Dalam satu hari hidup Almira berubah drastis setelah menggantikan kakaknya menikah dengan King Alfindra. CEO yang kejam dan dingin.
Apakah Almira sanggup menghadapi Alfin, suami yang ternyata terobsesi pada kakaknya? Belum lagi mantan kekasih sang suami yang menjadi pengganggu diantara mereka.
Atau Almira akan menyerah setelah Salma kembali dan berusaha mengusik pernikahannya?
Yuk simak ceritanya, semoga suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mimah e Gibran, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. With pengawal
Almira puas bisa menghabiskan waktunya di salon. Kini ia berubah jauh lebih pede, meski dibanding dengan kakaknya masih belum apa-apa. Namun, bukankah wanita memiliki sisi cantiknya sendiri? Tubuh Hana memang bak model, kurus langsing sementara Almira cenderung berisi. Tapi bukan berarti berisi lemak, ada harta menarik yang ia sembunyikan dibalik gaunnya yang sedikit longgar. Almira sengaja memakai baju atau gaun yang lebih longgar karena tak ingin lekukan tubuhnya kentara.
Belum selesai mengerjai dua pengawal suruhan Alfin, kini gadis itu meminta diantar ke caffe tempatnya bekerja. Sudah beberapa hari tak masuk, hanya bisa berharap teman-teman sekaligus atasan memakhluminya. Atau Almira akan pamit sekalian? apa ia siap hidup hanya menggantungkan diri pada Alfin? Rasanya tak mungkin.
"Disini Nona?" tanya Budi dengan dahi mengernyit.
"Ya, kalian tunggu saja disini. Aku masuk betar, cuma mau menyapa teman kerja dan minta maaf karena izin beberapa hari."
"Tapi Nona,--"
"Plis Bam! Bisa kan, asal kamu nggak laporan sama Mas Alfin, aku rasa dia tak akan tahu. Toh lagi pula, hubungan kami tak sespesial itu."
Bambang bungkam, membiarkan Nona-nya masuk ke dalam sementara ia menunggu di mobil bersama Budi.
"Almira, ya ampun! Kamu kemana aja?" Tanya Caca tak percaya. Rekan kerja yang terbilang rajin sekalinya bolos bukan maen.
"Ada di rumah, papa nggak ngizinin aku kerja!"
"Seriusly?" tanya Caca tak percaya.
"Kamu kan tahu papaku kayak gimana?" Almira menghela napas. Ia menyapa rekan lain yang tengah sibuk menyiapkan makanan lalu beralih ke salah satu ruangan yang ada di ujung.
Tok tok tok...
"Masuk!" suara bariton dingin khas boss Rayyan memintanya masuk.
Almira menggeser pintu lantas masuk ke ruangan pemilik caffe tempatnya bekerja.
"Boss!" sapa Almira.
"Kamu kemana saja Mir? Sudah berapa hari bolos, kamu sehat kan?" cecar Rayyan. Bukan ke marah tapi justru cenderung khawatir.
"Sehat, Boss! Saya pengen resign mungkin,--"
"Kamu ambil cuti saja, kapanpun mau bekerja lagi akan saya terima!" potong Rayyan membuat dahi Almira seketika mengernyit.
"Serius boss?" tanya Almira dengan mata berbinar. Kalau begini, ia bisa meminta izin Alfindra untuk bekerja, barangkali suami kejamnya itu mengizinkan.
"Dua rius malah, kapan sih saya nggak serius sama kamu," Canda Rayyan membuat Almira seketika meringis.
"Kalau begitu saya permisi!" pamit Almira diangguki Rayyan.
"Hati-hati pulangnya, apa mau saya antar?" tawarnya sekali lagi.
"Nggak boss, saya diantar pengawal papa!" bohong Almira. Tentu saja dua pengawal di depan sudah mengundang rusuh sedari tadi, bisa Almira lihat jikalau Caca berlari heboh ke arahnya.
"Gila, Al. Lihat itu duo cowok kece beneran pengawal kamu?"
"Heheheh..." Almira hanya meringis.
"Aku pamit!" Almira melambaikan tangan, sementara Caca masih melongo di tempat.
***
"Udah Bam, sebenarnya aku masih ingin belanja, tapi apa kalian tidak capek? Kali ini boleh deh ikut masuk, itung-itung sekalian bawain belanjaan."
"Baik Nona, kita ke mall terdekat!" perintahnya diangguki oleh Budi.
Biarkan Almira meratukan dirinya sendiri hari ini. Membeli beberapa baju bukanlah hal yang buruk, lalu belanja keperluan dapur. Almira memang semandiri itu, apalagi ia seorang pekerja caffe bagian dapur belakang yang sudah akrab dengan berbagai macam jenis makanan.
Hingga hampir mangrib ia pulang ke rumah bersama segudang rasa lelah sekaligus senang. Almira bahkan sempat mengajak Bambang dan Budi makan di food court mall. Entah, bagaimana respon Alfin jika gadis itu telah menguras atm miliknya.
Namun, jantung Almira berdegup kencang karena gugup mendapati mobil Alfindra sudah terparkir disana.
"Darimana kamu?" suara dingin nan tajam langsung menyambut indra pendengaran.
"Dari salon Mas," jawab Almira.
"Lanjut belanja dan ke caffe bentar." Sebelum Alfindra benar-benar marah, Almira sudah lebih dulu menjelaskan kemana hari ini ia pergi.
"Aku menyuruhmu merapikan rambut, bukan mewarnainya!"
"Ini rambutku, Mas! Lagian bayarnya juga mahalan dikit, orang sekaya Mas Alfin gak mungkin marah karena selisih uang yang aku gunakan bukan. Oh ya, aku juga mewarnai kuku. Jadi,--"
"Jadi apa? Mau kukumu berubah warna pun tetap sama. Kamu gak ada spesialnya di mataku," sinis Alfin membuat Almira mencelos seketika. Tapi yang ia lakukan tetap mengangkat wajah dan menahan ekspresi sedihnya sebisa mungkin.
"Ya, Mas Alfin benar. Lagi pula, aku melakukannya untuk diriku sendiri bukan untuk siapapun. Kebetulan Mas Alfin memberiku uang, jadi aku menggunakannya dengan baik."
"Nona belanjaan ini?" tanya Bambang.
"Tolong bawakan ke dapur!" seru Almira diangguki Bambang. Pemuda itu sempat membungkuk sopan sebagai sapa pada Tuannya lantas membawa belanjaan Almira ke dapur.
"Aku masuk dulu, Mas! Mau mandi, kalau kamu lapar pesan saja makanan online, aku sudah makan sama Bambang dan Budi tadi."
Mendengar itu, Alfindra semakin geram.
"Kamu makan sama pengawal?" tanyanya dengan mata menajam.
Almira menoleh, langkahnya menuju belakang tertahan oleh suara Alfin yang meninggi.
"Kenapa? Bukannya disini aku cuma pelayan?"
Tanpa sengaja Bambang yang mendengar itu merasakan aura dingin mencekam di ruang tengah. Memilih keluar lewat pintu belakang dan mengintari halaman samping untuk sampai depan.
"Siapa yang bilang pelayan? Kamu istriku," tegasnya.
"Tugasmu melayaniku, suamimu!" tekan Alfindra.
"Mas sendiri yang bilang, dari awal aku nggak pantas. Mas menganggapku pelayan, menyuruhku tidur di kamar pelayan dan sekarang Mas Alfin bilang aku ini istrimu, hahaha lucu sekali, ya?" Entah kenapa, Almira lebih tenang menghadapi Alfindra.
"Kalau begitu, malam ini juga kamu tidur di kamarku! Penuhi hakku sebagai suami, kalau kamu memang mau dianggap istri."
Glekkk...
Almira membeku, memilih diam tak menjawab. Meneruskan langkahnya ke kamar belakang. Namun, belum juga juga meraih handle pintu. Suara Alfin sudah terdengar memenuhi ruangan.
"Kenapa diam, aku bisa membawamu paksa! Aku berhak melakukan apapun atas kamu," pekiknya.
Brakkk!
Almira menutup pintu kasar setelah masuk, memilih mengabaikan Alfindra yang terus meneriakinya.
"Dasar pria kejam," gumam Almira terduduk di lantai.
"Hello Almira, kamu masih beruntung karena di kamar pelayan ada kamar mandi dalam, kamu bisa menghindarinya paling tidak sampai besok," gumam Almira menenangkan diri. Ia melepas tasnya lalu mengunci pintu kamar. Gegas membersihkan diri.
Saking lelah dan mengantuk, Almira langsung merebahkan diri untuk istirahat. Ia hanya bisa berharap semoga Alfindra tak menggedor pintu kamar dan memarahinya.
Ngomong-ngomong soal marah, suami kejamnya itu sepertinya mulai berubah, tak seseram saat hari pertama Almira menjadi istrinya.
***
Pulas, Almira terlelap bersama mimpi indahnya. Melupakan sejenak kesedihan di dunia nyata dan memilih menyelami dunia mimpi yang lebih indah. Berharap, esok kala bangun bebannya sedikit berkurang.
Drrttt, bunyi ponsel membangunkan Almira di pagi buta.
Sepagi ini Anton menghubunginya, ada apa?
"Hallo, Pa?"
"Hallo, Al. Kapan kamu pulang? Sejak menikah dengan Alfindra kamu belum pulang. Papa sekarang tinggal di mansion, bagaimanapun itu semua berkat kamu. Pulanglah, menginap sehari atau dua hari." panjang lebar Anton bicara di sambungan telepon.
"Pulang, tapi Mas Alfindra lagi sibuk. Mungkin enggak bisa kalau sekarang, Pa."
"Kamu kan bisa pulang sendiri, toh Alfin bilang dia akan mengizinkan kamu pulang kalau memang kamu ingin pulang. Jangan lupakan papa, meski kamu sudah jadi istri King Alfindra."
"Oke, Pa! Aku nanti coba bilang Mas Alfin dulu," jawab Almira akhirnya.
Menghela napas, lalu melirik jam di ponselnya. Masih jam lima, tapi akhirnya Almira memilih keluar untuk menyiapkan sarapan.
Setelah menyiapkan beberapa menu sarapan, Almira membersihkan diri lalu ke lantai atas membangunkan Alfindra.
Belum juga mengetuk pintu, Alfin sudah lebih dulu membukanya membuat sepasang suami istri itu bersitatap.
"Sarapan siap, Mas!" detik berikutnya berbalik dan lebih dulu menghindar.
Greppp...
Alfin mencekal pergelangan tangannya membuat Almira terhuyung hilang keseimbangan. Namun, secepat kilat Alfin menahannya agar tak jatuh ke lantai.
"Ngapain mas pegang-pegang?"
Brukkk...
Alfindra melepas pegangannya membuat Almira langsung terjatuh ke lantai. Dress-nya tersingkap akan tetapi sejurus kemudian bangkit dan mengomeli Alfin.
"Ngapain dilepas, jatoh kan!"
"Kamu yang bilang jangan pegang-pegang." Alfin meninggalkannya turun begitu saja, lagi-lagi Almira dibuat kesal dengan sikap laki-laki itu yang seenaknya.