Ayla tumbuh sebagai gadis yang terasingkan di rumahnya sendiri. Sejak kecil, kasih sayang kedua orang tuanya lebih banyak tercurah pada sang kakak, Aluna gadis cantik yang selalu dipuja dan dimanjakan. Ayla hanya menjadi bayangan, tak pernah dianggap penting. Luka itu semakin dalam ketika ia harus merelakan cinta pertamanya, Arga, demi kebahagiaan sang kakak.
Tidak tahan dengan rasa sakit yang menjerat, Ayla memilih pergi dari rumah dan meninggalkan segalanya. Lima tahun kemudian, ia kembali ke ibu kota bukan sebagai gadis lemah yang dulu, melainkan sebagai wanita matang dan cerdas. Atas kepercayaan atasannya, Ayla dipercaya mengelola sebuah perusahaan besar.
Pertemuannya kembali dengan masa lalu keluarga yang pernah menyingkirkannya, kakak yang selalu menjadi pusat segalanya, dan lelaki yang dulu ia tinggalkan membuka kembali luka lama. Namun kali ini, Ayla datang bukan untuk menyerah. Ia datang untuk berdiri tegak, membuktikan bahwa dirinya pantas mendapatkan cinta dan kebahagiaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cumi kecil, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 35 PINDAH RUMAH.
Rumah besar di kawasan elit itu berdiri megah namun tidak berlebihan. Paduan marmer putih dan kaca besar membuatnya tampak elegan tapi hangat. Begitu memasuki gerbang utama, Alya sempat berhenti sejenak. Ada sesuatu dalam hatinya yang bergetar perasaan aneh antara gugup, bingung, dan… mungkin sedikit bahagia.
“Selamat datang di rumahmu, Alya,” ucap Sam lembut di sampingnya.
Alya menatap sekeliling. Langit-langit tinggi, dinding berlapis kayu krem, dan aroma lilin wangi vanila memenuhi udara. Di tengah ruang tamu, sebuah vas berisi bunga mawar merah segar berdiri indah di atas meja kaca.
Rumah ini terasa terlalu nyaman… bahkan terlalu hangat untuk hatinya yang selama ini dingin.
“Aku tidak tahu harus berkata apa,” ujar Alya pelan.
Sam tersenyum, langkahnya ringan mendekat. “Kau tidak perlu berkata apa pun. Cukup nikmati. Ini bukan rumahku lagi… ini rumah kita.”
Kata kita membuat Alya terdiam. Begitu sederhana, tapi begitu dalam maknanya. Ia terbiasa hidup dengan rasa terasing, bahkan di rumah sendiri. Kini, ada seseorang yang mengajaknya berbagi tempat, tanpa syarat, tanpa syarat balas budi.
Malam mulai turun perlahan. Alya berdiri di balkon kamar yang luas, memandangi gemerlap lampu kota yang tak pernah tidur. Angin malam mengibaskan rambutnya yang terurai. Suasana begitu tenang, namun di dalam dadanya, ada sesuatu yang berdebar pelan.
Tiba-tiba terdengar suara langkah lembut di belakang. Sam datang membawa dua cangkir coklat hangat.
“Aku pikir kamu masih belum terbiasa minum wine setelah kejadian malam itu,” katanya sambil tersenyum kecil.
Alya menoleh, menerima cangkir itu. “Kamu ingat?”
“Tentu. Aku ingat semua tentangmu. Bahkan caramu menatap kosong ke luar jendela waktu itu.”
Alya terdiam. Pandangan matanya beralih ke bawah, ke cangkir di tangannya yang mengepulkan uap. “Aku tidak terbiasa diingat, Sam. Aku terbiasa dilupakan.”
Sam tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, lalu berkata pelan, “Maka biarkan aku yang mengingatmu. Setiap sisi dari dirimu.”
Kalimat itu sederhana, tapi terasa menenangkan. Alya memejamkan mata sejenak. Untuk pertama kalinya, ada seseorang yang tidak mencoba menasihati atau menghakimi hanya hadir dan memahami.
Setelah beberapa saat, Sam menarik tangan Alya dengan lembut. “Aku ingin menunjukkan sesuatu,” katanya. Ia membawanya ke ruang musik kecil di lantai bawah. Di sana, sebuah grand piano hitam berdiri anggun.
“Aku sering bermain di sini setiap malam,” ujar Sam sambil duduk di depan piano. “Sekarang, aku ingin memainkannya untukmu.”
Alya menatapnya heran. “Kamu bisa main piano?”
Sam tertawa kecil. “Sedikit-sedikit. Dulu ibuku guru musik.”
Lalu jemarinya menari di atas tuts piano, menciptakan melodi lembut yang memenuhi ruangan.
Alya terpaku. Suara musik itu seperti menyapu bersih semua bayangan masa lalunya luka, penghinaan, dan air mata. Ia menutup mata, membiarkan dirinya hanyut dalam irama.
Ketika lagu berakhir, Sam menatapnya lembut. “Untukmu, istriku.” Nada suaranya tidak menuntut, tidak menguasai. Hanya ada kehangatan tulus yang membuat hati Alya melembut.
Beberapa jam kemudian, mereka duduk berdua di ruang tengah. Sam memesan makanan favorit Alya steak medium rare dan salad dengan dressing lemon.
“Bagaimana kamu tahu aku suka lemon?” tanya Alya heran.
“Aku memperhatikanmu,” jawab Sam santai sambil tersenyum kecil. “Waktu di restoran, kamu selalu memilih minuman yang ada rasa asamnya. Aku tahu kamu suka sesuatu yang segar.”
Alya menatapnya lama. “Kamu memperhatikanku bahkan sebelum aku sadar.”
“Bagaimana mungkin aku tidak memperhatikan wanita yang selalu memikat mataku?” Ucapan itu membuat pipi Alya sedikit panas, meski ia berusaha menahan senyum.
Makan malam itu terasa berbeda. Tidak ada ketegangan, tidak ada luka lama yang harus disembunyikan. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Alya tertawa kecil tulus, tanpa kepura-puraan.
Usai makan, Sam mengantarnya kembali ke kamar.
Begitu pintu tertutup, suasana berubah menjadi hening.
Alya berdiri memunggungi Sam, menatap cermin besar di depan ranjang. Wajahnya yang dulu selalu keras kini tampak lembut diterpa cahaya lampu.
“Alya…” suara Sam terdengar pelan, nyaris seperti bisikan.
Alya berbalik perlahan, menatapnya.
Sam mendekat dengan langkah tenang. Ia tidak terburu-buru, tidak memaksa. Tangan kanannya terulur, menyentuh pipi Alya dengan lembut.
“Jika kamu tidak siap… aku tidak akan menyentuhmu malam ini,” katanya lirih. “Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku benar-benar menghargaimu.”
Alya menatapnya, dan di detik itu, sesuatu di dalam dirinya retak dinding keras yang ia bangun selama ini runtuh sedikit demi sedikit.
Air matanya menetes tanpa ia sadari. “Kamu terlalu baik, Sam. Aku bahkan tidak yakin pantas mendapatkan semua ini.”
Sam menggeleng pelan, menghapus air matanya dengan ibu jarinya. “Kamu pantas mendapatkan kebahagiaan, Alya. Kamu hanya terlalu lama hidup di antara orang-orang yang membuatmu percaya bahwa kamu tidak pantas.”
Kata-kata itu menghantam hatinya. Ia tidak sanggup lagi menahan emosi. Dengan gerakan spontan, Alya memeluk Sam. Untuk pertama kalinya, pelukan itu bukan karena rasa kehilangan atau dendam, melainkan karena keinginan untuk merasa dicinta.
Malam itu berlalu perlahan.
Tidak ada paksaan, tidak ada ketergesaan hanya dua jiwa yang saling memahami, saling menenangkan.
Alya tidak tahu kapan tepatnya ia tertidur di pelukan Sam, tapi sebelum matanya terpejam, ia sempat berbisik, “Mungkin… aku bisa belajar mencintaimu.”
Sam tersenyum, mengecup keningnya. “Aku tidak akan kemana-mana. Aku akan menunggu, Alya.”
...----------------...
Pagi menjelang. Cahaya matahari menembus tirai, membangunkan Alya dari tidur. Tubuhnya terasa ringan, jiwanya lebih damai dari sebelumnya. Di meja dekat ranjang, sudah ada sarapan roti panggang, omelet lembut, dan secangkir teh hangat. Di atas nampan itu, selembar kertas kecil bertuliskan tulisan tangan Sam.
“Selamat pagi, istriku. Hari ini, aku ingin kamu tersenyum tanpa alasan.
Sam.”
Alya memegang kertas itu lama, lalu tersenyum kecil.
Tanpa sadar, ingatannya tentang Arga mulai memudar.
Wajah, suara, dan kenangan manis Arga yang dulu begitu membekas kini perlahan tergantikan oleh satu sosok yang jauh lebih tulus.
Tuan Sam pria yang datang tanpa janji besar, tapi memberi kehangatan yang tak pernah Alya dapatkan sebelumnya.
Hari itu, untuk pertama kalinya, Alya benar-benar merasa menjadi seseorang yang dicintai bukan karena kepura-puraan, tapi karena dirinya sendiri.
Dan mungkin, di antara segala luka dan permainan masa lalu, inilah awal dari penyembuhan yang sesungguhnya.