Medina panik ketika tiba-tiba dia dipanggil oleh pengurus pondok agar segera ke ndalem sang kyai karena keluarganya datang ke pesantren. Dia yang pernah mengatakan pada sang mama jika di pesantren sudah menemukan calon suami seperti kriteria yang ditentukan oleh papanya, kalang kabut sendiri karena kebohongan yang telanjur Medina buat.
Akankah Medina berkata jujur dan mengatakan yang sebenarnya pada orang tua, jika dia belum menemukan orang yang tepat?
Ataukah, Medina akan melakukan berbagai cara untuk melanjutkan kebohongan dengan memanfaatkan seorang pemuda yang diam-diam telah mencuri perhatiannya?
🌹🌹🌹
Ikuti terus kisah Medina, yah ...
Terima kasih buat kalian yang masih setia menantikan karyaku.
Jangan lupa subscribe dan tinggalkan jejak dengan memberi like dan komen terbaik 🥰🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Merpati_Manis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Enam
Sepanjang perjalanan menuju ibukota, Medina lebih banyak diam. Gadis itu sepertinya menanggapi serius perkataan Hamam. Apalagi, kedua orang tua pemuda tersebut sudah sangat menyetujuinya.
Bisa jadi, kedua orang tua Medina juga pasti akan menyambut dengan antusias keinginan Hamam untuk langsung menikah saja. Begitu pula dengan keluarga besarnya yang terkenal to the point jika urusan pernikahan. Mereka semua juga pasti akan mendukung ide konyol pemuda tersebut dan itu sukses membuat Medina galau setengah mati.
'Aku memang ingin nikah muda, sih. Tapi enggak dengan dia juga, kali!'
Medina melirik sebal pada pemuda yang duduk di sampingnya dan saat ini tengah fokus dengan buku di tangan. Entah buku apa yang dibaca oleh Hamam, Medina tak ingin mengetahuinya.
'Viko atau Jemmy bisa bantu aku, gak, ya?'
Sudut bibir Medina tiba-tiba sedikit terangkat. Sepertinya, gadis yang saat ini mengenakan jaket kulit yang dipadukan dengan bawahan sarung tersebut, sudah menemukan ide untuk membatalkan perjodohannya dengan Hamam. Medina buru-buru mengetikkan pesan untuk orang yang dimaksud.
"Mau tidur, enggak, Dik?" tanya Hamam tanpa menoleh ke arah Medina, membuat gadis itu menghentikan jemari lentiknya yang sedang mengetik.
"Kang Hamam bicara sama siapa?"
"Memangnya, di bangku ini ada siapa saja?" balas Hamam dengan pertanyaan pula dan lagi-lagi, tanpa menoleh ke arah Medina.
"Hanya kita berdua, Kang."
"Itu, tahu."
"Berarti, Kang Hamam bicara sama Dina?"
"Menurut kamu?"
"Ish, nyebelin!" Medina pun cemberut.
"Kalau bicara, tuh, lihat orang yang diajak bicara!" lanjutnya sewot.
Tak ada tanggapan dari Hamam, membuat Medina makin kesal. "Ih, benar-benar, ya, nih, cowok! Beda banget sama Pakdhe Umar! Dingin, kek beruang kutub!"
"Emang, udah pernah bertemu dengan beruang kutub?"
"Udah. Nih, yang lagi duduk di sebelah!"
Hamam tak lagi bersuara. Hingga beberapa saat lamanya, pemuda itu masih saja terdiam.
Lagi-lagi, sikap Hamam membuat Medina penasaran. 'Marah kali, ya, Kang Hamam, aku samain dengan beruang kutub? Bodo, ah! Salah sendiri nyebelin!'
Medina pun memilih diam. Keheningan pun tercipta, tak ada lagi yang bersuara hingga pesawat mendarat di bandara Soekarno-Hatta.
Kedatangan keluarga Kyai Umar ke kediaman orang tua Medina, disambut hangat oleh keluarga besar Papa Mirza. Mereka semua nampak antusias dan sangat bahagia jika apa yang telah direncanakan oleh Papa Mirza serta Kyai Umar, dapat segera terlaksana. Karena dengan begitu, jalinan kekerabatan yang sudah terjalin akan semakin erat.
"Pap, ada teman Dina yang ingin bertemu," kata Medina berbisik, setelah semua tamu duduk di ruang keluarga.
"Bisa kita bicara sebentar di dalam?" pintanya kemudian dan Papa Mirza mengangguk setuju.
Ayah dan anak gadisnya itu lalu berpamitan. Aksa yang melihat gelagat aneh sang adik, Diam-diam mengikuti.
"Ada apa, Nak? Sepertinya sangat penting."
"Ada temen Dina yang ingin bertemu dengan Papa dan mama."
"Siapa?"
"Jemmy, Pa."
"Jemmy?" Dahi laki-laki paruh baya yang semakin mempesona di usianya yang sudah lebih dari setengah abad itu, berkerut dalam. Papa Mirza sepertinya sedang mengingat-ingat seseorang yang namanya baru saja disebutkan sang putri.
"Oh, Jemmy putranya Om Harsa?"
"Iya, Pap."
"Mau apa, dia?"
"Em, Jemmy ... Jemmy mau ...."
"Mau melamar Dik Dina kali, Pap," sahut Aksa yang sedari tadi menguping pembicaraan sang adik dengan papanya. Pemuda itu lalu masuk dan ikut bergabung di sofa, di ruang kerja Papa Mirza.
"Katanya yang ngajak kamu nikah si Viko, kenapa sekarang jadi Jemmy?" Lipatan di dahi laki-laki paruh baya itu semakin banyak saja karena heran dengan putrinya.
Papa Mirza menyandarkan punggung pada sandaran sofa lalu menghela napas panjang. Sedetik kemudian, laki-laki bermata kebiruan itu mengulas sebuah senyuman.
'Memang benar apa kata pepatah jika buah jatuh tak 'kan jauh dari pohonnya.' Ya-ya-ya, dia anakku. Ya, pastilah mirip denganku, dan aku tak boleh memarahinya. Kalau mirip orang lain, baru aku akan marah.' monolog Papa Mirza, dalam diam.
"Jemmy apa Brian, Dik?"
Pertanyaan yang diajukan Aksa pada sang adik, berhasil membuyarkan lamunan Papa Mirza. "Ada lagi?" tanyanya, seraya menatap kedua anaknya bergantian.
"Iya, Pap. Brian itu temannya Bang Aksa. Viko dan Bang Brian sebenarnya juga serius, tapi yang serius banget, dan sekarang juga sudah siap untuk menikahi itu Jemmy, Pap."
Papa Mirza menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Pap, please ... beri Jemmy kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan papa, ya?"
bersambung ...