Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21: Gua Leluhur
Pagi itu, langit memancarkan cahaya lembut, menyelinap di antara dedaunan yang rindang, memberikan kesan hangat pada udara dingin di Desa Mola-Mola. Satrio melangkah menuju gua leluhur, hatinya terasa tenang, namun pikirannya tetap dipenuhi tanda tanya yang tak kunjung menemukan jawaban. Beberapa warga yang ditemuinya di jalan menyapa dengan sopan, bahkan beberapa dari mereka menundukkan kepala sejenak, memberi hormat padanya.
Satrio hanya mengangguk kecil, merasa sedikit canggung. Penghormatan ini sejujurnya membuatnya risih. Ia hanyalah seorang peneliti yang singgah sementara, bukan sosok yang layak dipandang penting di mata mereka. Namun, bagaimanapun, ia menghargai ketulusan warga desa ini, yang sejak kedatangannya telah memperlakukannya dengan begitu hangat.
Sesampainya di mulut gua, ia menghembuskan napas panjang sebelum memasuki tempat suci itu. Batu prasasti besar yang sejak kemarin menarik perhatiannya masih berdiri kokoh di sudut gua, menyambutnya dalam kesunyian. Satrio mengulurkan tangan, mengusap permukaan kasar prasasti tersebut, mencari petunjuk yang mungkin terlewat.
"Batu ini hanya mengisahkan sekelompok orang. Mungkin sebuah suku, yang senantiasa menjaga sesuatu yang sangat penting. Ada besar kemungkinan simbol pohon raksasa ini sebagai gambaran, seberapa besar mereka menghargai sesuatu itu," batin Satrio.
Mata dan jemarinya seolah terus bergerak, menyusuri setiap ukiran simbol dan teks. "Jika saat itu sudah mengerti akan aksara. Namun mengapa masih terdapat simbol pada beberapa bagian? Seakan-akan batu ini memiliki dua bahasa dalam satu zaman," pikirnya, masih terpaku pada batu prasasti yang seolah tak ingin memberinya jawaban.
Beberapa jam sudah Satrio berada di gua ini, hanya berkutat pada batu yang kini ada dihadapannya. Namun, hasilnya nihil. Apapun hipotesis yang ia pilih, pasti akan kembali pada kesimpulan yang sama.
Merasa lelah dan kepalanya hampir pecah, ia bersandar pada dinding gua, memandangi sekeliling dengan pandangan kosong. Kemudian, tanpa sengaja, matanya tertumbuk pada deretan simbol di badan gua.
Ia memperhatikannya sejenak, alisnya berkerut, menyadari Lambang-lambang itu tampak lebih tua, lebih kuno daripada yang ada di prasasti. Entah mengapa, simbol-simbol tersebut terasa berbeda, seperti ingin menyampaikan sesuatu yang lebih dalam.
Satrio mendekat, menelusuri simbol-simbol itu dengan jemarinya. Ukiran yang menggambarkan sebuah pohon raksasa, dengan akar yang menjalar jauh, dan rantingnya digambarkan mampu menggapai langit. Di sekeliling pohon itu, terukir sosok-sosok manusia, berdiri membentuk lingkaran, seolah-olah mereka adalah penjaga abadi dari pohon tersebut. Selain itu, dinding gua ini begitu banyak ukiran simbol kuno, namun hanya beberapa saja yang dapat di identifikasi oleh mata Satrio. Simbol itu melukiskan beberapa hewan berkaki empat, sekelompok orang, beberapa api unggun, garis melengkung dan garis lingkaran.
"Apa sebenarnya makna dari pohon ini. Mungkinkah ini simbol keyakinan? Atau ada sesuatu yang lebih kompleks dari itu?" gumamnya pelan, matanya melirik pada batu yang ada di belakangnya. "Dari garis ukiran dan bentuk gambarnya, jelas sudah, jika usia batu ini lebih muda dari pada simbol yang ada di dinding."
Walau Ia tak tahu apa yang membuat pohon itu begitu berharga bagi suku ini, tapi satu hal yang ia yakini, pohon besar itu menyimpan sesuatu yang penting, sesuatu yang mungkin bisa membantunya menguak misteri di desa ini.
Dalam kesunyian gua yang hening, tiba-tiba terdengar suara Ekot dari bibir gua, memecah lamunan Satrio.
"Setelah semua yang telah terjadi," ucap Ekot dengan nada berat.
Satrio tersentak, menoleh dengan sedikit kaget. "Ya ampun!" Sahutnya sambil meletakkan tangan di dadanya, mencoba menenangkan diri. "Untunglah jantungku masih berdetak."
Ekot tersenyum tipis, tapi tatapannya tampak suram. "Maaf untuk itu," katanya lirih. "Tapi, lebih dari itu... aku ingin minta maaf atas sikapku selama ini. Terlalu naif, besar kepala. Aku sadar... sekarang aku merasa malu pada diriku sendiri."
Satrio menatap Ekot dengan penuh pengertian, menggeleng perlahan. "Itu bukan kesalahanmu Ekot. Bukankah, sikap seperti itu memang hal yang wajar? Kau hanya mencoba melindungi apa yang kau anggap benar."
Ekot menghela napas, pandangannya beralih ke dinding gua yang dihiasi simbol-simbol kuno. "Gua ini menjadi titik awal pertemuan kita, tapi justru di sini juga aku melontarkan kata-kata yang... mungkin kurang pantas," ujarnya, suaranya sedikit bergetar. "Bahkan aku tak bisa membedakan mana orang baik dan mana lawan. Menyedihkan bukan?"
Satrio mengangguk pelan, tapi senyum kecil menghiasi wajahnya. "Kurasa itu hal yang wajar Ekot. Tak perlu kau sesali terlalu dalam," ucapnya dengan nada lembut. "Jangan lupa, kita masih memiliki satu misteri besar di desa ini yang harus kita pecahkan. Mungkin, perjalanan kita ke sini memang sudah digariskan seperti ini."
Ekot menatap Satrio, ada secercah ketenangan dalam tatapan itu. "Kau benar," jawabnya, kali ini dengan sedikit kepercayaan diri. "Terima kasih, Ageo."
Satrio bersandar pada batu prasasti, menyilangkan kedua tangan di dadanya sambil memperhatikan simbol-simbol kuno di dinding gua. Sorot matanya tajam, mencoba merangkai setiap ukiran menjadi makna yang dapat dipahami, tetapi sejauh ini semuanya masih misterius.
“Apa leluhur mengatakan sesuatu?” suara Ekot tiba-tiba terdengar, memecah kesunyian gua.
Satrio menoleh, tersenyum lelah. “Ya… mereka berbicara panjang lebar,” jawabnya sambil mengangkat bahu, “tapi sayangnya, aku belum bisa mengerti apa yang ingin mereka sampaikan.”
Ekot mengangguk, lalu melangkah mendekat. “Ada yang bisa aku bantu untukmu?”
Satrio terdiam sejenak, mempertimbangkan pertanyaan itu. “Apa kau tahu tentang sebuah ritual di desa ini? Atau mungkin sesuatu yang berhubungan dengan gua ini?”
Ekot tampak berpikir. “Ya, satu-satunya ritual yang kami lakukan hanya di gua ini saja. Tempat ini suci bagi kami, setiap tahun warga berkumpul di sini untuk memberikan penghormatan pada leluhur.”
Satrio mengangguk, meskipun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia mencari sesuatu yang lebih. “Ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar gua ini. Tapi… aku belum bisa menemukan artinya. Seolah-olah ada sesuatu yang masih tersembunyi.”
Ekot mengusap dagunya, berpikir dalam-dalam. “Mungkin Petua Adat bisa membantumu?”
Satrio menoleh cepat. “Petua Adat?”
“Ya,” ujar Ekot sambil tersenyum kecil. “Beliau orang tertua di desa ini. Sebelum fisiknya semakin lemah, beliau sering menceritakan dongeng-dongeng kepada anak-anak. Tapi kini, di usianya yang hampir seratus tahun, beliau semakin menurun kondisinya.”
“Seratus tahun?” Satrio mengulang, terkejut. "Apa aku bisa bertemu dengannya?"
“Tentu saja,” sahut Ekot. “Kapan pun kau siap, aku bisa membawamu ke rumahnya.”
Mereka pun meninggalkan gua, melangkah menyusuri jalan setapak yang menurun menuju desa. Di sepanjang perjalanan, suara gemerisik dedaunan dan gemericik air sungai yang mengalir di kejauhan menjadi latar alami yang menemani mereka.
Ekot menoleh ke arah Satrio, raut wajahnya sedikit ragu. “Ageo, apapun yang dikatakan oleh Djaya nanti, aku harap kau bisa memakluminya.”
Satrio menatap Ekot dengan pandangan ingin tahu. “Djaya? Siapa dia?”
Ekot menghela napas panjang, suaranya terdengar lebih dalam. “Dia anak pertama Petua Adat. Tapi entah mengapa, ia tidak bersikap baik pada warga desa. Bahkan ia tak peduli dengan apa yang terjadi pada desa ini.”
Satrio mengangguk perlahan, merenungkan informasi itu. “Mungkin ada sesuatu yang membuatnya begitu. Setiap orang pasti memiliki alasan tersendiri, bukan?”
Ekot mengangkat bahu, tampak tak tertarik membahas lebih jauh. “Mungkin saja. Tapi aku juga tidak begitu mengenalnya. Dan, sejujurnya, tidak ada waktu untuk memikirkan hal itu.”
Perbincangan mereka terhenti ketika akhirnya mereka tiba di sudut desa, di depan sebuah rumah yang tampak berbeda dari yang lainnya. Rumah itu berdiri sendiri, terpisah dari bangunan lain, seolah dijauhkan dengan sengaja. Di bagian depan rumah, tergantung tengkorak hewan besar dengan tanduk panjang, mengesankan aura misterius dan sedikit menyeramkan.
Ekot berhenti, mengarahkan tangannya ke arah rumah itu. “Ini rumahnya.”
\=\=\=\=\=\=\=≈\=
Belum sempat Ekot mengetuk pintu, seorang pemuda dengan raut wajah lelah dan sinis membukanya dengan kasar.
Ekot segera menunjukkan sikap hormat, menundukkan kepala sedikit sebelum berbicara, "Salam, Paman Djaya."
Djaya memandang mereka dengan tatapan tajam, hampir penuh cemooh. "Urusan apa lagi kalian datang ke tempatku?" tanyanya dingin.
"Kami hanya ingin bertemu dengan Ayahmu, Paman," jawab Ekot, suaranya penuh kehati-hatian.
Djaya mendengus, nyaris tidak menyembunyikan kekesalannya. "Datanglah lain waktu!" katanya, hendak menutup pintu, tapi tangan Ekot berhasil menahannya tepat waktu.
"Kumohon Paman," pinta Ekot dengan suara rendah namun tegas. "Biarkan kami bertemu dengan Ayahmu. Ada hal penting yang ingin kami tanyakan."
Djaya langsung menghentakkan lengan Ekot dari pintu dengan kasar, ekspresi wajahnya memancarkan kemarahan yang tak tertahankan. "Anak ingusan! Tidak perlu berpura-pura di depanku. Kalau ada yang ingin ditanyakan, tanyakan saja pada ayahmu. Buat apa cari ayahku?"
Satrio, yang mengamati percakapan itu dengan saksama, bisa merasakan ada api kemarahan dalam diri Djaya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sikap bermusuhan. Di balik amarah itu, Satrio menduga, mungkin ada dendam yang disimpan Djaya terhadap Kepala Desa.
Ekot menatap Djaya dengan tekad yang kuat, meskipun ada sedikit rasa lelah di matanya. "Percayalah, aku masih menghargai Datuk Muntikei sebagai Petua Adat di desa ini. Dan kami masih membutuhkan sosok seperti beliau," ucapnya pelan tapi mantap.
Djaya melotot, wajahnya kian menegang. "Camkan ini baik-baik! Ayahku bukan lagi Petua Adat! Jadi, tak perlu kalian mencarinya. Sudah cukup banyak penderitaan yang ia tanggung. Pergilah dari sini!"
Ekot tetap bertahan, suaranya semakin dalam dan tulus. "Aku ke sini bukan karena gelar Ayahmu Paman. Bagiku, beliau bukan sekadar petua adat. Beliau adalah sosok yang bisa menjadi panutan bagi desa ini. Jika bukan Ayahmu, lantas kepada siapa lagi kami mencari jati diri sebagai penduduk desa ini?"
Djaya tertawa kecil, namun getir. "Bukankah selama ini kalian yang telah meninggalkan kami? Dan baru sekarang, ketika desa dihantam kutukan, kalian sibuk mencari Ayahku." Ia mengarahkan tatapan sinis pada Satrio. "Dan kau, orang asing! Lebih baik tinggalkan desa ini!"
Satrio tetap tenang, namun dalam hatinya ia merasakan ketegangan yang merembes dari kata-kata Djaya. Setiap hendak membuka mulut, ia teringat pesan yang disampaikan Ekot padanya, oleh karena itu ia memilih untuk tetap diam.
Ekot menatap Djaya dengan ketulusan yang begitu dalam. "Dia bukan sekadar orang asing bagiku, Paman. Dia telah membantu desa ini. Dan sekarang, kami ingin memperbaiki semuanya. Kumohon, izinkan kami bertemu dengan Ayahmu."
Djaya mendengus dengan sinis, raut wajahnya semakin tegang. "Munafik! Sangat munafik!" suaranya serak penuh kebencian. "Di saat kami membutuhkan, kemana hati nurani kalian waktu itu?"
Ekot menghela napas, mencoba tetap tenang meski hatinya bergemuruh. "Percayalah, Paman... aku tidak mengerti maksud ucapanmu itu."
"Tentu saja tidak!" Djaya mencibir, tatapannya tajam menelanjangi Ekot. "Karena kau hanya anak ingusan! Sok tahu dan sok berani!"
Di tengah sindiran dan cemoohan itu, Ekot tetap teguh. Ia berharap bisa menyentuh hati Djaya yang penuh luka.
Satrio mengamati pertikaian yang semakin memanas, dan dengan hati-hati ia mendekati Ekot, lalu berbisik, "Ekot, sudahlah, sebaiknya kita kembali. Ini bukan saatnya."
Ekot tampak ingin membalas, namun ia menelan kata-katanya saat melihat ketegasan di mata Satrio. Ia mengangguk pelan, meski ada rasa enggan dalam hatinya.
Djaya, melihat mereka hendak pergi, berseru sinis, "Ya! Dan sebaiknya kau segera meninggalkan desa ini." Ucapan itu diakhiri dengan suara pintu yang dibanting keras, menutup rapat seolah mengusir kehadiran mereka.
Di depan pintu yang kini tertutup itu, Ekot berdiri kaku. Wajahnya menyiratkan sejuta perasaan yang terpendam—antara kecewa, sakit hati, dan rasa bersalah yang sulit ia uraikan.
Dengan langkah berat, mereka pun mengurungkan niatnya dan berbalik meninggalkan rumah, menyisakan tanda tanya besar di benak Satrio.
Ekot menghela napas panjang, lalu berkata pelan, "Saudaraku, maafkan aku atas kekeliruan ini. Aku gagal mempertemukanmu dengan Petua Adat."
Satrio menepuk bahu Ekot, mencoba menenangkan. "Aku mengerti, Ekot. Mungkin lain kali kita bisa mencobanya lagi. Jangan khawatir."
Ekot mengangguk pelan, lalu menatap jalan setapak di depan mereka dengan pandangan termenung. "Aku tidak mengerti masa lalu apa yang terjadi pada keluarganya, sehingga membuat Djaya begitu tidak menyukai penduduk desa."
Satrio tampak berpikir sejenak sebelum berkata, "Bukankah tadi kamu bilang Petua Adat sering memberi dongeng pada anak-anak? Sepertinya, Petua Adat itu sendiri tidak pernah menunjukkan kebencian serupa."
Ekot tersenyum kecil, mengenang sosok Petua Adat yang hangat. "Percayalah, Petua Adat tidak sama kerasnya dengan Djaya. Bahkan, dia yang memberitahu kami tentang gua leluhur waktu itu."
Satrio mengangguk, tampak merenung. "Jadi, maksudmu hanya anaknya saja yang merasa tidak menyukai warga desa?"
"Ya," Ekot membenarkan dengan sorot mata yang penuh keheranan. "Sikapnya tadi sangat tidak mencerminkan karisma bahwa dia anak dari sosok penting di desa ini."
Mereka terus melangkah hingga di ujung jalan, Ekot menunjuk sebuah belokan. "Di depan kita ambil jalan ke kiri. Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan pada Ayahku."
"Terkait sikap Djaya?" Satrio menduga, menyadari kekhawatiran Ekot.
Ekot mengangguk dalam. "Sudah saatnya aku tahu lebih banyak tentang desa ini. Mungkin ada sesuatu yang selama ini tak pernah diceritakan."
\=\=\=\=
lanjut nanti yah