Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19: Siapakah 'Mereka?'
Malam semakin larut, hingga langkah mereka tiba di sebuah bukit kecil yang memberikan pandangan terbuka ke arah Desa Mola-Mola. Di bawah cahaya bulan, desa itu tampak tenang, seolah berada dalam ketenangan abadi. Satrio menghirup udara malam dalam-dalam, merasakan udara segar yang membawa kedamaian sementara.
"Begitulah seharusnya desa ini," gumam Ekot pelan, suaranya serak dipenuhi emosi. Ia mengepalkan tangan erat, menahan perasaan yang lama terpendam. "Entah kapan kami bisa merasakan kembali kedamaian itu."
Satrio menoleh padanya. "Aku tidak akan pergi sebelum desa ini kembali tenang," ujarnya mantap.
Ekot hanya menatap Satrio dengan tatapan penuh makna. Ada rasa syukur, ada pula keraguan yang membayang di matanya. Namun, kata-kata tampaknya mengkhianati lidahnya, menyisakan keheningan di antara mereka.
Setelah beberapa saat, Satrio membuka suara lagi. "Aku ingin bertanya satu hal. Tapi aku ragu apa kau masih mengingatnya?"
"Apa pun itu, aku pasti menjawabnya," sahut Ekot, mencoba tetap tenang meski rasa ingin tahunya memuncak.
"Apa yang mereka lakukan di sini? Dan pergi ke mana mereka?" tanya Satrio.
Ekot menatapnya, keningnya mengerut. "Siapa yang kau maksud, mereka?"
Satrio menarik napas sejenak sebelum menjawab. "Aku tau. Aku bukanlah orang luar pertama yang datang ke desa ini."
Ekot terdiam sejenak, mencoba mencerna perkataan Satrio. Alisnya hampir bertemu, menandakan pikirannya yang sibuk mencari jawaban di masa lalu.
"Mungkin belasan tahun lalu, atau mungkin puluhan tahun lalu. Mereka yang mengajari penduduk desa membuat kerajinan tangan, bahkan sampai menenun pakaian," lanjut Satrio, matanya menatap tajam ke arah Ekot.
Kata-kata Satrio itu tampaknya berhasil menggugah ingatan Ekot. Tatapan pria itu berubah, seolah ia baru saja mengingat sesuatu yang telah lama terkubur dalam benaknya. "Aku ingat sekarang," katanya perlahan. "Tapi itu sudah lama sekali. Bagaimana kau bisa tau?"
Satrio tersenyum tipis. "Ternyata dugaanku benar. Setidaknya itu menjawab mengapa desa ini terlihat berbeda," jawabnya.
Perkataan Satrio meninggalkan Ekot dalam diam. Sesuatu yang samar dari masa lalu kini kembali mengusik pikirannya, membawa tanya yang lebih dalam daripada sebelumnya.
"Itulah mengapa, aku tidak akan meninggalkan desa ini, sebelum kebahagiaan itu kembali," tegas Satrio, matanya berbinar penuh keyakinan.
"Jangan-jangan, kau?" Ekot mengernyitkan dahi, merasa penasaran.
Satrio tersenyum tipis. "Kau pasti ingin menuduhku sebagai utusan leluhur? Atau peramal?" katanya, nada bermain-main dalam suaranya.
Ekot menggeleng, wajahnya menunjukkan kebingungan. "Kau benar-benar orang paling aneh yang pernah aku temui."
Satrio mengangkat bahu, menanggapi lelucon itu dengan santai. "Hipotesis dan analisis, konsep dasar pemikiran seorang arkeolog. Beruntunglah aku menemukan desa ini."
Ekot tersenyum miris, namun di balik senyumnya tersimpan harapan. "Siapa pun kau, sekejap aku melihat desa ini akan kembali pada cahayanya."
Suasana malam terasa lebih hangat, saat harapan itu meluncur dari bibir Ekot. Seolah membentuk jembatan antara masa lalu dan masa depan yang lebih cerah.
Malam yang tadinya hening, mendadak berubah tegang, saat perhatian Satrio tertuju pada satu rumah di bawah sana. Mata Satrio melebar, napasnya tertahan, menatap lurus ke arah bangunan itu.
"Menurut Pak Purrok, ia mencium aroma menyengat sebelum akhirnya tak sadarkan diri?" gumamnya, seakan berbicara pada dirinya sendiri.
Ekot mengerutkan dahi, bingung melihat reaksi Satrio. Namun sebelum sempat bertanya, Satrio sudah melesat menuruni bukit, berlari cepat ke arah desa.
Ekot mengejarnya dengan langkah tergesa, "Sialan! Apa yang kau pikirkan!"
Satrio berteriak sambil terus berlari, "Kutukan itu! Akan menelan korban!"
Keduanya mempercepat langkah, menyusuri jalan sempit desa, hingga tiba di persimpangan jalan. Satrio memperlambat langkah, matanya mengamati sekeliling dengan cermat. Begitu menemukan yang dicarinya, ia berbelok cepat.
"Di sana. Cepat!" Satrio menunjuk ke sebuah rumah yang tampak dikepung oleh gumpalan asap putih.
Ekot yang mulai memahami situasinya, menyipitkan mata, lalu tanpa menunggu aba-aba langsung berlari menuju sisi rumah, tombaknya terhunus siap menghadapi ancaman. "Mantir! Mpong!" sergah Ekot, sebelum melesat cepat.
Sementara itu, Satrio, dalam kekalutannya, mengeluarkan sapu tangan, mencelupkannya ke bak air di dekat rumah, lalu mengikatkannya di wajah. Dengan kekuatan penuh, ia mendobrak pintu rumah yang tertutup rapat.
"Cepat keluar dari sini!" serunya, panik, kepada siapa pun yang ada di dalam.
Satrio menoleh rakus ke sekeliling ruangan yang kosong, hatinya semakin gelisah. Ia segera bergegas, menuju pintu kamar yang terletak di sudut rumah, dan mendobraknya dengan tenaga penuh.
Pintu terbuka lebar, dan di baliknya, pemandangan yang mengejutkan menyambutnya. Di dalam, satu keluarga sudah terkulai lemas di lantai. Di antara mereka, seorang pria paruh baya dengan mata setengah terbuka berusaha bicara dengan suara lirih.
"Kumohon... tolonglah anakku. Selamatkan Nava," rintih pria itu. Tangannya gemetar, menunjuk ke arah ranjang di sisi ruangan. Di mana seorang gadis muda terbaring nyaris tak sadarkan diri.
Satrio mengangguk cepat, ekspresinya dipenuhi tekad. "Bertahanlah, aku akan membawamu ke tempat yang aman," ujarnya, suaranya penuh kepastian.
Tanpa membuang waktu, ia menghampiri ranjang dan mengangkat tubuh gadis itu dengan hati-hati. Napasnya terdengar berat di balik kain basah yang menutupi wajahnya, namun langkahnya tetap mantap. Dengan langkah cepat, ia membawa gadis muda itu keluar dari kamar, berusaha menghirup udara segar yang masih tersisa di sekitar rumah.
Akhirnya, Satrio berhasil membawa gadis itu ke pelataran rumah, menjauh dari kepungan asap putih yang masih menguar di udara malam yang kelam.
Tubuh Satrio terasa lemas, namun ia tetap berdiri setegak mungkin saat beberapa pemuda desa berlarian mendekat. Salah seorang di antara mereka menunjuk ke arahnya dan berteriak, "Itu orang asingnya!"
Merasa tugasnya selesai, Satrio menghela napas lega. Tampaklah beberapa warga menghampiri, dan mengambil alih tubuh gadis yang baru saja ia selamatkan. Ia melepaskan gadis itu dari dekapannya dengan pelan, Memastikan ia berada di tangan yang aman.
Di tengah keramaian, Balewa muncul dengan wajah penuh amarah. Matanya menyala saat menatap ke arah rumah yang dikepung asap. "Kutukan itu lagi!" geramnya. "Di mana Ekot?"
Satrio mencoba mengangkat tangan, hendak memberi penjelasan, tetapi tubuhnya seolah memberontak. Dengan napas terengah, ia hanya mampu menggeleng samar. Perlahan, pandangannya mulai kabur, dunia di sekitarnya berputar. Satrio merasakan kesadarannya perlahan menghilang, tubuhnya goyah sebelum akhirnya gelap total.
Malam ini menjadi titik balik bagi Desa Mola-Mola. Setelah sekian lama kutukan itu menyerang, baru kali ini korban berhasil diselamatkan. Para warga tampak bertanya-tanya, seolah tak percaya dengan apa yang terjadi.
lanjut nanti yah