Rintik Hujan

Rintik Hujan

AWAL

...RINTIK HUJAN...

“Rapat selesai.” Ujar sosok laki-laki. Dengan paras menawan hampir dikatakan sosok yang sempurna, dengan sikap dinginnya.

Beberapa orang yang berada diruangan itu mengangguk bersama.

“Baik pak!” Ucap mereka.

Yang dipanggil dengan sebutan “Pak” hanya diam, bangkit dari kursi. Lalu berjalan keluar diikuti sekertarisnya, meninggalkan ruangan yang terasa mencekam bagi beberapa orang yang masih diam didalam ruangan itu.

Berjalan dengan wibawa, kedua tangannya berada di sakunya. Berjalan melewati beberapa ruangan, hanya diam dan tetap berjalan saat seseorang menyapanya dengan menundukkan kepala sedikit.

“Selanjutnya?” Tanyanya. Membuka pintu yang didepannya terdapat tulisan dengan “Ruangan CEO” berjalan perlahan ke sofa yang ada diruangan itu, lalu duduk.

“Bapak dijadwalakan akan bertemu dengan direktur perusahaan Nelson setelah makan siang nanti pak.” Jawab sekertarisnya.

“Hm.” Ujarnya dengan singkat. “Tida ada lagi setelah itu?” Lanjutnya.

“Tida ada pak.” Jawabnya lagi. Sudah sangat terbiasa dengan sikap cuek atasannya ini.

Hanya mengangguk. “Keluarlah.” Katanya.

“Baik pak, saya permisi.” Jawab sekertaris itu. Menundukkan kepalanya, lalu meninggalkan ruangan yang dingin itu.

Brak

Setelah pintu ruangnnya tertutup rapat, dia melonggarkan sedikit dasinya. Melepaskan jas hitam dikenakannya, memijit pangkal hidungnya.

Berjalan kemeja besar, dimana terdapat papan nama bertuliskan “Darren Andreas / CEO DA”. Ya dia Darren Andreas.

...***

...

Di sekolah ternama di Jakarta. Terlihat seorang gadis dengan seragam sekolah yang menutupi lekukan tubuhnya, serta hijab yang senantiasa menutupi mahkotanya. Berjalan dengan setumpuk buku paket ditangan kecilnya.

“Astaghfirullah, berat banget bukunya.” Katanya. Berjalan dengan bibir yang tak berhenti mengoceh, tujuannya adalah perpustakaan sekolah.

Setelah sampai diperpustakaan, gadis itu langsung menuju rak dimana buku paket itu akan dikembalikan. Menyusunnya dengan rapi.

“Alhamdulillah, selesai juga.” Ujarnya. Menatap sekitar yang sepi, mungkin karena ini jam pelajaran. “Kok serem ya.”

Gadis itu buru-buru meninggalkan perpustakaan, dia memang penakut.

“Loh Zia.” Panggil seorang dari arah belakang.

Yang dipanggil langsung meoleh, mendapati guru yang bertugas menjaga perpustakaan ini.

“Eh ibu.” Berjalan mendekat pada guru perempuan itu. “Assalamu’alaikum bu.” Lanjutnya. Mencium punggung tangan guru itu.

Guru perempuan itu tersenyum. “Wa’alaikum salam nak, mau pinjam buku lagi?” Tanya guru itu. Sudah tau kebiasaan siswi cantik ini.

Zia. Zia Putri Nelson, hanya tersenyum. “Tida bu, saya cuman mengembalikan buku paket.” Jawabnya.

“Begitu ya.”

“Iya bu, kalau begitu saya permisi dulu. Assalamu’alaikum.”

“Wa’alaikum salam.”

Setelah keluar dari perpustakaan. Zia kembali kekelas dimana letak kelasnya ada dilantai dua, kelas XII IPS 1.

Sekolah ini mendidik anak-anak dari kalangan atas saja. Salah satu sekolah termahal dijakarta Hing School, jika kamu bisa masuk kesekolah ini dengan jalur beasiswa. Selamat hidup mu tak akan pernah tenang selama kau disekolah ini.

Beberpa siswa sangat menyukai merundung anak-anak yang lemah, termasuk dari kalangan siswa anak beasiswa.

Sekolah ini tidak mewajibkan memakai hijab sama seperti Zia, malah kebanyakan siswinya tidak memakai hijab sekalipun mereka tahu itu kewajiban bagi seorang wanita muslim. Sama halnya dengan kedua teman Zia, yang tidak memakai hijab.

“Kantin yuk, gue udah lapar banget.” Celetuk salah satu teman Zia. Dia Noni, anak pengusaha tambang batu bara.

“He Noni! Lo mau dijemur pak Santoso? Gue sih ngak mau ya.” Timpal gadis berambut panjang. Dia Cantika, anak pengusaha kuliner terkenal diindonesia.

“Sabar, sebentar lagi juga bel istirahat.” Ujar Zia. Terkadang menjadi penengah kedua sahabatnya.

Noni kebetulan duduk sebangku dengan Zia, memeluk lengan Zia. “Tapi gue laper Zia.”

Tuk

“Lo jelek masang muka gitu.” Lagi. Itu Cantika.

“Hussst, ngak boleh gitu.”

“Lo belain nih bocah Zia?”

“Iri bilang neng.”

“Aku ngak belain siapapun.”

“Noh, mampus!”

“Ihh! Zia mah jahat.”

“Idih, makin jadi nih bocah.”

“Gue bukan bocah ya, enak aja.”

“Lo…”

“Diam! Tuh udah bel, ayok.”

...***

...

Di perusahaan besar, di pusat kota Jakarta. Diruangan seorang Ceo terlihat sibuk dengan berkas yang menumpuk dimeja kerjanya.

Melipat lengan kemeja putihnya sampai disikunya, memakai kacamata yang sangat pas di hidung mancungnya.

Jika dilihat sangatlah keren. Namun, sayang dia sangat cuek dan dingin. Tak ada yang tau dia menyukai lawan jenisnya atau malah sebaliknya.

Tok

Tok

Tok

“Masuk.” Kata Darren. Matanya fokus pada kertas-kertas diatas meja kerjanya, tanpa mau menatap si pengetuk pintu itu. Dia tau siapa itu.

“Permisi pak.”

“Ya?”

Itu sekertarisnya. Nando, yang sudah bekerja dengannya selama 5 tahun. Bagi Nando, bosnya inilah yang memberinya kehidupan. Disaat dia putus asa mencari pekerjaan, sampai dimana Darren datang dan menawarinya bekerja diperusahaan dengan jabatan sebagai sekertaris pribadinya.

“Pihak direktur Nelson mengajak bapak makan siang, dan sekaligus meeting ditempat biasa pak.” Jelas Nando. Baru saja sekertaris perusahaan nelson menghubunginya.

Darren tetap menatap pada kertas-kertas didepannya.

“Waktu?” Tanyanya.

“10 menit lagi pak.” Jawab Nando.

“Tunggu diluar.” Ujar Darren. Menatap sekilas Nando.

Nando mengangguk. “Baik pak, saya permisi.”

Brak

Darren melepaskan kacamatanya, membereskan semua berkas yang berantakan diatas mejanya. Merapikan kemeja yang sedikit sudah kusut, memakai jas hitamnya. Mengambil handphonenya, lalu berjalan keluar.

Clekkk

Ternyata Nando sudah siap, hanya menatap sekilas. Lalu, kembali berjalan diikuti Nando dibelakangnya.

Memasuki lift untuk sampai dilantai satu, selang beberapa detik. Darren dan Nando berjalan keluar dari lift, banyak karyawan yang menyapa Darren namun dia tetap berjalan dengan wajah datar khas miliknya.

Didepan perusahaan AD. Adalah Restaurants yang terkenal dengan hidangan yang lezat, tempat biasa yang sering dikatakan Nando untuk bertemu dengan beberapa Klien. Hanya perlu menyebrang jalan saja.

Suasana Restaurants ini begitu ramai, karena ini adalah jam istirahat dimana para pekerja kantoran memanfaatkan waktu mereka untuk makan siang.

Darren menatap sekitarnya, ramai. Dia tidak menyukai situsi ini.

“Pak, sebelah sini pak. Mereka sudah menunggu bapak.” Ujar Nando. Menunjuk salah satu meja paling pojok, dimana dua sosok laki-laki menunggu mereka.

Darren mengikuti Nando, membawanya kesalah satu meja. Sedangkan yang menunggu berdiri saat melihat yang ditunggu sudah ada.

“Selamat siang pak Darren.” Sapa Klien itu dengan ramah. Menjabat tangan Darren dengan ramah.

Menerima uluran tangan pria tua, tapi tak bisa dikatakan tua. Karena, wajahnyanya yang tak terlihat keriput.

“Siang.” Singkat. Padat dan jelas.

“Silahkan duduk pak.” Kata pria tua itu. Sudah biasa dengan sikap pemuda didepannya ini.

Setelah mereka duduk bersama dalam satu meja.

“Mau pesan dulu atau langsung saja pak Darren?” Tanya pria tua itu.

Darren menatap Nando, kemudian menatap pria tua itu. “Langsung saja.” Jawab Darren. Dia ingin segera pergi dari sini.

“Baiklah.” Ujar pria tua itu.

Dan mereka mulai membahas tentang kerja sama perusahaan.

...***...

“Alhamdulilah! Gue kenyang banget.” Ujar Noni. Mengusap pelan perutnya, hanya dengan semangkuk bakso.

“Lo badan kecil, tapi porsi makan lo banyak.” Ucap Cantika.

Memang benar, badan Noni ini kecil. Tapi, jangan ditanya soal porsi makannya. Jika ditanya tidak takut gendut, dia malah menjawab. “Ya ngak papa. Yang penting perut gue yang gede, bukan guenya. Hahah!” Katanya.

Zia hanya tersenyum, menatap Cantika yang masih makan.

"Kamu belum habis lagi?”

Cantika terkekeh bodo. “Heheh, belum.” Jawabnya. “Dikit lagi.” Lanjutnya.

“Gue tuh sabar banget ya, tuhan ngasih gue teman yang kalau makan lama banget.” Timpal Noni. Bagi dia dan Zia, ini hal biasa. Sebab, mereka sudah berteman dari anak-anak. Sudah tau sifat masing-masing.

“Sawbwr dong.” Jawab Cantika. Ucapannya tidak jelas, karena menguyah makanan.

Zia menggeleng. “Telan dulu baru ngomong Cantika, nanti kamu kesedek.” Katanya.

Cantika tersenyum lagu mengangguk saja, menghabiskan makanannya yang tinggal sedikit.

“Udah?” Tanya Noni. Melihat Cantika yang minum.

Menyimpan botol minum yang sering dia bawa kesekolah.

“Dah, yok balik kelas. Disini panas.”

Zia dan Noni mengangguk, kemudian bangkit dari tempat mereka duduk. Berjalan keluar dari kantin, melewati lorong sekolah yang dipadati siswa lalu lalang.

“Itu Anhar ngak sih?” Tunjuk Noni. Menatap sosok laki-laki yang berpenampilan urakan berjalan kearah mereka.

Sontak Zia dan Cantika mengikuti arah tatapan Noni, benar saja dari arah arah lapangan ada Anhar, kapten basket sekolah ini yang menyukai Zia.

Zia sontak menatap kearah lain, kedua temannya sontak berdiri didepan Zia. Ini bukan yang pertama kalinya, hampir tiap hari Anhar selalu menemui Zia.

“Zia.” Suara bas milik Anhar. Memenuhi pendengaran Zia.

Anhar begitu menyukai Zia, mengejarnya hampir setahun ini. dan hasilnya masih tetap sama, menerima penolakan dari gadis pujaannya.

“Lo ngapain deket banget? Mundur dikit.” Ujar Noni. Merasa rishi dengan Anhar yang terlalu dekat dengan mereka.

Anhar memutar mata jengah, tapi tetap melakukan ucapan Noni.

“Zia, lo benaran ngak mau nerima gue?” Pertanyaan yang sering Anhar berikan untuk Zia.

Zia menunduk, memainkan jari-jari mungilnya. “Maaf Anhar, jawaban aku ngak pernah berubah.” Jawab Zia.

“Ngak papa. Gue, bakal nunggu lo. Sampai hati lo buat gue.” Kata Anhar. Sangat percaya diri.

“Banyak yang mau sama kamu Anhar, cari perempuan lain ajah.” Ujar Zia.

“Gue ngak mau! Gue suka lo, dan selamanya akan tetap begitu.” Jawab Anhar tegas. Katakana dia gila, mengejar gadis yang sudah pasti tak mau berpacaran karena agama sudah jelas melarang. Namun, inilah cinta.

Noni dan Cantika geram.

“Lo tuh masih ngak paham ya? Zia udah nolak lo berkali-kali, harusnya lo sadar. Kalau Zia emang ngak suka lo!” Celetuk Cantika.

Noni ikut mengangguk. “Lo pasti udah tau alasan Zia nolak lo. Makin lo kejar dia, makin dia ngak suka ke lo.” Lanjut Noni. Apa yang dikatakannya memang benar. Zia rishi dengan Anhar yang selalu mendekatinya.

“Gue ngak peduli.” Jawab Anhar. Menatap dingin kearah Zia yan menunduk dengan dalam.

Noni yang melihat tatapan Anhar tertujuh pada Zia, dengan cepat menarik pergelangan Zia. Lalu membawanya segera pergi dari hadapan Anhar, meninggalkan Anhar yang masih diam.

“Gue pasti bakal dapatin lo, dengan cara apapun.” Ujar lirih Anhar. “Tunggu ajah sayang.” Lanjutnya.

Di kelas XII IPS 1.

“Emang batu banget sih Anhar, udah jelas ditolak. Malah tetap dilanjutin.” Kata Cantika. Duduk di bangkunya, menghadap kebelakang dimana bangku Zia.

Zia hanya tersenyum, dirinya juga heran. Hanya pertemuan singkat, bisa membuat Anhar seperti itu.

“Lo kalau ketemu Anhar lagi, terus kita ngak bareng lo. Lari ajah, ngak usah ladeni dia.” Ucap Noni. Duduk di bangku sebelah Zia.

Cantika ikut mengangguk. “Benar. Lo lari ajah, kalau Anhar macem-macem. Keluarin kekuatan silat lo.” Lanjut Cantika.

Zia mengangguk patuh. “Siap! Lagian Anhar mana mungkin macem-macem.”

“Eitss. Lo ngak tau dia saat dalam mode malam Zia, jadi lo harus hati-hati.” Ucap Noni. Sangat tau dunia Anhar seperti bagaimana.

Terpopuler

Comments

Rita Riau

Rita Riau

hai Thor izin mampir ya 🙏🏼

2024-04-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!