NovelToon NovelToon
Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Lelaki Di Persimpangan Mimpi

Status: sedang berlangsung
Genre:Lari dari Pernikahan / Konflik etika / Selingkuh / Penyesalan Suami / Tukar Pasangan
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: She Amoy

Pernikahan Raina dan Riko menjadi kacau karena kehadiran mantan kekasih Raina. Terlebih lagi, Riko yang sangat pencemburu membuat Raina tidak nyaman dan goyah. Riko melakukan apapun karena tidak ingin kehilangan istrinya. Namun, rasa cemburu yang berlebihan itu perlahan-lahan membawa bencana. Dari kehidupan yang serba ada menjadi tidak punya apa-apa. Ketakutan Riko terhadap banyak hal membuat kehidupannya menjadi konyol. Begitu pun dengan istrinya Raina, Ia mulai mempertimbangkan kelanjutan pernikahan mereka. Masa depan yang diinginkan Raina menjadi berubah.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon She Amoy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ingatan Tentangnya

Krisna—mantan pacarku-- mengirimkan pesan. Laki-laki itu selalu memanggilku dengan sebutan “Cinta”. Setelah enam bulan aku menikah, ia memberi kabar. Aku belum sempat mengirimkan pesan atau meneleponnya sejak pernikahan itu. Kalau dipikir-pikir lagi, apa yang salah dengan kehadiran atau hadiah dari Krisna. Toh, kami tidak melakukan apapun dan tidak memiliki hubungan apa-apa selain pertemanan. Tetapi, karena Riko selalu mengintimidasi dan curiga terhadap semua yang kulakukan, aku enggan menciptakan banyak pertanyaan dipikirannya.

Aku masih ingat ketika Krisna datang di hari pernikahanku dengan Riko.

Sore itu, di bawah pohon Akasia. Kerikil di taman yang asri menemani Krisna duduk dengan segelas kopi. Sesekali ia terbatuk. Sesekali pula ia membuka ponselnya. Aku memandanginya sebentar lalu mencari keberadaan Riko. Ternyata ia sedang sibuk di dapur bersama teman-temannya. Riko rajin sekali memamerkan hasil masakannya. Ia memang seorang pengusaha yang memiliki hobi memasak. Tentu saja, teman-teman yang mengerubuninya itu kebanyakan perempuan sekaligus karyawannya.

Aku tak pernah menyangka, Krisna akan datang pada pesta pernikahan kami. Aku tidak mengundangnya. Jangankan mengundang, menyebutkan namanya pun aku tak berani. Sejak aku mengenal Riko. Aku jarang sekali menghubungi Krisna. Ia sudah menikah, ia sudah bahagia dengan hidupnya.

Tetapi, pernikahanku tidak mungkin disembunyikan. Lima tahun yang lalu, ketika aku bekerja di perusahaan itu. Aku tidak pernah menyangka akan bertemu dengan pria seperti Krisna. Aku pun tak pernah menduga bahwa aku akan terlibat dalam kehidupannya. Ya, lima tahun yang lalu, ketika aku diceraikan oleh suami pertamaku.

Empat tahun bukan waktu yang sebentar. Selama itulah aku bekerja satu perusahaan dengan Krisna. Tentu saja, aku sudah mengenal banyak teman. Karena itulah, Krisna pasti tau tentang pernikahanku. Meskipun sudah satu tahun aku resign. Tapi mengapa Krisna begitu bertekad untuk hadir? Apa dia tidak khawatir masalahnya semakin memburuk. Apa dia tidak takut bahwa kehadirannya akan menjadi bahan gosip di kantornya nanti. Ah, apapun keadaannya. Aku harus bersikap biasa saja. Seolah semuanya sudah selesai. Meskipun sepertinya, perasaan ini masih bersisa.

Aku ke luar menghampiri Krisna. Kusapa dengan sopan selayaknya bawahan dan atasan. Untunglah, teman-temanku belum datang. Sesekali kami tersenyum. Matanya yang tajam, memerhatikan penampilanku hari itu.

“Apa kabar?” katanya.

“Baik. sendirian? Mana teman-teman yang lain?

“Mereka nyusul kayaknya. Aku lagi ada kunjungan ke cabang dekat sini. Jadi, sekalian mampir. Selamat ya, semoga bahagia!”

“Oh iya, makasih ya.”

“Pak, kok kayak yang sakit?” Aku bertanya dengan formal

“Iya nih mungkin kecapean.”

“Hemm … mana suamimu?”

“Eh ya, ada di dalam. Yuk masuk!”

Aku mengajaknya ke dalam, untuk kuperkenalkan dengan Riko. Semoga Ia tak pernah membaca hal-hal aneh dalam bahasa tubuh kami. Tetapi Krisna menahanku. Sebuah amplop diselipkannya ke tanganku. Aku kaget, buru-buru kusembunyikan amplop itu ke saku celananya. Untungnya, gaun panjang berwarna putih itu membantuku menyembunyikan aksi tersebut. Seolah tidak terjadi apa-apa, kami pun kembali berbincang soal pekerjaan. Tak lama kemudian, Riko datang dengan dua piring lasagna.

“Sayang, ini buatmu dan temanmu. Habis kalian makan, kita foto bareng ya!” Begitulah suamiku berbicara. Singkat dan padat. Ya, di depan orang lain, suamiku sangat menjaga martabat dan kehormatan. Ia dipandang sebagai pria ramah yang enak diajak ngobrol. Tidak sedikit teman-temanya yang datang ke rumah. Dari mulai curhat pacar sampai konsultasi pekerjaan atau wirausaha. Kalau [un tidak ada yang datang, Riko seringkali bertelepon dengan teman-temannya. Terkadang aku lelah mendengar dia berbicara. Lelah dengan pembicaraan yang diulang-ulang dan lelah dengan kebohongan-kebohongan. Teman-temannya berusia di bawah Riko. Jadi, tidak heran kalau mereka percaya dengan semua yang Riko katakan.

Sebenarnya acara ini tidak seperti resepsi pernikahan pada umumnya. Konsepnya begitu sederhana. Diselenggarakan di rumah kedua pengantin. Rumah yang akhirnya dikontrakan. Karena tak lama kemudian, kami harus pindah menjaga rumah mertua.

Dari gerbang rumah, lampu-lampu downlight menghiasi tangga ke arah pintu masuk. Dihiasi Bunga putih setiap sisinya. Rumah itu tidak besar, tetapi memiliki halaman yang cukup luas. Di dalam ruang tamu, terpampang foto-foto kedua mempelai. Dua buah kursi yang saling berhadapan, dihiasi backdrop dengan bunga-bunga cantik dan warna-warna pastel. Beberapa meja digelar di ruang keluarga untuk menaruh minuman dan makanan ringan. Sedangkan makanan utama, berada di teras belakang yang menghadap taman dan kolam renang. Untuk ukuranku, rumah itu cukup mewah. Meskipun, kemewahan yang lebih besar sudah sering aku dapatkan di masa lampau. Tetapi kesenangan masa lalu itu hanya ilusi. Justru saat inilah, aku merasa memiliki pasangan secara utuh.

Konsep pernikahan ini tanpa pelaminan. Kedua pengantin bebas berjalan-jalan menghampiri tamu undangan. Di samping kolam renang, Melody Band melantunkan lagu “Close To You”. Band yang cukup terkenal di kota Jakarta itu menemani para tamu menyantap menu Barat dan Sunda. Beberapa keluarga dekat berkumpul di depan penyanyi, seperti sedang mengantre untuk bernyanyi tembang kenangan. Sang pengantin pria pun tak kalah ingin menunjukkan keahliannya dengan membuat hidangan “dadakan”. Tentu saja teman-teman dari pihak mempelai pria begitu antusias melihat pertunjukan tersebut.

Sebelum acara selesai, Krisna pamit. Aku memanggil suamiku dan berfoto bersama. Setelah itu kami mengantar Krisna sampai ke depan pagar.

“Spesial banget ya temanmu itu?” Riko bertanya sambil tersenyum dan merangkulku.

Pertanyaan semacam ini sudah aku perkirakan. Dengan raut wajah yang dipaksakan untuk tenang, aku membalas senyuman Riko.

“Iya dong Mas, Krisna itu pernah jadi atasanku. Dia baik banget, istrinya juga sama baik banget. Aku banyak berhutang budi sama Pak Krisna.”

“Oh, kamu kenal istrinya juga?” Ada nada tidak percaya dalam pertanyaan suamiku itu.

“Ya, beberapa kali kami sempat ketemu dan ngobrol. Istrinya lumayan aktif setiap ada acara-acara kantor yang melibatkan keluarga.

Duh, kenapa aku jadi menjelaskan panjang lebar. Cukup-cukup. Semakin banyak penjelasan, semakin banyak yang ditutupi

“Oh gitu. Ya udah, aku gabung lagi sama temen-temen ya. Kamu, mau join?”

“Enggak Mas, aku mau nemenin ibu sebentar, siapa tau dia butuh sesuatu.”

“Oh oke!”

Aku merasa, ajakan Riko itu hanya etika semata. Sebuah basa-basi yang kerap kali ia dengar. Nama baik dan kehormatan. Ya, sekali lagi itu adalah prioritas utama bagi Riko. Secara tersirat, Aku dapat melihat bahwa Riko sangat senang ketika berkumpul dengan teman-temannya tanpa kehadiranku. Tetapi Aku tidak keberatan, karena aku juga memiliki teman-teman yang tidak satu frekuensi dengan Riko. Sambil melihat situasi sekeliling, Aku pergi ke kamar. Aku baru ingat, amplop yang diberikan Krisna, masih terselip di balik gaunku.

Sebuah amplop berwarna coklat yang cukup tebal kubuka dengan hati-hati. Lembaran merah memenuhi amplop tersebut, terselip sebuah kertas berwarna putih. Sebuah surat dari Krisna.

“Cin, aku minta maaf ga bisa kasih hadiah yang layak. Dan maaf juga karena aku kasih cash, kalau transfer, kamu paham kan resikonya seperti apa. Gunakan uang ini baik-baik untukmu dan anakmu.

Cinta, selamat menempuh hidup baru ya. Semoga rukun selalu dengan suamimu. Aku lihat kamu semakin cantik dan bersih.

Oh ya, bulan depan ada perjalanan dinas ke Cina. Kamu mau oleh-oleh apa? Kabari aku ya.

Doain aku juga semoga selalu sehat ya Cin!”

Uang yang diberikan Krisna kusimpan baik-baik. Tentu saja, aku tidak membagikan cerita ini dengan siapapun. Ada ruang khusus dalam hati ini yang tak dapat disentuh pasanganku sekalipun. Uang itu untuk dana darurat, jika terjadi sesuatu padaku atau anakku. Baru akan kugunakan uang ini. Krisna begitu pengertian dengan kondisiku saat ini yang sudah tidak bekerja lagi. Padahal ia tahu, Riko dan keluarganya cukup mapan untuk menanggung hidupku dan anakku.

Tamu-tamu sudah pulang. Termasuk keluarga Riko. Kecuali ibu dan anakku. Rasanya lelah, melayani keluarga Riko yang lumayan banyak berkomentar. Sebenarnya mereka baik, hanya saja … ah nanti saja kuceritakan. Aku masih kaget dengan kehadiran Krisna. Ingin rasanya menelepon sekadar mengucapkan terima kasih. Tetapi hal itu tidak mungkin kulakukan sekarang.

Ibu dan anakku pulang diantar supir. Padahal aku masih ingin mereka tinggal di sini. Tetapi sepertinya Riko keberatan. Mungkin dia tidak ingin malam pertama kami diganggu oleh siapapun.

Dan kami pun melalui malam pertama seperti pengantin baru pada umumnya.

Sejak menikah, sifat cemburu Riko malah bertambah. Semua daftar teman yang ada di kontak ponsel, facebook, instagram, semuanya ditanya satu-persatu. Jangankan yang berjenis kelamin laki-laki, teman perempuan pun, jika intens berkomunikasi denganku, pasti ditanya ini itu.

Dulu, aku merasa kecemburuan Riko adalah tanda cinta. Tapi aku salah, aku mulai merasa ini berlebihan. Terlebih lagi, aku juga baru tahu ternyata di dalam hidupnya, banyak yang ia sembunyikan.

Kulihat Riko sedang asik bertelepon dengan temannya. Aku bergegas ke kamar mandi, mencoba mencari cara untuk menjawab pesan dari Krisna.

Hai, Cin! Kabar aku baik. Makasih ya hadiah pernikahannya waktu itu. Aku baru sempet balas setelah berbulan-bulan.Oh ya, Cinta sehat?

Kukirimkan balasan, berharap Krisna segera membalas kembali. Tetapi sudah lima menit aku tunggu, belum ada juga pesan masuk. Uang dari Krisna sebagai hadiah pernikahan, kutitipkan di rekening Ibu. Aku bilang untuk dana darurat, takut terpakai. Jumlahnya 30 juta. Sampai saat ini, aku belum menyentuh uang itu sedikit pun.

Drrt…drrrt…

Ponselku bergetar. Aku membuka pesan dengan tergesa.

"Aku sakit Cin, doain ya, mungkin kecapean karena baru pulang dari China. Oh ya, ini ada oleh-oleh aku kirim ke alamat mana ya?"

Sejenak aku berpikir. Tidak mungkin Krisna mengirimkan oleh-oleh itu ke sini. Pertanyaan dari Riko pasti banyak. Aku masih ingat, waktu itu teman kantor lama yang kebetulan laki-laki, memberikan hadiah pernikahan berupa gelang giok dari Bangkok. Tentu saja, hal itu membuat Riko curiga dan berpikir ada hubungan istimewa di antara kami. Sampai aku harus menelepon di depan Riko dan bertanya pada Riki (temanku itu), alasan apa yang membuat dia memberikan kado tersebut.

“Ya Gue iseng aja Beb, kebetulan lagi outing ke Bangkok, eh pas jalan-jalan liat itu bagus. Ya udah deh Gue beli!” Dengan santainya, Riki menjawab pertanyaanku. Ponsel itu sengaja ku loudspeaker agar Riko mendengar.

Bagi Riko, mungkin gelang itu dirasa mahal sehingga tidak mungkin seorang teman memberikan barang semahal itu secara cuma-cuma. Ia tidak tahu, kalau di lingkaranku, harga gelang itu biasa saja. Ia selalu berpikir, bahwa dirinyalah yang paling mampu. Perempuan yang dinikahinya ini, hanya janda sederhana tanpa pergaulan dan wawasan apa-apa.

“Cin, kirim ke alamat ibu aja di Bogor ya, makasih!” Aku menuliskan alamat ibu cepat-cepat. Kuhapus riwayat pesan tadi. Kusimpan ponsel itu lalu pura-pura tertidur. Ada langkah Riko yang kudengar mendekati pintu. Lalu dia masuk seperti polisi yang akan menangkap pelaku kejahatan.

Brakk! Pintu kamar dibuka dengan kasar. Aku tahu, ia menatap ke arahku yang sedang berbaring menghadap jendela. Tak ada kelemah lembutan dalam sikapnya kecuali jika dia berbuat salah. Itu pun hanya minta maaf dan mengulangi kesalahan di hari-hari berikutnya. Ah, semoga dengan kehadiran anak kami nanti, Riko sedikit berubah.

“Na … Raina!” Riko mengguncangkan tubuhku. Maksudnya dia ingin membangunkanku. Aku pura-pura terbangun dengan menggeliatkan tubuh ini. Masih malas rasanya, melihat wajah Riko sejak urusan utang dan adik mantan terkuak. Pantas saja selama ini dia curigaan. Justru dia sendiri yang melakukan banyak kebohongan.

“Kenapa?” Tanyaku sambil menyipitkan mata. Seolah-olah kantuk itu belum mereda.

“Minggu depan kita pindah ya, panggil aja satpam depan yang bisa disuruh buat bantu-bantu. Nanti aku bayar upahnya!”

Untuk mengatakan hal yang tidak penting dan bisa ditunda itu, Riko bisa seenaknya membangunkanku. Apa dia tidak berpikir kalau istrinya yang sedang hamil itu butuh istirahat. Untungnya aku hanya pura-pura tidur.

Aku memasukan barang-barang ke dalam kardus besar. Kususun kardus itu di ruang depan bersama Mang Wawan, satpam komplek yang lumayan sering kami suruh. Selama ada yang bisa disuruh, Riko tidak mau mengerjakan hal-hal seperti itu. Dia selalu sibuk dengan ponsel, rokok, dan segelas kopi.

Tibalah hari itu. Hari dimana kami semua pindah ke rumah Eyang. Keluarga Riko menyambut kami dengan senang. Awalnya, Eyang putri tidak terlalu antusias dengan kehamilanku. Tapi hari ini sepertinya eyang lebih perhatian.

Kami menempati kamar yang cukup luas di atas. Satu set tempat tidur dengan lemari dan meja rias, ditambah gorden berwarna ungu tua yang menghiasi jendela, menambah manis dekorasi kamar itu. Sebelum kami pindah, kamar itu selalu digunakan Ima dan suaminya kalau mereka menginap di sini.

Aksa sendiri diberikan kamar yang layak di samping kamarku. Kamar yang lebih baik daripada kamar gudang di rumah kami yang dulu. Ia pernah bilang kalau sebenarnya, ia masih ingin tidur bersamaku dan Riko. Aku memberikan pengertian kalau Aksa sudah besar dan harus belajar tidur di kamar sendiri. Ada kesedihan di matanya, tetapi ia hanya diam dan mengikuti kata-kataku.

Perabotan yang kubawa, disusun rapi di dalam gudang oleh pembantu rumah itu. Sedangkan sofa dan beberapa perabot besar lainnya, diletakkan di balkon atas yang cukup luas. Kami sibuk bebenah, termasuk Riko. Tumben, batinku.

Setelah semuanya selesai, kami makan malam bersama dengan lauk yang banyak. Ria mengambilkan nasi ke dalam piring untuk suaminya. Eyang sibuk menyajikan air putih untuk semua keluarga. Tak lupa tissue, kobokan, dan tusuk gigi, diletakkan di atas meja makan berwarna coklat tua. Para lelaki di rumah ini; eyang kakung dan Yadi suaminya Ria, duduk menunggu dengan manis di kursi makan. Rupanya, begini kebiasaan keluarga Riko yang semakin jelas kulihat. Para lelaki dilayani oleh perempuan. Para perempuan melayani dirinya sendiri.

“Anakmu kasih makan dulu, Na!” Eyang menegurku karena aku sudah mengambil nasi dan lauk. Aku melihat Ria duduk di ruang TV, sedang menyuapi anak semata wayangnya.

“Aksa biasa makan sendiri kok Eyang,” sahutku.

“Oh gitu. Tapi enggak akan bener itu. Anak harus disuapi biar makannya banyak. Tuh lihat anaknya Ria, badanya gemuk gitu, karena makannya disuapi. Biarlah kita mengalah, yang penting anak duluan makan, jadi kita bisa tenang!” Yangti menjelaskan dengan panjang lebar.

Aksa sih senang-senang saja kalau disuapi. Tapi dia sudah kubiasakan makan sendiri sejak umur empat tahun. Tubuhnya memang kurus. Meskipun tinggi, eyang tetap berkomentar kalau makannya kurang banyak. Padahal, Aksa makan teratur tiga kali dalam sehari. Dia memang tidak begitu suka makanan manis. Kalau aku menyediakan cemilan, Aksa hanya melahap satu potong gorengan.

Malam itu, aku tidur lebih cepat. Setelah menemani Aksa di kamar barunya, aku merasakan kantuk yang luar biasa. Aku tak peduli dengan keberadaan Riko. Biasanya, dia belum tidur dan sibuk bermain ponsel. Karena tubuh ini terlalu lelah, aku tidur dengan pulas.

1
pembaca setia
bagus ih ceritanya. ayo lanjutkan Thor
Fathan
lanjut thor
Fathan
bagus banget ceritanya. relate sama kehidupan nyata dan gak lebay.
Fathan
pusing banget tuh anak
Fathan
bodoh
Fathan
tinggalin ajaaa
Fathan
rAina bodoh
Fathan
ngeselin rikooo
Fathan
menarik nih, seru
Fathan
rapi bahasanya
pembaca setia
ceritanya menarik. mengungkap sebuah kejujuran perasaan penulis. Bahasa rapi dan minim typo. rekomendid novelnya
Sunshine🤎
1 like+subscribe untuk karya mu Thor. semangat trus sering² interaksi dan tinggalkan jejak di karya author lain, dan jangan lupa promosiin karya agar popularitas meningkat/Good/
SheAmoy: makasih kakak
total 1 replies
anggita
like👍+☝iklan buat author.
SheAmoy: makasih kak
SheAmoy: makasih banyak kakak
total 2 replies
SheAmoy
thanks kak
Necesito dormir(눈‸눈)
Makin lama makin suka, top deh karya thor ini!
SheAmoy: makasih kaka
total 1 replies
Black Jack
Saya benar-benar tenggelam dalam imajinasi penulis.
pembaca setia: menarik banget nih
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!