanya Hanz, memecah keheningan.
"I-iya, Mas." jawab Uswa, tergagap. Ia benar-benar merasa malu pada Hanz. Untuk yang kedua kalinya, Hanz menemukannya dalam keadaan kacau.
Merasa jawaban Uswa terdengar gugup dan canggung, Hanz menatap Uswa dengan penuh kehangatan.
"Kamu jangan merasa malu pada Mas, ya? Mas tidak masalah, Dek. Lagian ...."
'Aku sudah jatuh hati padamu, Uswa.'
Lagi-lagi Hanz hanya mengungkapkan perasaan dalam hatinya. Ia tidak ingin Uswa mengetahui lebih dalam perasaan dan hidupnya.
Mendengar Hanz menghentikan kalimatnya, Uswa terdiam menatap manik indah yang membuatnya jatuh hati. Ia pun berkata, "Kenapa Mas selalu menghentikan kalimatmu, Mas?"
Pertanyaan Uswa membuat Hanz mengalihkan pandangannya. Ia menatap jalanan yang masih ramai. Tatapannya tajam, memancarkan kemisteriusan yang dalam. Uswa pun merasa tidak mampu untuk menyelam lebih dalam, mengarungi sorot indah itu.
"Kenapa setiap pria selalu terdiam, jika mereka terdesak?" Getir senyum Uswa terlukis, menghias wajah yang menyirat luka dalam.
Hanz pun menoleh ke kanan, menatap lekat Uswa yang berada di sampingnya, yang terhalang oleh meja bulat kecil. "Kenapa kamu selalu mengatakan setiap pria? Seakan semua lelaki itu sama di pikiranmu," tutur Hanz.
"Nyatanya seperti itu, Mas. Bahkan itu yang saya dapat dari orang terdekat ..." lirih Uswa, ia menundukkan pandangan, menatap jemarinya yang saling tertaut.
Hanz mengembuskan napas berat. Ia memijat keningnya yang tak sakit. Lirih suara Uswa membuatnya merasa bersalah. Ia pun kembali menatap lekat wanita yang menunduk semakin dalam.
"Lambat laun kamu akan paham kenapa saya diam, Dek. Lagian ... kita masih banyak waktu untuk saling mengenal, bukan?" ujar Hanz, seakan bertanya.
Uswa hanya mengangguk pelan. Ia pun mengangkat pandangan, menatap indahnya rembulan yang semakin tersenyum.
"Dalam waktu yang banyak itu, akankah saya bisa lebih mengetahui tentangmu, Mas?" tanya Uswa, tanpa menatap wajah Hanz.
Pria itu semakin dalam menatap Uswa, yang terpesona oleh indahnya rembulan. Tidak ada suara yang keluar dari bibir keduanya. Diam membisu tanpa kata, hingga Uswa menatap Hanz dengan senyum manis.
"Diammu adalah jawaban, Mas." ungkap Uswa, merasa getir dalam hatinya. Uswa pun mengulas senyum, ia kembali berkata, "Mungkin Mas memang dikirim Illahi Rabbi, untuk menolong saya saat saya terluka."
"Diam ini bukan jawaban, Dek. Lambat laun ... kamu akan mengerti maksud saya," jelas Hanz, terdengar tegas di telinga Uswa.
Uswa terdiam, menatap air muka Hanz. Ia merasa tidak percaya, namun Uswa tidak menemukan sedikitpun gurat kebohongan di sana. Bahkan tatapan Hanz seakan meyakinkan dirinya.
"Baiklah, Mas." Akhirnya Uswa menyerah dengan perdebatan yang pasti tiada jawaban dari Hanz.
Hanz mengulum senyum, mendengar jawaban Uswa yang tidak ikhlas. Ia pun melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. "Sudah pukul 21.50. Mas rasa sudah terlalu larut, sebaiknya Mas pamit. Kamu juga harus istirahat," ujar Hanz, namun terdengar seolah itu adalah perintah.
"Iya, Mas. Terima kasih untuk malam ini," jawab Uswa. Ia menatap Hanz yang sudah bangun dari duduknya. Uswa pun ikut berdiri, ia ingin mengantar Hanz sampai ke pintu pagar.
"Tidak perlu di antar. Kamu langsung masuk. Saya tunggu kamu masuk." perintah Hanz.
"Tapi, Mas ...."
"Dengarkan Mas dan lakukan saja. Jangan terlalu banyak mendebat!"
Suara tegas Hanz membuat Uswa menghentikan kalimatnya. Ia pun langsung membalikkan tubuh, melangkah menuju pintu. Akan tetapi, saat Uswa memutar handle dan mendorong pintu, tiba-tiba suara berat Hanz kembali terdengar.
"Uswa!" panggil Hanz.
Mendengar namanya dipanggil, Uswa pun membalikkan tubuh, menatap Hanz yang sudah berdiri di luar teras. "Iya, Mas?" ucap Uswa.
"Hmm ... besok kamu ada acara?" tanya Hanz, terdengar gugup dan canggung.
"Tidak." singkat Uswa.
"Besok ... hmm ... sekitar pukul 11, Mas jemput kamu. Mas mau ajak kamu makan siang di luar. Apakah kamu bersedia?" tanya Hanz. Tangan pria itu mengepal erat, berniat agar detak jantungnya dapat berdetak normal akibat kegugupannya.
Uswa pun tersenyum, merasakan getar suara kegugupan Hanz. Tidak ada jawaban dari Uswa, wanita itu hanya mengangguk pelan, hingga membuat Hanz melukis senyum bahagia.
"Masuklah!" perintah Hanz, yang langsung dilaksanakan oleh Uswa.
Setelah memastikan Uswa masuk dan pintu telah tertutup, Hanz pun melangkah pergi, meninggalkan perkarangan rumah wanita yang telah mengisi relung hatinya.
...****************...
Sesuai janji Hanz, ia sampai di rumah Uswa pukul 10.50. Ia pun memarkirkan mobil dipekarangan rumah Uswa. Tanpa membuang waktu, Hanz langsung keluar dari mobil, setelah mematikan mesin. Hanz langsung masuk ke teras rumah Uswa.
Sesampainya di depan pintu, Hanz berniat mengetuk pintu kayu yang berwarna cokelat. Namun, saat Hanz mengangkat tangannya, dan hendak mengetuk pintu, Uswa sudah terlebih dulu membuka pintu, hingga menampakkan Hanz yang berdiri dengan wajah terkejut.
"Eh ... ternyata sudah siapan," tutur Hanz, sembari menurunkan tangannya.
"Iya, Mas." jawab Uswa, tersenyum kikuk.
"Kita langsung berangkat?"
Uswa tidak langsung menjawab pertanyaan Hanz. Ia malah mengalihkan pandangan, menatap mobil hitam yang terparkir di halaman rumahnya.
"Eh ... itu, Mas. Maaf, ya ... gimana kalau kita motoran saja?" Uswa bertanya dengan hati-hati, ia tidak ingin menyinggung perasaan Hanz.
"Motoran?" heran Hanz. Ujung alis kanannya pun terangkat.
"Iya. Soalnya saya lebih suka motoran. Hehehe ..." ujar Uswa, menyengir hingga membentuk kerutan di batang hidungnya.
"Cuaca panas, Uswa."
"Memang panas, Mas. Kapan, sih, di Dumai ini nggak panas? Lagian, Mas ... nanti kita jadi lama kalau naik mobil. Seriusan, deh."
Uswa menjelaskan alasan dia tidak ingin naik mobil. Macet dan akan memakan waktu lebih lama. Apalagi jika banyak kendaraan di atas roda empat, itu akan memakan waktu lebih lama.
"Ooh, jadi kamu tidak mau berlama-lama dengan Mas? Atau kamu tidak mau karena ini mobil fasilitas perusahaan?" selidik Hanz, membuat Uswa memutar bola mata dan mengembuskan napas berat.
"Ya sudah, naik mobil saja." jawab Uswa, tidak ingin mendebat Hanz lebih dalam.
Hanz pun tersenyum. Ia merasa gemas melihat ekspresi kesal di wajah Uswa. 'Aku *hanya ingin memberikan kenyamanan untu*kmu,' batin Hanz.
"Kenapa senyum?" dengus Uswa, menatap kesal.
"Karena kamu cantik." jawab Hanz.
"Apa, sih?" Uswa semakin mendengus kesal. Namun, ia tidak bisa menyembunyikan semu merah di wajahnya. Wanita itu tersipu malu. Ia menjadi salah tingkah mendengar jawaban Hanz.
"Kenapa, Dek?" Hanz semakin menggoda Uswa, sembari membungkukkan tubuh, menatap Uswa. Ia semakin dibuat gemas oleh Uswa.
"Jadi berangkat nggak, sih?" kesal Uswa.
"Jadi, Dek. Kamu nggak bawa tas?" tanya Hanz, sembari mengalihkan pandangan ke tangan Uswa.
"Oh, iya. Sebentar, saya ambil tas. Mas tunggu di mobil saja, sekalian saya mau kunci ganda motor dan pintu." ujar Uswa, yang langsung masuk tanpa menunggu persetujuan Hanz.
"Santai saja, jangan buru-buru." ucap Hanz, setengah berteriak, karena Uswa sudah masuk ke dalam kamarnya.
Hanz pun melangkah menuju mobil. Namun, ia tidak menuju ke arah pintu kemudi. Ia malah menuju ke pintu sebelah kiri, tepat di samping jok kemudi, di mana Uswa akan duduk.
Sesampainya di sisi kiri mobil, Hanz bersandar dan menyilangkan tangan di depan dadanya. Ia menengadah, menatap langit yang sangat cerah. Hanz pun menoleh, menatap Uswa yang melangkah ke arahnya.
'Akankah ia tidak terluka dengan penantian yang panjang? Ya Rabb ... kenapa aku jatuh hati, sedangkan aku tidak bisa menjanjikan apapun padanya.'
Pikiran Hanz berseteru dengan batinnya. Ia hanya mampu menghela napas berat, dan kembali tersenyum, menatap Uswa yang telah berada di hadapannya.
'Cantik.' batin Hanz lagi, terpesona dengan pancaran manik mata Uswa.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
...Jatuh hati di saat yang tidak tepat, hanya akan menimbulkan penantian dan kedukaan....
...~Oksigen TW~...
...****************...
berasa jadi TTM