"Jadilah kuat untuk segala hal yang membuat mu patah."
_Zia
"Aku mencintai segala kekurangan mu, kecuali kepergian mu."
_Darren
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
RUMAH BARU
...RINTIK HUJAN
...
Setelah menyambut tamu undangan. Keduanya memutuskan untuk langsung pulang kerumah yang baru saja dibeli oleh Darren, bukan Zia yang mau. Tapi Darren yang terus memaksa agar mereka langsung menempati rumah baru itu.
Disinilah Zia. Menangis dalam pelukan uminya. Suaminya itu sedang mengurus sesuatu.
“Umi. Zia ngak mau.” Rengeknya. Uminya hanya tersenyum, apakah uminya ini tidak mau mencegahnya.
“Astaga nak, kamu ini sudah menikah. Nurut dengan suami, kamu masih bisa datang kerumah kapan-kapan. Jadi jangan nangis lagi.”
“Tapi umi…”
“Sudah-sudah, tidak malu menangis? Nanti dilihat oleh suamimu, benar yang dibilang umimu. Kapan pun kamu mau datang kerumah, datang saja. Tak ada yang melarang, jika rindu namun tak sempat datang kabari abi atau umi.” Timpal Abraham. Sangat gemas dengan putrinya yang merengek sedari tadi.
Zia beralih memeluk abinya. “Peluk erat, sayang abi banya-banyak. Zia bakal kangen banget abi, nanti kalau abi rindu, datang kerumah Zia ya.”
Astaga putrinya ini sangatlah manja. “Hahah, baiklah nak. Ingat ya, selalu nurut dengan suami mu. Tanggungjawab abi sudah selesai, abi tidak mencemaskanmu lagi. Sudah ada suamimu yang menggantikan peran abi.” Ucap Abraham. Melepaskan pelukannya, tersenyum menatap putrinya.
“Do’a abi dan umi selalu bersama mu nak, jika suatu hari nanti rumah tanggamu mendapat cobaan maka jangan terburu-buru mengambil keputusan. Bicarakan dengan kepala dingin, surgamu ada di suamimu. Jadi, patuh lah kepadanya. Selagi itu dalam kebaikan.”
Ayah cinta pertama bagi putrinya. Abraham berat rasanya melepaskan putrinya, namun ini semua demi kebaikannya. Ya, semoga saja.
Tak lama. Darren menghampiri istrinya dan juga mertuanya, ah kalimat istri rasanya sangat aneh.
Abraham menatap menantunya itu, lalu menepuk-nepuk pundak Darren.
“Nak, abi sudah tidak memiliki tanggang jawab atas putri abi. Silahkan kamu bawa putri abi kemana pun, tapi jika suatu hari kamu tidak lagi mencintainya. Kamu tidak lagi menyayanginya dan tidak lagi memiliki rasa padanya atau bahkan kamu merasa tidak mampu lagi membimbingnya.” Abraham menatap lekat Darren.
“Tolong, kembalikan dia pada abi. Kembalikan dia pada kelurganya, kembalikan dia dengan baik seperti saat kamu memintanya pada abi untuk kau jadikan istrimu. Abi benar-benar menitipkan anakku pada mu nak.”
Darren dapat merasakan seberapa besar kasih sayang seorang ayah pada putrinya, dia pasti berusaha bertanggungjawab dan menafkahi Zia. Tapi, untuk menerim dan mencintai dia tidak yakin perihal itu.
“Baik abi.” Kata Darren. “Abi tak perlu khawatir perihal itu.” Lanjutnya.
Zia mengusap kasar air matanya, tak menyangka jika cinta pertamanya. Abinya, berkata seperti itu.
“Abi.” Lirih Zia.
Abraham tersenyum, mengusap pipi bulat anaknya. “Sudah, sepertinya ini semakin larut malam. Sebaiknya kalian segera pergi, kalian butuh istirahat.”
“Baiklah, ayah dan ibu masih didalam dengan beberapa rekan bisnisnya. Kami pamit dulu, abi, umi.” Ujar Darren.
“Abi, umi. Zia pamit dulu ya, selalu do’ain Zia.” Katanya. Memeluk erat uminya, lalu abinya.
“Pasti nak.”
“Hati-hati mengemudi Darren.”
“Baik abi, kami pamit. Assalamu’alaikum.”
“Zia pamit, assalamu’alaikum.”
***
Disinilah pengantin baru itu, rumah mewah yang baru-baru saja Darren beli. Rumah ini tak jauh dari sekolah Zia, dia sengaja membeli rumah yang jaraknya tak jauh dari sekolah Zia.
“Ini sangatlah besar.” Ucap Zia. Namun, masih dapat didengar Darren yang sibuk menurunkan koper Zia.
“Jelas.” Timpal Darren singkat. “Ayok masuk.”
Zia mengikuti Darren dari belakang, untung saja dia sudah mengganti gaunnya dengan gamis hitam.
Setelah membuka pintu, terlihat ruang tamunya sangatlah luas. Zia melangkah masuk, sangat kagum dengan rumah barunya ini.
“Assalamu’alaikum.” Zia memberi salam.
Masih mengikuti suaminya, hingga kelantai dua.
“Ini kamar mu.” Tutur Darren. Memberikan kunci kamar itu pada Zia, yang diterimah oleh Zia dengan kebingungan.
“Maksud kakak?” Tanya Zia. Ini baru pertama kalinya dia memanggil Darren, dia tidak punya panggilan untuk Darren.
Darren menyipitkan matanya. “Kakak? Saya bukan kakak kamu.”
“Ma-maaf, habisnya aku ngak tau mau manggil anda dengan-.”
“Panggil saya sesukamu saja, tapi jangan panggil saya kakak.” Ujar Darren. Memotong ucapan Zia. Dia bukan kakak Zia, lagi pula banyak panggilan lainkan.
Zia berpikir keras. “Kalau aku panggil mas, ngak apa-apa?” Tanya Zia dengan pelan.
Mas? Tidak buruk. “Terserah kamu.”
Zia kembali menatap pintu kamar itu, jika Darren memberinya kunci kamar. Berarti mereka tidak sekamar?
Seakan tau pikiran Zia. Darren berucap. “Kita memang tidak sekamar, dan sudah kukatakan untuk tidak terlalu berharap dengan pernikahan ini Zia.”
Setelah mengatakan seperti itu. Darren meninggalkan Zia, masuk tepat disebelah kamar Zia. Itu kamar Darren.
“Jika aku katakan, aku sudah mencintai mas Darren. Apakah mas Darren tetap bersikap demikian?” Entah pada siapa Zia berbicara.
Zia perlahan masuk kedalam kamarnya, karena sudah sangat malam. Zia memutuskan untuk mengistirahatkan badannya, esok hari dia bisa menjelajahi rumah besar ini.
Sedangkan dikamar Darren, dia baru saja selesai mandi. Entah mengapa semua badannya terasa pegal.
Darren membaringkan tubuhnya, semua barangnya sudah ada dirumah ini. Segala perabotan sudah lengkap, kecuali bahan masakan didapur.
Darren memejamkan matanya, banyak hal yang dia pikirkan. Hari-hari kedepannya bagimana? Apakah rumah tangganya bisa bertahan lama? Entahlah.
***
Di saat semua orang terlelap. Seorang perempuan tengah melaksanakan sholat tahajjud, sholat yang tak pernah dia lewatkan.
Dengan sholat tahajjud, kita mengorbankan waktu tidur kita. Guna mendekatkan diri kepada Allah, sholat tahajjud juga menjadikan kita untuk meningkatkan keimanan dan kecintaan kita pada Allah.
Bahkan terdapat dalam Al-Qur’an satu-satunya sholat sunnah yang disebutkan, sebagaimana firman Allah yang artinya;
“Dan pada sebagian malam hari bersembahyang tahajjud lah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan tuhan-Mu mengangkat kamu ke tempat terpuji.” (Qs. Al-Isra : 79).
Setelah berdo’a dengan khusyuk. Zia tidak tidur lagi, dia melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur’an dengan suara yang indah.
Di kamar lain. Darren tampak gelisah dalam tidurnya, merasakan tenggorokannya kering. Darren bangun, menatap jam dinding dalam kamarnya.
“Jam 3 pagi? Astaga.” Ujarnya dengan suara khas bangun pagi.
Darren memutuskan untuk turun ke dapur, setelah keluar kamar. Dia melihat pintu kamar disebelahnya terbuka sedikit, entah mengapa langkah kakinya membawanya kesana.
Membuka sedikit pintu itu, saat tak sengaja pendengarannya menangkap suara yang tiba-tiba menenangkan hatinnya.
Dia dapat melihat istrinya itu, mengaji dengan tenang. Bahkan dia lupa tujuan yang ingin mengambil air minum.
Darren seakan tak mau pergi, tetap diam berdiri dibalik pintu yang terbuka sedikit itu. Saat mendengar Zia selesai, dia buru-buru pergi dari depan kamar Zia. Tidak jadi minum, dia malah kembali masuk kedalam kamarnya dan kembali tidur dengan suara indah Zia masih tergiang-giang dipikirannya.
Pagi hari tiba, ayam berkokok bersaut-sautan. Matahari masih malu-malu menampakkan dirinya, kicauan burung dan udara pagi yang sejuk.
Zia melangkahkan kakinya kedapur, ingin melihat apakah ada bahan makanan untuk sarapan pagi ini.
“Mari kita liat, ada bahan makanannya.” Ucapnya. Dengan perlahan membuka lemari es, melihat tak ada apa-apa didalam.
“Hanya ada sosis dan telur saja? Rumah elit, belaja kebutuhan dapur sulit.” Ujarnya sambil terkekeh pelan.
“Buat nasi goreng sosis ajah deh.” Lanjutnya lagi. Nanti setelah sarapan pagi, barulah dia pergi berbelanja.
Zia sangat lihai menyiapkan bahan-bahan makanannya, jika ditanya hal apakah yang dia sukai saat berada dirumah? Maka, jawabannya adalah dapur. Memasak berbagai jenis makanan enak. Uminya jago masak, tentu dia pun tak mau kalah dari uminya.
Beberapa menit berlalu, akhirnya nasi goreng sosis dengan telur ceplok telah siap. Zia menatap kelantai dua, lalu melihat jam dinding.
“Mas Darren belum bangun?” Tanyanya. Dia melangkah pergi dari dapur, untuk membangunkan suaminya itu. Dia sedang bejar menjadi istri yang baik.
Setelah sampai dilantai dua, didepan kamar Darren. Zia terlihat ragu mengetuk pintu berwarna putih itu.
“Ketuk ngak ya? Nanti kalau dia marah, gimana?” Entah pada siapa dia bertanya. “Ketuk ajah deh.” Putusnya.
Tok
Tok
Tok
“Mas Darren udah bangun?” Tanyanya sedikit meninggikan nada suaranya. Tak mendapat sautan dari dalam.
Tok
Tok
“Mas.” Panggil Zia lagi. Tapi taka da sautan. “Masih tidur kali ya? Apa aku masuk ajah?”
Mengetuk pintu itu sekali lagi, lalu perlahan membuka pintu yang tidak dikunci itu. Saat pertama kali masuk, kamar ini sangatlah luas. Cat yang dominan hitam, dari dinding hingga tempat tidur bahkan perabotan lainnya.
“Pantas ngak ada sautan, orangnya masih tidur.”
Zia melangkah kearah tempat tidur suaminya, membangunkannya dengan menepuk-nepuk tangan Darren dengan pelan.
“Mas, bangun. Udah pagi.” Ujar Zia. Suaranya pelan, takut jika Darren marah nantinya.
Darren menggeliat, perlahan membuka matanya. Sedikit terkejut saat mendapati Zia berada dalam kamarnya, dia segera bangun.
“Kenapa kau masuk?” Tanyanya dingin. Serta suara khas bangun tidurnya.
Zia menunduk, sedikit jauh dari Darren. “Maaf, aku tadi udah ketuk pintu kok. Tapi ngak ada sautan, jadi aku masuk buat bagunin mas buat sarapan.” Jelas Zia.
Darren mengusap wajahnya dengan kasar. “Hm, kelur lah.” Katanya. “Tunggu saya di bawah.” Lanjutnya.
“Iya, sekali lagi maaf soal tadi.” Setelah mengatakan itu. Zia buru-buru keluar kamar, takut dengan wajah garang Darren.
Didalam kamar. Darren segera mandi, hari ini tidak ada kegiatan apapun. Dia mengambil cuti selama sehari, begitu juga dengan Zia yang tidak berangkat sekolah.
Setelah mandi. Darren menuruni tangga, berjalan kearah meja makan. Disana ada Zia dengan dua porsi nasi goreng didepannya.
“Mas.” Ujar Zia. Melihat Darren berjalan kearah meja makan, dengan pakaian santainya. Baju kau putih dan celana kain hitam.
Srekkk
Darren duduk, menatap nasi goreng yang diyakini buatan Zia. Untuk hari ini dia pertama kali sarapan pagi.
“Maaf, cuman ini yang aku masak. Soalnya bahan makanan didapur ngak ada, adanya cuman ini.” Ujar Zia. Menjelaskan pada suaminya.
Darren mengangguk, memang dia belum sempat membeli bahan makanan.
“Tak apa, makanlah.” Kata Darren. Memakan dengan perlahan, mengunyah. Enak batinya. Gengsi ya begitu.
Zia menatap Darren yang makan tanpa eksperi apapun, sedikit ragu jika makanan yang dia buat tidak enak.
“Ngak enak ya?” Tanya Zia.
Darren menatap Zia sekilas. “Tidak buruk.”
di lanjut Thor,,, penasaran 🤔
moga Darren cepat menyadari nya🤔🤭🤲
lanjut Thor. ku ingin si Darren hancur,, udah menyia yia kan berlian
yakinlah Lo bakalan nyesel Darren,,,
bikin tuan arogan bertekuk lutut 💪👍🏻😍
🤭🤔🙄😍