Aura Mejalani hubungan dengan kekasihnya selama dua tahun, dan mereka sudah merencanakan sebuah pertunangan, namun siapa sangka jika Aura justru melihat sang kekasih sedang berciuman di bandara dengan sahabatnya sendiri. Aura yang marah memiliki dendam, gadis 23 tahun itu memilih menggunakan calon ayah mertuanya untuk membalaskan dendamnya. Lalu apakah Aura akan terjebak dengan permainannya sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Al-Humaira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Ruangan Haikal
"Tapi kamu tidak perlu menjemputnya, aku sudah membawanya kesini." Ucap Enggar sambil menyesap minumannya.
Haikal menyipitkan matanya, "Maksud kamu apa?"
Enggar berdecak lidah, "Ben, apa bosmu kebanyakan makan oncom sehingga membuat otaknya bekerja lambat."
Beni hanya mengedikkan bahunya, ia tak memberi tanggapan karena takut akan kemarahan bosnya, Haikal kalau sudah marah lupa daratan.
"Sialan kau!" Haikal mengeram kesal.
Bugh
Haikal melempar majalah di atas meja pada Enggar, tapi pria itu cekatan untuk menangkisnya, Kalau tidak wajahnya yang akan menjadi sasaran.
"Aura datang bersama ku, tadi dia ijin ke toilet, ehh.. tapi kok lama ya, ini sudah hampir dua puluh menit." Enggar menatap jam tangan mahalnya yang melingkar ditangan.
"Kamu tidak bercanda kan Enggar!"
Enggar menggeleng dengan wajah kesal, "Enggak Kal, coba kamu cek ke toilet, seharunya dia sudah kembali."
Tanpa disuruh dua kali dan dengan langkah tergesa Haikal keluar dari ruangan untuk menyusul Aura.
"Aku akan cek cctv-nya." Beni bergerak dengan cepat, dia hanya khawatir jika terjadi sesuatu dengan Aura. Karena Beni tahu masalah yang Haikal hadapi dengan Mario dan Aura.
Enggar mengangguk, ia menggeser duduknya untuk dekat dengan Beni setelah pria itu mengambil laptopnya.
"Aura! Kamu didalam!" Haikal mengetuk pintu toilet umum di lantai ruangannya.
Sadar akan sepi dan sudah jam pulang, Haikal langsung menerobos masuk.
"Aura!"
Haikal membuka tiga bilik pintu toilet itu, namun tak menemukan Aura di sana.
"Aura, kamu dimana!" Haikal terus memanggil.
Wajahnya sudah panik bercampur marah, hingga saat dirinya keluar langkahnya terhenti saat melihat sebuah tas tergeletak didekat pot bunga besar.
"Ini kan," Haikal meremas kuat tas selempang milik Aura.
Tidak mungkin gadis itu membuang tasnya begitu saja, wajah Haikal menjadi gelap, tatapannya begitu tajam bak pedang yang siap untuk menyayat siapa saja.
"Bos!"
Beni dan Enggar datang dengan tergesa, keduanya melihat Haikal yang berjongkok sambil memegang tas.
"Nona Aura, bertemu dengan Mario."
Deg
Seperti jemuran yang di peras, jantung Haikal berdegup kencang seperti ingin lepas dari tempatnya, dadanya sesak bak di remas-remas.
"Kemana baji*ngan itu membawanya," Ucap Haikal dengan suara yang begitu dingin, tatapannya membuat dua orang didepanya membeku.
Enggar dan Beni bahkan bisa merasakan aura mencekam saat mendengar suara Haikal.
"Ke lorong bawah."
Tanpa menunggu lama ketiganya menuju tempat yang menjadi dugaan Beni, beruntung Beni melihat cctv lebih dulu, jadi mereka tak membuang waktu untuk mencari Aura.
Sepi, senyap dan hening, langkah kaki ketiganya membuat suara besing yang menggema di lorong yang tidak pernah di lewati itu.
"Awas saja kau Mario!" Geram Haikal dengan kedua tangan terkepal erat, tatapan matanya memerah dengan sorot kemarahan yang begitu mengerikan. Jika orang melihat pasti mereka sudah pucat dan berkeringat dingin parahnya lagi mereka bisa pingsan mendadak sangking takutnya.
"Gudang kosong bos."
Beni maju lebih dulu, kakinya menendang pintu gudang yang sebelumnya terkunci, dengan sekali tendang dan kekuatan penuh, pintu itupun langsung terbuka dengan kerusakan yang fatal.
Brak!!
Mata Haikal menajam, dadanya begitu sesak dengan ribuan jarum seperti menusuk tepat di ulu hatinya, melihat Aura tergeletak di lantai dengan wajahnya yang sangat pucat dan mengenaskan.
"Aura!"
*
*
Haikal berdiri mondar mandir gelisah didepan pintu UGD. Enggar yang melihat tak bisa berucap apapun, sejak tadi dirinya sudah mencoba menenangkan Haikal tapi usahanya sia-sia.
Hingga lebih dari tiga puluh menit dokter baru saja keluar ruangan membuat Haikal langsung memberondong pertanyaan.
"Dokter bagaimana keadaanya, apa dia baik-baik saja, Dok?"
Kecemasan dan ketakutan terlihat jelas di wajah Haikal, pria itu tak bisa menutupi rasa takutnya mengenai keadaan Aura. Bahkan rasanya Haikal begitu sulit bernapas saat melihat keadaan Aura yang begitu menyedihkan. Jiwanya serasa terhempas ke tepi jurang.
Dokter menghela napas dalam, membuat Haikal semakin diliputi rasa cemas.
"Kondisinya masih kritis, dia memiliki alergi dengan debu, dan kali cukup serius," Tutur sang dokter.
Tubuh Haikal membeku, matanya terpejam merasakan sesak yang begitu menyakitkan di dada, rasanya ia sangat kesulitan hanya untuk menghirup udara.
Enggar mengusap punggung Haikal untuk menguatkan, ia tahu betapa Haikal mengkhawatirkan Aura.
"Untuk sekarang pasien tidak bisa di ganggu, kami akan mengawasi nya untuk beberapa jam kedepan sampai kondisinya stabil."
"Lakukan yang terbaik, Dok." Ucap Haikal dengan suara bergetar menahan sesak di dada.
Dokter itupun kembali masuk untuk menjalankan tugasnya.
"Kita hanya bisa berdoa untuk kesembuhan Aura," ucap Enggar.
Haikal mengambil ponselnya untuk menghubungi seseorang, wajahnya tampak dingin dengan rahang mengeras, melihat itu Enggar yakin, tak akan ada yang selamat orang yang sudah membangunkan macan tidur.
'Dia baik, tapi dia juga bisa mengerikan saat ketenangannya di usik,' Batin Enggar.
Siapa yang tak mengenal Haikal Arsya Ravindra. Semua pebisnis juga tahu bagaimana seorang Haikal yang begitu disegani dalam dunia bisnis. Namanya menjadi momok tersendiri bagi musuhnya, siapa yang berani mengusik mereka pasti akan berakhir tak berguna. Namun Mario tak mengetahui sisi iblis yang bersemayam dalam tubuh pria tampan rupawan itu, Mario hanya melampiaskan rasa marahnya tanpa tahu akibat yang akan ia rasakan.
Bahkan untuk saat ini pria itu sudah merasakannya.
Didalam gedung ruangan luas namun tak memiliki penerangan yang cukup, Mario duduk di kursi besi dengan tubuhnya yang terikat, wajahnya sudah bebaek belur, sudut mulutnya luka dan berdarah.
Mario terlihat begitu menyedihkan.
"Lepaskan kau! Kalian akan tahu akibatnya sudah berani menculik ku!" Teriak Mario dengan napas tersengal, rasa sakit menjalar di tubuhnya setelah beberapa orang tadi memukulinya seperti samsak.
"Berhentilah berteriak, kau berisik!" Ucap salah satu pria berbadan besar dengan wajah menyeramkan, ada bagian bekas jahitan yang melintas di area mata, membuat pria itu terlihat begitu menyeramkan.
"Hey..kau tidak tahu aku siapa! Kau menculik orang yang salah! Jika Papa ku tahu kalian pasti akan mati!' teriak Mario lantang dengan wajah pongah.
Mario lupa, jika dirinya sudah melakukan kesalahan yang fatal.
Hahaha
Ketiga orang didalam sana tertawa bersama, mereka menganggap ucapan Mario adalah sebuah lelucon yang lucu.
"Memangnya siapa kau! Sampai papamu itu akan melindungi mu."
Mario berdecak, " Kalian akan menyesal, aku adalah putra Haikal Arsya Ravindra!" Ucapnya jumawa.
"Aku tidak memiliki anak sepertimu baji*ngan!"
Deg
Tubuh Mario menegang, dia hafal betul suara itu. Tentu saja dia hafal karena yang berjalan mendekatinya adalah seorang Haikal Arsya Ravindra, seorang pria yang sudah ia panggil 'Papa'.
"Papa, kamu datang!" Ucap Mario dengan mata berbinar.
Meskipun tubuhnya terasa dingin saat melihat tatapan Haikal yang seperti pedang berlaras panjang.
"Ya, tentu saja aku datang."
Haikal berjalan santai sambil meremas-remas jemari tangannya, gerakannya begitu pelan jika diperhatikan Haikal seperti melakukan pemanasan sebelum tangan itu bertindak.
Mario menelan ludah, bukanya senang kini wajahnya memucat.
"P-pa," lirihnya dengan tatapan takut.
"Cih, badan doang gede, nyalinya kerupuk," Gumam Beni yang berdiri di samping bawahnya.
"Melempem dong bos." Ucap pria berwajah menyeramkan itu.
Mata Beni mendelik tajam membuat pria itu menutup mulutnya rapat-rapat.
'Bos besar sama bos kecil sama saja,' Batin pria menyeramkan itu.
Bugh
Akhh
"Usshh... pasti itu rahangnya keseleo." Ucap Beni sambil menyentuh rahangnya sendiri merasa ngilu.
"Kaki kali ah bos, keseleo."
"Ck, kau bisa diam tidak!" Hardik Beni dengan tatapan setajam perselingkuhan matan.
Darah segar muncrat dari mulut Mario, pemuda itu terbatuk-batuk dengan kepala tertunduk.
"Kau berani menyentuh milikku."
Mario merasakan separuh nyawanya di cabut paksa, ia tak menyangka akan merasakan sakit luar biasa seperti ini.
"Ternyata aku salah memungut seekor anjing menyedihkan di pinggir jalan, nyatanya anjing itu tak tahu balas budi dan justru mengigit."
Ucapan Haikal membuat dada Mario sesak, ia tahu apa yang membuat Papa nya marah, tapi Mario tetap menolak untuk disalahkan, pemuda itu tetap bicara dengan bodohnya.
"Papa kau hanya dibutakan oleh sosok ular seperti Aura! Kau tidak tahu bagaimana piciknya wanita itu. Kau tidak tahu betapa busuk hatinya sampai merayu mu, ayah dari kekasihnya sendiri!"
Bugh
Akhhh
Mario kembali kesakitan, mata tajam Haikal tak menyurut, justru emosinya semakin memuncak saat Mario melayangkan fitnahnya.
"Kau lupa jika wanita licik yang kau sebut adalah calon istriku! Kau siapa sehingga berani bicara seperti itu! Kau hanya manusia yang bodoh dan tidak tahu berterima kasih!"
Bugh
Arrghh
"Ini untuk kesakitan yang Aura alami,"
Bugh
Arrghh
"Ini, karena kau sudah berani menyentuh milikku!"
Bugh
"Dan ini untuk anak baji*ngan sepertimu!"
Seketika tubuh Mario terpental bersama kursi yang menempel pada tubuhnya, pemuda itu sudah tak sadarkan diri setelah pukulan terakhir mengenai ulu hatinya.
Napas Haikal memburu, dadanya naik turun dengan tatapan tak surut.
Cih
Haikal meludah setelah mengibaskan tangannya seperti ada kotoran yang menempel, lalu pria itu pergi.
"Bawa dia kerumah sakit!" Titahnya sebelum meninggal bangunan kosong itu.
"Iblisnya masih baik, Jhon." Ucap Beni pada pria menyeramkan itu bernama Jhoni.
"Mungkin, terlalu sayang jika dihabisi bos."
Beni mengangguk saja, "Urus dia!" Titahnya yang juga langsung pergi mengikuti Haikal.