Rumah tangga Nada Almahira bersama sang suami Pandu Baskara yang harmonis berubah menjadi panas ketika ibu mertua Nada datang.
Semua yang dilakukan Nada selalu salah di mata sang mertua. Pandu selalu tutup mata, dia tidak pernah membela istrinya.
Setelah kelahiran putrinya, rumah tangga mereka semakin memanas. Hingga Nada ingin menyerah.
Akankah rumah tangga mereka langgeng? Atau justru akan berakhir di pengadilan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Budy alifah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
Nada menadahkan kepala ke langit-langit, ia mengusap hidungnya lalu ujung matanya agar air matanya tidak jatuh.
Ia melihat uang 500 ribu di tangannya, uang segitu untuk satu minggu saja tidak cukup. Pandu sangat pelit untuk mencukupi kebutuhan sang istri. Giliran untuk keluarganya dia sangar royal.
"Sabar Nada, ini cobaan buat kamu," katanya sembari bergegas mengambil kunci mobil.
Dia tidak mau telat bertemu dengan dokter kandungannya. Sesampai di depan pintu depan perut Nada tiba-tiba sakit. Perutnya sangat kerasa, panggulnya terasa di tekan.
"Bik, tolong," teriak Nada.
Dia mendadak susah berjalan, dia memegangi panggulnya.
"Mbak Nada, mau lahiran?" tanya Minah pembantu Nada.
"Sepertinya Bik, tolong panggilkan taksi," pinta Nada dia tidak bisa mengemudi saat ini.
Sembari menunggu taksi datang Nada berusaha menelepon Pandu. Nada menarik benda pipih dari telinganya karena tak kunjung diangkat.
Nada mengatur napasnya, ketika merasakan sakit yang luar biasa. Sampai dia bingung merasakannya.
"Bibi, taksinya sudah sampai belum? Nada rasanya sudah mau melahirkan," kata Nada yang susah duduk selonjoran di lantai.
"Susah datang, ayo bibi bantu." Minah membantu Nada ke dalam taksi. Setelah itu dia mengunci pintu serta membawa tas yang sudah dipersiapkan oleh Nada jauh hari.
Nada langsung dibawa ke ruang bersalin, air matanya menetes saat merasakan sakit yang luar biasa. Akan tetapi sang suami tidak ada di sampingnya.
Ranti masuk berdiri di samping Nada, ia menggenggam tangan putrinya.
"Nada, kamu tenang ada ibu di sini. Kamu pasti kuat ya," katanya sembari mengusap kepala Nada dengan tangan satunya.
Nada menghela napas panjang, melakukan gerakan yang diperintahkan oleh dokter. Sakit menyeruak ke seluruh tubuhnya, Nada mencoba tetap tenang.
Tak selang lama terdengar suara tangisan, bayi perempuan mungil keluar dengan sempurna setelah perjuangan Nada.
Ranti keluar menanyakan keberadaan Pandu, tapi sampai Nada selesai melahirkan dia juga belum datang.
"Keterlaluan memang Pandu," kesal Ranti. Istrinya melahirkan dia tidak di ketahui keberadaanya. Bahkan pesan dan teleponnya tidak ada yang dia jawab.
"Biar Mas Rama yang azan buat bayi Nada," kata Nora kakak perempuan Nada.
Rama mengikuti mertuanya masuk ke ruangan bersalin untuk mengazani putri adik iparnya.
Mendengar alunan azan tangisan Nada pecah, dia senang atas kelahiran putrinya. Tapi, sedih karena yang mengazani putri pertamanya justru orang lain bukan ayahnya sendiri.
Kebahagiaan terukir jelas di wajah keluarga besar Nada dengan kelahiran putri cantik dari Nada.
"Cantik banget ya, seperti mamanya," kata Nora sembari memberikan kepada Nada yang ingin menggendongnya.
"Maafkan papamu,ya,Nak, karena belum bisa bertemu denganmu. Papamu masih sibuk sama tantemu," batinya dengan kedua mata nanar.
"Pandu ke mana? Kok belum datang juga?" tanya Rama sembari memandangi arah pintu.
"Tadi sedang pergi sama Mbak Ayu," jawab Minah.
"Ayu? Siapa?" tanya Nora sembari memandang Nada meminta penjelasan.
"Adiknya Mas Pandu, mereka sedang pergi ke kampus. Ayu kan mau kuliah di sini," katanya dengan wajah tak senang.
Sedang menjadi perbincangan Pandu masuk dengan napas tersengal-sengal. Dia lari dari tempat parkir sampai di ruangan Nada di rawat.
"Sayang, maaf tadi aku sedang mengemudi tidak mendengar," katanya dengan memegang tangan Nada. Dia merasa sangat bersalah membiarkan sang istri melahirkan putrinya seorang diri.
"Tidak apa-apa, ada ibuk sama Mbak Nora sekeluarga yang menemaniku kok," katanya dengan tersenyum. Padahal hatinya sangat sakit.
Dia berjuang hidup dan mati sendiri, padahal dulu dia berjanji akan menemaninya melahirkan. Dan melantunkan azan untuk anaknya.
"Kamu sudah selesai mengantar adikmu?" tanya Nada dengan mengusap wajah putrinya.
Ucapan Nada menarik perhatian keluarganya, dia merasa rumah tangga adiknya itu sedang bermasalah.
"Sudah, dia sedang menghubungi ibuk," katanya dengan meminta menggendong putrinya.
Pandu mencium putri mungilnya, air matanya menetes. Dia kini sudah menjadi seorang ayah.
"Maaf, tadi aku yang azani anakmu," kata Rama sembari menepuk pundak Pandu.
"Terima kasih Mas," jawabnya dengan menyesal.
Sebenarnya dia mendengar panggilan dari Nada berkali-kali. Namun, dia memilih membiarkan justru mengubah mode silent agar tidak terganggu.
Dia mengira Nada hanya caper, karena dia tidak jadi mengantar ke rumah sakit. Sehingga dia ingin mencari masalah dengannya.
"Namanya siapa?" tanya Ranti.
"Shanum Almahira Baskara," jawab Nada dengan kasih sayang. Dia mengusap lembut kepala putrinya.
"Nama yang cantik," kata Ranti sembari memberikan kecupan di pipi mungil Shanum.
"Iya Buk, cantik seperti ibunya," puji Pandu dengan menatap istrinya yang wajahnya tampak lelah setelah melahirkan putri mereka.
Nada tersenyum kecil, pujian yang diberiakan oleh Pandu tidak mampu menghapus rasa kecewa Nada.
Setelah semua selesai Nada dibawa pulang, di rumah sudah ada mertua Nada yang menunggu kepulangan cucunya.
Dia langsung menggendong cucu pertamanya, "Cantik sekali, wajahmu mirip dengan papamu."
"Pandu, kamu menggunakan nama yang ibu berikan?" tanya Wina sembari menidurkan bayi mungil di box yang sudah disediakan oleh Pandu dan Nada.
"Kita pakai nama yang Nada dan Pandu cari," jawab Pandu sembari membantu Nada tiduran.
"Siapa namanya?" tanya Wina kesal karena tidak memakai nama pemberiannya.
"Shanum Almahira Baskara," jawab Pandu sembari menyelimuti Nada.
"Harusnya Shanum Ayu Baskara lebih bagus," katanya dengan enteng.
Nada mendelik mendengar nama yang diajukan oleh mertuanya. "Buk, ini kan putriku. Kenapa ada nama Ayunya?" Nada tidak habis pikir dengan mertuanya.
Shanum adalah putrinya, kenapa harus ada nama adik iparnya? sangat tidak masuk akal permintaan mertuanya itu.
"Buk, nama ini sudah Pandu dan Nada diskusikan sejak lama. Jadi jangan main ganti saja," protes Pand u. Kali ini dia tidak setuju dengan ibunya.
"Ibu hanya mau yang terbaik," ujarnya sembari berjalan ke luar dengan wajah tidak senang.
Pandu menatap intens sang istri, "Terima kasih ya, sudah melahirkan putri yang cantik." Pandu mengambil tangan Nada lalu mencium lembut punggung tangan Nada.
Nada tersenyum tipis, rasa kecewanya dia buang jauh-jauh saat saat ini. Dia ingin melupakan kesedihannya.
Hari ini adalah hari bahagianya kedatangan malaikat kecil di hidupnya. Lengkap sudah keluarga kecilnya.
"Kamu kenapa diam saja? Masih marah?" Pandu cemas, istrinya sejak tadi cuek. Bahkan pujian-pujian yang dia lontarkan hanya dijawab dengan senyuman.
"Maaf, tadi itu aku sungguh tidak mendengar. Tadi Ayu terlalu antusias melihat kampusnya." Pandu mencoba menjelaskan masalah yang membuat dirinya tidak bisa menemani sang istri lahiran.
"Mas, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Nada dengan wajah serius.
"Ya, tanya saja," jawabnya sedikit gugup melihat wajah manis istrinya berubah menjadi seram.
Nada memejamkan matanya sekejap, "Sebenarnya Ayu itu adik kandungmu atau bukan?"