Menceritakan perjalanan raja iblis tak terkalahkan yang dulu pernah mengguncang kestabilan tiga alam serta membuat porak-poranda Kekaisaran Surgawi, namun setelah di segel oleh semesta dan mengetahui siapa dia sebenarnya perlahan sosoknya nya menjadi lebih baik. Setelah itu dia membuat Negara di mana semua ras dapat hidup berdampingan dan di cintai rakyat nya.
Selain raja iblis, cerita juga menceritakan perjuangan sosok Ethan Valkrey, pemuda 19 tahun sekaligus pangeran kerajaan Havana yang terlahir tanpa skill namun sangat bijaksana serta jenius, hidup dengan perlakukan berbeda dari ayahnya dan di anggap anak gagal. Meskipun begitu tekadnya untuk menjadi pahlawan terhebat sepanjang masa tak pernah hilang, hingga pada akhirnya dia berhasil membangkitkan skill nya, skill paling mengerikan yang pernah di miliki entitas langit dengan kultivasi tingkat tertinggi.
Keduanya lalu di pertemukan dan sejak saat itu hubungan antara bangsa iblis dan ras dunia semakin damai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NAJIL, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
12
Kebahagiaan yang tak terlukiskan menerpa hati Raja Iblis saat melihat sosok ibu yang paling ia cintai, Dewi Hestia, hidup dalam kegembiraan bersama para dewi lainnya. Ia terpaku, matanya tak berkedip, menyerap setiap momen keindahan itu. Selama ini, prasangka gelap selalu membayangi pikirannya—bahwa arwah Maha Dewi Hestia mungkin tidak tenang, terus terbelenggu oleh rasa sakit dan penghinaan akibat hukuman mati yang kejam.
Namun, pemandangan ini menghapus semua prasangka itu. Senyuman Dewi Hestia begitu lembut, penuh ketenangan yang seolah menembus ke dalam jiwanya. Ia menari dengan riang, bebas dari beban masa lalu, seolah tak ada jejak luka yang pernah tercipta.
Raja Iblis merasakan sesuatu yang jarang, atau bahkan mungkin belum pernah ia rasakan—ketenangan. Untuk pertama kalinya, hatinya yang selama ini dipenuhi amarah dan dendam terasa ringan. Ia tahu kini, kebahagiaan Maha Dewi bukan hanya ada, tetapi juga nyata.
Tak peduli betapa berat penderitaannya, atau seberapa besar pengorbanan yang harus ia lakukan, Raja Iblis tahu satu hal: kebahagiaan Dewi Hestia akan selalu menjadi yang utama. Ia rela menyerahkan segalanya, bahkan dirinya sendiri, demi melihat senyuman itu tetap terpancar.
Wajahnya tak berpaling sedikit pun, seolah waktu berhenti. Ia terus memandang sosok Dewi Hestia yang menari dengan anggun, disinari oleh cahaya lembut yang berasal dari alam Khayangan itu sendiri. Ingatannya perlahan mengalir, membawa kembali cerita-cerita masa lalu yang pernah mereka bagi.
Senyuman Dewi Hestia mengingatkannya pada saat-saat sederhana, namun penuh makna—saat ia masih menjadi seorang anak yang rentan, terjatuh, dan selalu kembali pada pelukan ibunya. Itu adalah senyuman yang dulu memberinya kekuatan untuk bangkit, untuk terus maju meski dunia begitu keras padanya.
“Ibu…” gumamnya pelan, hampir seperti bisikan yang takut menghancurkan keheningan. Namun, air matanya terus jatuh, membasahi wajah yang biasanya dipenuhi kesombongan dan kekuatan. Tidak ada kehancuran, tidak ada dendam, hanya ada kehangatan yang perlahan mengisi setiap sudut jiwanya.
Untuk sesaat, Raja Iblis tidak lagi merasa seperti seorang penguasa yang ditakuti. Ia hanyalah seorang anak, memandang ibunya dengan rasa rindu dan cinta yang selama ini ia pendam dalam-dalam.
Ingatan itu menyeret Raja Iblis kembali ke masa kecilnya, ke saat-saat paling bahagia dalam hidupnya. Sebuah momen sederhana yang tak pernah ia lupakan—hari ketika ia mendapatkan nama baru.
“Kau sudah tumbuh besar,” kata Dewi Hestia lembut, suaranya seperti alunan angin yang menenangkan. “Mulai saat ini, ibu akan memanggilmu Enzo.”
“Aku? Enzo?” tanya Raja Iblis kecil, matanya berbinar penuh kegembiraan.
“Ya, mulai saat ini, namamu adalah Enzo!”
Mendengar itu, Enzo kecil melompat-lompat penuh sukacita. Ia berlari kesana kemari, mengulang-ulang namanya dengan semangat yang tak terkendali. “Aku Enzo! Aku Enzo sekarang!” serunya sambil tertawa lepas, membuat Dewi Hestia tersenyum lembut. Senyum itu—penuh kelembutan dan kehangatan—adalah pemandangan terindah bagi Enzo kecil.
Dewi Hestia, dengan wajah cantik dan aura yang memancarkan aroma harum bunga Wisteria, adalah sosok yang penuh kasih sayang. Setiap senyumnya adalah pengingat bagi Enzo kecil bahwa ia adalah anak yang istimewa.
Beberapa tahun kemudian, Enzo yang masih kecil berlari ke hadapan Dewi Hestia dengan membawa tubuh seekor beruang raksasa. Ia tampak kotor dan penuh keringat, tetapi matanya bersinar bangga. “Ibu! Aku berhasil mengalahkan beruang raksasa ini! Bagaimana? Apakah aku sudah tumbuh lebih kuat?” serunya penuh semangat.
“Bagus sekali! Kau memang hebat, Enzo!” jawab Dewi Hestia dengan senyum kagum yang sama seperti dulu.
Enzo kecil merasa seperti pahlawan setiap kali melihat ibunya tersenyum. Ia tahu, apapun yang terjadi, menjaga kebahagiaan ibunya adalah tujuan tertinggi dalam hidupnya. Bahkan lebih penting daripada kebahagiaannya sendiri.
Hari lain, ia pulang dengan tubuh penuh luka dan goresan, tetapi membawa sebuah kalung dari permata kerang besar. “Lihatlah, Ibu! Aku berhasil membuatkan mu kalung ini! He-he-he,” katanya bangga, meski napasnya tersengal.
Dewi Hestia terkejut melihat kondisi Enzo. Ia segera menghampirinya, memeluknya dengan cemas. “Enzo! Mengapa kau sampai repot-repot seperti ini? Tunggu, biarkan ibu mengobati lukamu!” katanya dengan nada penuh kekhawatiran.
Saat ia membersihkan luka-luka di tubuh Enzo, air mata perlahan jatuh dari matanya, membasahi pangkuan Enzo. Melihat itu, Enzo kecil tiba-tiba merasa bersalah. Ia memegang tangan ibunya, wajahnya berubah sendu.
“Maafkan aku, Ibu. Aku berjanji tidak akan melakukan hal bodoh seperti ini lagi. Tolong, hentikan tangisanmu!” katanya penuh penyesalan, hampir menangis.
Dewi Hestia menggeleng pelan, menyeka air matanya. “Tidak perlu minta maaf, Nak. Kalung ini… sangat indah. Aku akan selalu memakainya.”
Namun, alasan sebenarnya Dewi Hestia menangis bukan hanya karena luka-luka Enzo, melainkan karena ketulusan hati putranya. Baginya, kalung kerang itu adalah pemberian paling berharga, bukti cinta tanpa syarat yang dimiliki Enzo untuk dirinya. Meski begitu, ia tetap memarahi Enzo karena telah membahayakan nyawanya.
Kembali ke saat ini, di puncak gunung Khayangan, Raja Iblis—Enzo—melihat ke arah Dewi Hestia yang menari bersama para dewi lainnya. Matanya tertuju pada sebuah kalung kerang yang tergantung di leher ibunya. Kalung itu. Kalung yang pernah ia buat dengan tangan kecilnya, penuh luka dan perjuangan, kini tergantung dengan anggun di antara pakaian indah Dewi Hestia.
“Jadi, ibu masih menyimpannya…” bisiknya pelan, air matanya kembali jatuh. Kalung itu bukan hanya sebuah benda. Itu adalah pengingat abadi bahwa cinta seorang anak untuk ibunya, dan sebaliknya, tidak pernah akan hilang, bahkan melintasi kematian sekalipun.
“Ibu…” katanya kembali, suaranya bergetar penuh emosi. Melihat ibunya yang bahagia, mengenakan kalung pemberiannya, adalah pemandangan paling berharga yang pernah ia saksikan.
“Ayo kita temui Dewi Hestia. Jika hanya memandang dari kejauhan, kau tak akan puas,” ucap kakek tua sambil melangkah ke arah jurang tempat para dewi menari. Suaranya terdengar tegas, namun lembut, seolah memahami keraguan yang menghantui Enzo.
Namun, Raja Iblis segera menolak, suaranya bergetar dengan campuran emosi. “Tidak! Aku tidak mau pergi mendekat ke sana!”
Kakek tua berhenti, berbalik menatapnya. “Kenapa? Bukannya selama ini kau ingin bertemu dengannya? Ini adalah waktunya. Jika kau tak melakukannya sekarang, kau mungkin tak akan pernah mendapat kesempatan lagi—sampai ajal benar-benar menjemputmu.”
Enzo menggigit bibirnya, menunduk dalam-dalam. “Cukup bagiku melihat ibu dari sini. Melihatnya tersenyum penuh kebahagiaan saja sudah membuatku tenang.” Matanya berkabut, dan suaranya merendah, hampir seperti bisikan. “Aku tidak mau dia melihat diriku yang sekarang. Aku... bukan siapa-siapa selain penjahat langit. Aku pembunuh kejam, pelaku kehancuran, dan pemimpin kegelapan. Jika dia tahu siapa aku sekarang, dia pasti akan kecewa. Sangat kecewa...”
Kakek tua diam sejenak, membiarkan kata-kata itu menggantung di udara. Ia tahu, pertarungan terbesar Raja Iblis bukanlah melawan para dewa, tetapi melawan dirinya sendiri.
“Apakah makhluk mengerikan seperti aku... masih bisa diterima?” lanjut Enzo, suaranya pecah oleh rasa bersalah yang mendalam. “Seluruh hidupku telah ternoda oleh darah, dendam, dan kebencian. Ibu... pasti tidak mengharapkan anak seperti aku.”
Kakek tua menghela napas panjang, lalu mendekat, menepuk bahu Enzo dengan lembut. “Jadi, kau akhirnya menyadarinya. Tampaknya perlahan, dirimu sudah mulai bisa melawan kebencian di dalam hatimu.”
Enzo mendongak, matanya penuh kebingungan. “Melawan kebencian?”
Kakek tua tersenyum tipis, tatapannya penuh kebijaksanaan. “Tidak semua makhluk itu harus berhasil, Enzo. Ada yang gagal—seperti kau, contohnya. Dan itu tidak apa-apa. Dunia tidak selalu adil, dan hidup memang tidak memberikan akhir yang indah untuk semua orang.”
Raja Iblis terdiam, hatinya bergetar oleh ucapan sang kakek tua. Kata-kata itu menggali lebih dalam ke dalam rasa bersalah yang telah lama ia abaikan.
“Apa maksudmu?” potong Raja Iblis, suaranya keras, menandakan kebingungan dan frustrasi yang mendalam.
Kakek tua menghela napas panjang sebelum menjawab, nadanya tenang namun penuh makna. “Maksudku adalah, jika kau tidak masuk dalam kategori makhluk yang berhasil, dan menganggap dirimu telah gagal... itu tidak apa-apa. Hidup memang seperti itu. Kadang, mau sekeras apa pun kau mencoba, kenyataan tetap tidak berpihak. Yang terpenting sekarang adalah menerimanya tanpa membiarkan rasa kecewa itu membebani mu. Jika tidak, kau hanya akan menyakiti dirimu sendiri.”
Raja Iblis mengernyit, tidak puas dengan penjelasan itu. “Aku masih belum paham!”
Kakek tua tersenyum tipis, lalu menatap Raja Iblis dengan tajam. “Baiklah, mari kita permudah. Bagaimana perasaanmu ketika kau tidak mampu melancarkan satu serangan pun kepadaku?”
Pertanyaan itu langsung menusuk harga dirinya. Raja Iblis mengepalkan tinjunya, suaranya bergetar oleh amarah yang kembali menyeruak. “Aku... marah. Aku merasa terhina. Setiap kali aku mencoba, amarahku semakin memuncak, seolah ingin meledak.”
Kakek tua mengangguk pelan, membiarkan Enzo mengingat perasaan itu. “Dan sekarang? Bagaimana perasaanmu setelah melihat Dewi Hestia di sini?”
Raja Iblis terdiam. Dadanya bergetar ketika memikirkan wajah ibunya, senyum lembutnya, dan kebahagiaan yang terpancar di tengah tarian itu. Ia menghela napas panjang, suaranya lebih lirih saat menjawab. “Jiwaku... seperti tenang. Penuh kebahagiaan yang bahkan tidak pernah kubayangkan sebelumnya.”
Senyum di wajah kakek tua semakin lebar, seolah puas dengan jawaban itu. Ia kemudian mengangkat tangannya, meletakkannya di atas kepala Enzo. Gerakan itu terasa ringan, hampir seperti sentuhan seorang ayah kepada anaknya.
Kakek tua berbicara lagi, kali ini suaranya terdengar lebih dalam, lebih lembut, namun mengandung kekuatan yang tak terbantahkan. “Enzo... dengarkan baik-baik. Kekuatan tidak akan membawamu meraih segalanya. Bahkan kekuatanmu yang besar hanya membawamu pada kehancuran dan kehampaan.”
Raja Iblis menatapnya, mata merahnya membulat, terkejut.
“Cinta... Cinta-lah yang akan membimbing mu menuju jalan yang jauh lebih baik.”
Kata-kata itu menggema di dalam pikirannya, menghantam setiap sudut hatinya yang selama ini penuh dendam dan kebencian. Raja Iblis tidak mengatakan apa-apa, hanya berdiri terpaku. Untuk pertama kalinya, ia merasakan sesuatu yang lebih kuat daripada kekuatannya sendiri yakni harapan.
Kata-kata sang kakek tua seakan-akan kembali mengguncang hatinya. Namun, keberanian untuk melangkah menjadi lebih baik masih terasa jauh. Melihat ibunya bahagia dari kejauhan sudah cukup untuknya.