Cinta Yang Tak Terlupakan

Tiba di restoran Amus, Anna dan Wira mencari tempat duduk yang viewnya ke arah taman. Mereka bisa menikmati makan siang mereka sambil memandang bunga yang bermekaran di balik jendela kaca berbentuk bingkai besar.

Lagi-lagi Anna merasa heran dengan pilihan Wira yang memilih tempat duduk yang menjadi kenangan Anna dan almarhum suaminya.

Anna terlihat murung untuk sesaat. Sementara Wira mencoba menggali kembali kenangan tersisa yang ada di memorinya yang mungkin saja ia ingat sesuatu di tempat tersebut.

"Permisi tuan. Ini pesanannya...!" ucap pelayan yang sedang menghidangkan makanan milik pasangan itu.

Lamunan keduanya buyar dan kembali tersenyum saat melihat makanan kesukaan mereka yang menggoda lidah dan perut mereka yang sudah mulai keroncong.

"Ayo kita makan dulu Hanna...! Aku sudah sangat lapar," ucap Wira yang sangat senang makan sea food yaitu currie lobster.

Curried lobster adalah potongan lobster, tomat, bawang bombai, bawang putih, dan air yang di masak dengan menggunakan santan hingga mengental.

"Apakah kamu sangat suka dengan lobster?" tanya Anna di sela makan pasta sea food kesukaannya.

"Apapun jenis sea food aku sangat menyukainya dengan olahan apa saja. Terutama lobster ini. Aku tidak begitu menyukai makan ayam. Kalau daging sapi sangat jarang. Kalau seafood tidak akan aku tolak," ucap Wira membuat ia kembali mengenang saat kencan pertama dirinya dan Zidan yang membicarakan sea food yang menjadi makanan kesukaan mendiang suaminya itu.

"Ya Allah. Ada apa ini? Mengapa ucapan mereka juga sama sudah seperti copy paste." Anna menarik nafasnya yang terasa sangat sesak.

Ia ingin mengetahui seberapa banyak kesamaan Wira dan mendiang suaminya.

Tidak ingin membuat Anna melamun, Wira menceritakan banyak hal. Hanya saja lelaki ini tidak menceritakan kehidupan pribadinya yang hilang ingatan sejak tiga tahun lalu.

"Apakah kamu punya waktu weekend besok?" tanya Wira yang ingin mengajak Anna jalan-jalan.

"Emangnya kenapa kalau aku tidak ada acara di weekend besok?"

"Ada kajian rutin yang biasa aku ikuti setiap bulan sekali di salah satu mesjid. Biasanya aku ke sana dengan ayahku tapi kali ini aku ingin ke sana berdua denganmu. Kamu mau ya...?" pinta Wira sedikit memaksa Anna agar mengikuti kajian itu.

"Ok. Tidak masalah. Apakah aku mengenakkan busana muslim dan berjilbab?" tanya Anna.

"Itu jauh lebih baik, Hanna. Karena kita berada di dalam mesjid di mana banyak malaikat duduk bersama di antara kita," nasehat Wira.

"Ok. Terimakasih atas ajakannya. Berarti kita duduk terpisah nantinya. Aku tidak punya teman saat berada di dalam mesjid itu."

"Tenang saja Hanna. Ada banyak temanku yang perempuan menjadi panitia di kajian itu. Nanti kamu akan punya teman di sana karena aku akan memperkenalkan kamu kepada mereka."

"Terimakasih dokter Wira. Selama ini aku tidak pernah datang ke kajian. Maksudku aku hanya menjalankan sholat wajib dan selebihnya tidak pernah mengikuti kajian," ucap Anna jujur.

"Lebih baik kita menyibukkan diri kita dengan hal yang bermanfaat di saat waktu senggang kita. Dengan begitu setan tidak mudah masuk untuk menggoda kita dengan membuat hati kita dirundung kesedihan."

"Alhamdulillah. Aku senang bertemu denganmu, dokter. Selama ini keluargaku hanya sibuk dengan dunia bisnis mereka daripada memikirkan akhirat," balas Anna begitu malu pada Wira yang terlihat religius.

Disisi lain, kedua orangtuanya Wira saat ini sedang berdebat tentang Wira. Sepertinya ayah Wira tidak kuat lagi menahan kebohongan yang selama tiga tahun lebih ini mereka sembunyikan.

"Bunda. Sudah saatnya kita harus memberitahu Wira tentang siapa dirinya. Suatu hari nanti dia akan menikah dengan Vini dan dia harus menggunakan nasabnya saat menikah nanti bukan dari nasab ku," pinta tuan Aditia Adiguna.

"Tidak. Wira itu putraku." Kekeh nyonya Kayla.

"Putra kita sudah tiada, bunda. Sampai kapan kamu tidak bisa menerima kenyataan itu. Wajah putra kita yang menempel di wajah pria malang itu karena wajahnya rusak saat kita menemukan dirinya di pinggir danau," protes tuan Aditya.

"Tapi Wira hilang ingatan saat dirinya sadar ayah. Itulah sebabnya kita ingin menjadikan dia Wira putra kita. Biar saja seperti itu ayah. Aku ingin melihat dia sebagai putraku karena wajah Wira ada pada dirinya," pinta nyonya Kayla histeris.

"Suatu hari nanti bukan tidak mungkin memorinya akan kembali karena kata dokter sifatnya tidak permanen, bunda," protes tuan Aditya.

"Dia tidak akan ingat akan dirinya karena aku sudah memberinya obat untuk melumpuhkan ingatannya. Dengan begitu dia akan terus menjadi Wira putraku," batin nyonya Kayla yang tidak ingin Zidane pergi dari hidupnya.

"Ayah. Saat kita menemukannya di pinggir danau, kita tidak menemukan identitasnya. Kita lalu membawanya ke rumah sakit dimana putraku dirawat karena kanker hatinya yang sudah menyebar.

Tiga hari kemudian, putra kita meninggal dunia dan operasi pada wajah pria malang itu tidak berhasil. Itulah sebabnya bunda menawarkan diri untuk memindahkan wajah Wira padanya," imbuh nyonya Kayla yang masih mempertahankan keegohannya.

"Bagaimana kalau dia ingat semuanya? Apakah bunda bisa menyangkalnya bahwa dia adalah putra kita? Ingat bunda...! Dia dan bunda bukan mahram," tegas tuan Aditya lalu meninggalkan istrinya yang menolak kenyataan jika putranya Wira telah meninggal dunia tiga tahun yang lalu.

"Ya Allah. Ampunilah aku karena mengambil anak orang lain sebagai putraku yang malang. Aku belum bisa ikhlas merelakan kepergian putraku Wira," gumam nyonya Kayla sambil terisak.

Wira memang dimakamkan di luar negeri saat itu dan nyonya Kayla dan tuan Aditya sepakat untuk merahasiakan kematian putra tunggal mereka dari semua orang termasuk kerabat mereka sendiri.

Kehadirannya Zidane dengan wajah baru milik almarhum Wira yang tidak bisa dibedakan oleh orang yang sudah pernah mengenal Wira sebelumnya karena perawakan tubuh mereka sama. Tinggi badan sama namun tidak dengan berat badan Wira yang sebelumnya sempat merosot karena sakit.

Kedua orangtuanya Wira memang tidak langsung pulang ke tanah air karena saat itu tubuh Zidane yang asli butuh pemulihan karena banyak sekali terdapat luka memar di beberapa bagian tubuhnya.

Ditambah lagi keadaan Zidan yang sempat koma selama hampir satu bulan. Awalnya kedua orangtuanya Wira ingin memberitahukan keadaan sebenarnya pada Zidane jika sudah siuman.

Namun, saat mengetahui Zidane hilang ingatannya membawa keberuntungan ibunya Wira yang langsung memberitahu Zidan kalau nama Zidan adalah Wira.

Zidane yang berada di tengah keluarga tuan Aditya selalu merasakan ketenangan karena kedua orangtuanya Wira terlihat sangat religius. Hanya satu kelemahan mereka yaitu menipu kenyataan yang ada dengan mengakui anak orang lain menjadi anak mereka.

Jika kelurga dekat Zidan atau Anna sendiri yang melihat bagian tubuh Wira yang memiliki tanda lahir mungkin punya pendapat yang berbeda dengan Wira yang saat ini menggantikan posisi Zidan.

Setelah menyantap makan siang mereka selesai, Wira mengajak Anna sholat di musholla yang terdapat di sekitar area restoran tersebut.

Setelah mengambil wudhu, Anna menunggu Wira keluar dari tempat wudhu pria yang berdampingan dengan tempat wudhu wanita.

Anna melihat bagian siku Wira yang terdapat tanda lahir membuatnya tersentak. Wira belum menurunkan lengan kemeja panjangnya setelah berwudhu.

"Bagaimana mungkin dokter Wira memiliki tanda lahir yang sama dengan Zidane? Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Kenapa setiap kebetulan hampir sama dalam waktu singkat?" batin Anna.

"Ayo kita sholat dhuhur lalu aku akan mengantar kamu lagi ke perusahaanmu...!" ajak Wira.

"Baik."