Hamil atau tidak, Danesh dengan tegas mengatakan akan menikahinya, tapi hal itu tak serta merta membuat Dhera bahagia.
Pasalnya, ia melihat dengan jelas, bagaimana tangis kesedihan serta raungan Danesh, ketika melihat tubuh Renata lebur di antara ledakan besar malam itu.
Maka dengan berat hati Dhera melangkah pergi, kendati dua garis merah telah ia lihat dengan jelas pagi ini.
Memilih menjauh dari kehidupan Danesh dan segala yang berhubungan dengan pria itu. Namun, lagi-lagi, suatu kejadian kembali mempertemukan mereka.
Akankah Danesh tetap menepati janjinya?
Bagaimana reaksi Danesh, ketika Dhera tetap bersikeras menolak lamarannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#22. Di Kamar Yang Sama•
#22
Dhera duduk merenung di ayunan yang berada di taman depan rumah milik orang tua Danesh, baru saja ia berhasil menghabiskan porsi kecil makan malamnya.
Walau kesal luar biasa, karena sepanjang hari tak mendengar kabar apa-apa, tapi tetap saja Dhera menunggu pria itu kembali. Hingga ia urung memejamkan mata, malah duduk di ayunan untuk mencari udara segar.
Mencoba bertanya pada bibi Manda pun percuma, karena wanita itu benar-benar menutup mulutnya rapat-rapat.
Sepanjang hari ini, Dhera tak bisa memejamkan mata walau tubuhnya berbaring, padahal ia butuh banyak istirahat agar pergelangan kakinya bisa pulih lebih cepat.
Tapi Dhera justru semakin kesal memikirkan Danesh yang pergi tanpa pamit, ia merasa seolah ditinggalkan setelah berhasil dirayu habis-habisan.
“Awas saja nanti kalau Dia kembali,” gerutu Dhera, hingga tanpa sadar ia meremass ponselnya sendiri.
Dhera terkejut ketika tiba-tiba ponsel di genggaman tangannya berdering, dengan wajah girang, Dhera bergegas memeriksa layar ponselnya, namun senyumnya redup ketika melihat nama penelepon nya.
“Hmmm … “ jawabnya malas, karena si penelepon adalah Dhesi adiknya.
“KAKAK!!!” jerit Dhesi dari ujung sana.
“Duuh, jangan teriak-teriak kenapa sih,” jawab Dhera, sembari menjauhkan ponsel dari telinganya.
“Waahh … Aku baru pulang kerja, belum mandi, belum makan. Tapi aku sempatkan menelepon Kakak karena terlalu senang.”
“Kenapa? Baru dapat bonus?” tanya Dhera.
“Ish … ini bukan tentangku, tapi tentang Kakak, dan … “ Dhesi menggantung kalimatnya.
“Dan apa?”
“Hmmm … pura-pura gak tahu,” ledek Dhesi.
“Selamat yah, sudah jadi istri orang sekarang.”
Deg!
Dhera menegakkan posisi duduknya, padahal sebelumnya Ia bersandar malas di kursi ayunan. Dadanya bergemuruh karena terkejut, masih belum percaya apa yang baru saja ia dengar dari Dhesi. “A-apa maksudmu, Dhes?”
“Iya, Kak, beneran, baru tadi siang ijab nya, Simbok yang cerita, tapi … sebelum itu … “ Kalimat Dhesi kembali terjeda.
Membuat Dhera semakin penasaran dengan cerita selengkapnya, hubungannya dengan kedua orang tuanya memang tak terlalu dekat, karena banyak hal dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya.
Tapi keberadaan Dhesi, seolah mampu menjadi benang penghubung antara Dhera, ayah, serta ibunya. Sifatnya ramah, dan juga ceria, walau sedikit manja, tapi sejauh ini Dhesi tak pernah berlebihan walau ia mendapatkan perhatian lebih dari bu Rita.
“Suami kakak … mmm kata Simbok dia Kang Kurir, beneran?” Dhesi memastikan.
“Iya, beneran.” Dhera menjawab asal karena tak sabaran.
“Dia dipukuli Ayah, bahkan hampir di hajar pakai stik golf,” ujar Dhesi pelan, dengan suara tertahan.
Dhera menutup kedua matanya, ia bisa bayangkan seperti apa rasanya, karena tahu bahwa ayahnya bukan orang sembarangan dalam hal ilmu beladiri. Karena guru pertama yang mengajari Dhera cara melindungi diri adalah ayah Randi.
Dan Danesh bukan tak bisa melawan, bisa ditebak pria itu pasti tak mau melawan, karena dia ingin membuktikan bahwa kata-katanya bukan sekedar omong kosong, tapi nyata dalam sikap dan perbuatannya.
Cinta, memang belum bisa ia berikan sepenuhnya, tapi kala itu, Danesh mengatakan bahwa ia mau membuka hati, apalagi untuk wanita yang menjadi pendamping hidupnya.
Danesh juga mengaku bahwa selama ini, ia menjadi orang bodoh, yang tanpa sadar telah menutup hatinya, acuh dengan cinta, dan menganggap bahwa Renata adalah segalanya, egonya, serta segala ambisi dan cita-cita cintanya.
Tapi ternyata, sekeras apapun Danesh berusaha, tak ada yang mampu mengalahkan takdir Tuhan bagi setiap hambanya. Garis takdir Renata memanglah bersama Gerald, jadi sekeras apapun Danesh berusaha, hal itu tak merubah apapun.
Kini siapa yang beruntung menjadi wanita yang akan dicintai dan diperjuangkan secara ugal-ugalan oleh Danesh, dia lah yang kini terpaku di kursi ayunan, wanita yang tengah mengandung anak-anaknya
Pantas Danesh tak memberitahukan kemana dia akan pergi, dan untuk urusan apa, karena sebagai laki-laki Danesh pasti ingin menanggung semuanya seorang diri. Penuh totalitas demi menghalalkan dirinya, serta menjadi pelindung keluarganya kelak.
“Kak? Kok diam?”
“Lalu, sekarang dia dimana?”
“Entahlah Kak. Simbok bilang, setelah akad, Kakak ipar dan keluarganya langsung pamit pulang.”
“Baiklah, terima kasih yah, sudah mau mengabari Kakak.”
“Hmm … Janji yah, Kakak jangan hilang-hilang lagi? Aku seneng bisa sering telepon Kakak sewaktu-waktu kayak gini.”
“Iya, lagi pula Kakak ingin hidup normal, pekerjaan lama Kakak, tak lagi memungkinkan jika kelak anak-anak Kakak lahir. Selain itu, Kakak memang sudah lama ingin mengundurkan diri.”
“Syukurlah, Aku senang Kak. Pokoknya selamat yah, Aku siap menunggu kapanpun Kakak kembali ke Jakarta bersama Kakak ipar,” pekik Dhesi tak sabar. “By the way … memang Kakak ipar beneran seorang kurir?” 🤧
•••
Dua jam penerbangan, Danesh pasrah ketika sepanjang perjalanan diberi perawatan oleh petugas medis yang ikut terbang bersamanya.
Bahkan setelah tiba di changi, paman Eric membawanya ke Emergency Room, karena Dean sudah menunggu di sana.
“Aduuhh kenapa lagi Aku di bawa kesini?” rengek Danesh kesal, ia sudah ingin pulang dan tak sabar memeluk istri barunya. Tapi Dean justru membawanya melakukan pemeriksaan lengkap, takut-takut jika ada tulang retak, atau organ dalam yang terluka, namun tak terdeteksi sejak dini.
“Sudah, diam dan ikuti saja prosedur pemeriksaan, percuma kamu punya istri sehat dan cantik, tapi karena sakit, kamu tak bisa melakukan apa-apa padanya selain memandang.”
Tepat sasaran, dan seketika membuat Danesh diam dan tak banyak bicara, apalagi membantah. karena memang kesehatan adalah segala-galanya.
Danesh langsung dibawa ke ruang pemindai CT untuk mengetahui keseluruhan kondisi tubuhnya, ia benar-benar diam tak banyak protes, agar semua proses panjang ini segera berakhir.
Dan cukup melegakan karena tak ada luka di bagian dalam, hanya lebam cukup parah terlihat di wajah serta perut dan dadanya.
“Setelah pelatihanku selesai, Aku akan mampir ke rumah, sebelum pulang ke Jakarta,” ujar Dean ketika mengantar Danesh kembali ke mobil.
“Hmmm … “ jawab Danesh dengan suara pelan, ia sudah sangat lelah dan mengantuk. Hari ini benar-benar hari yang panjang dan melelahkan, namun sepadan dengan hasil manis yang ia dapatkan.
“Istirahatlah, jangan lupa minum obat dengan benar.” Sekali lagi, Dean mengingatkan.
Danesh mengangguk sembari menutup pintu mobil. “Hati-hati, Paman,” pesan Dean pada paman Eric. Pria itu mengangkat jempol tangannya, sambil berlari kecil ke sisi kursi pengemudi.
Suasana rumah sudah sunyi ketika Danesh dan paman Eric kembali tiba di rumah. “Terima kasih, Paman.” Danesh menutup pintu mobil kemudian berjalan masuk ke rumah.
Hanya redup lampu malam yang menerangi sekeliling ruang tengah yang Danesh lalui. Tanpa ragu ia masuk ke kamarnya yang kini ditempati Dhera, jika malam sebelumnya, ia sengaja tidur di kamar tamu, kali ini ia bisa tidur di kamar yang sama dengan istri yang baru beberapa jam lalu ia nikahi. 🤭
Danesh menutup pintu secara perlahan, hawa dingin ruangan tersebut menyambut kedatangannya, syukurlah Dhera tak kesulitan tidur. Bahkan terlihat sangat lelap di balik selimut hangat yang menutupi tubuhnya.
Sebelum berbaring, Danesh membersihkan diri dulu dengan air hangat, sekujur tubuhnya terasa sakit, namun ia abaikan, karena tubuhnya pun terasa lengket akibat keringat, bercampur debu sepanjang perjalanan.
Tangannya menyingkap selimut secara perlahan, kemudian mulai berbaring di sisi kosong tempat tidur. Dhera tidur miring menghadap ke arah Danesh, gaya tidurnya pun cukup apik, tidak melintang kesana kemari, padahal ketika dalam kondisi bangun, Dhera adalah wanita yang luar biasa aktif bergerak.
Danesh membenahi letak selimut Dhera yang sedikit tersingkap hingga memperlihatkan bagian atas tubuhnya yang terbungkus gaun tidur tipis tanpa lengan. Kedua matanya mulai lancang menatap, menikmati pemandangan yang sebelumnya terlarang untuk ia nikmati, namun sudah pernah ia jelajahi sesuka hati. 🤧
Tiba-tiba, tangan Dhera mencari-cari guling yang sejak awal tidur ia peluk, tapi karena Danesh menyingkirkan benda tersebut, maka kini lengan Dhera tanpa sadar memeluk tubuhnya, bukan hanya lengan, kaki wanita itu pun turut serta melakukan hal serupa.
Glek