NovelToon NovelToon
Pernikahan Tanpa Pilihan

Pernikahan Tanpa Pilihan

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Cinta Terlarang / Cinta Paksa
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: WikiPix

Sartika hidup dalam keterbatasan bersama suaminya, Malik, seorang pekerja serabutan dengan penghasilan tak menentu. Pertengkaran karena himpitan ekonomi dan lilitan utang mewarnai rumah tangga mereka.

Demi masa depan anaknya, Sartika tergoda oleh janji manis seorang teman lama untuk bekerja di luar negeri. Meski ditentang suami dan anaknya, ia tetap nekat pergi. Namun, sesampainya di kota asing, ia justru terjebak dalam dunia kelam yang penuh tipu daya dan nafsu.

Di tengah keputusasaan, Sartika bertemu dengan seorang pria asing yang akan mengubah hidupnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon WikiPix, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PTP Episode 11

Laras tersandung, tubuhnya hampir jatuh ke tanah. Sartika dengan sigap menahannya, meskipun napasnya sendiri sudah terengah-engah.

"Laras, kita harus terus lari," desaknya, suaranya penuh kepanikan.

"Aku sudah tidak kuat, Tik…" suara Laras bergetar, air mata mengalir di pipinya. Kakinya gemetar, wajahnya dipenuhi kelelahan dan ketakutan.

Sartika menggigit bibirnya, mendengar suara langkah kaki yang semakin dekat. Mereka tidak bisa berhenti sekarang. Tidak saat mereka hampir memiliki kesempatan untuk lolos.

"Laras, kumohon," Sartika mencengkeram bahunya erat, memaksa wanita itu menatapnya. "Kalau kau berhenti sekarang, mereka akan menangkap kita. Kau mau kembali ke sana?"

Laras menggeleng lemah, tapi tubuhnya tetap tidak mau bergerak.

Sartika memutar otaknya cepat. Ia melihat sekeliling, mencoba mencari tempat bersembunyi. Tidak jauh dari mereka, ada sebuah pohon besar dengan semak-semak lebat di bawahnya. Itu mungkin cukup untuk menyembunyikan mereka sementara.

"Oke, kalau kau tidak bisa lari, kita sembunyi dulu," bisik Sartika. Ia menarik Laras menuju semak-semak tersebut, memaksanya untuk berjongkok rendah.

Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki terdengar tepat di belakang mereka.

"Ke mana mereka pergi?!" suara seorang pria menggeram marah.

"Mereka pasti lari ke arah hutan!" sahut yang lain.

"Pisah! Cari mereka sampai dapat!"

Sartika menahan napas, tangannya mencengkeram erat jemari Laras yang juga bergetar ketakutan.

Dari celah semak-semak, mereka bisa melihat bayangan beberapa pria yang membawa senter, menyapu area dengan cahaya terang.

Sartika menahan napas lebih lama saat salah satu cahaya hampir menyentuh tempat mereka bersembunyi. Ia bisa merasakan Laras mulai gemetar lagi, hampir menangis.

Perlahan, Sartika meraih tangan Laras dan menggenggamnya erat, mencoba menenangkan.

Lalu, langkah kaki mulai menjauh.

"Lihat di sekitar sungai! Mereka mungkin ke sana!"

Beberapa detik kemudian, suara langkah kaki menghilang sepenuhnya.

Sartika menghembuskan napas panjang, merasa sedikit lega.

Ia menoleh ke Laras. "Kita harus pergi sebelum mereka kembali."

Laras mengangguk pelan, masih ketakutan, tetapi kali ini ia berusaha bangkit.

Mereka saling membantu, lalu kembali bergerak, kali ini lebih perlahan, lebih hati-hati.

Malam yang gelap menyelimuti mereka, hanya diterangi oleh sinar bulan yang samar menembus pepohonan. Mereka tidak tahu sudah seberapa jauh mereka melangkah, tapi suara langkah para pengejar sudah tidak terdengar lagi.

Setelah beberapa waktu, mereka tiba di tepi sebuah sungai kecil. Airnya mengalir jernih, mencerminkan ketenangan yang kontras dengan kekacauan yang baru saja mereka lalui.

Sartika menjatuhkan diri di tepi sungai, menarik napas dalam-dalam. "Kita… kita aman untuk sekarang," ucapnya, masih mencoba menenangkan detak jantungnya.

Laras duduk di sampingnya, wajahnya masih dipenuhi ketakutan, tetapi ada sedikit harapan di sana. "Apa kita benar-benar sudah bebas, Tik?"

Sartika menoleh, menatap mata Laras yang masih dipenuhi keraguan. "Belum sepenuhnya. Tapi kita jauh dari mereka sekarang. Kita hanya perlu terus bergerak, mencari bantuan."

Laras mengangguk pelan, meski tubuhnya masih gemetar. "Aku tidak percaya kita berhasil keluar dari sana..."

Sartika tersenyum kecil, meskipun kelelahan terasa begitu menusuk. "Aku juga tidak. Tapi kita hidup. Dan itu yang terpenting."

Mereka duduk diam sejenak, membiarkan angin malam menenangkan diri mereka.

Perjalanan masih panjang, tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka merasa memiliki harapan. Mereka tidak lagi terjebak dalam mimpi buruk itu.

Mereka akhirnya memiliki kesempatan untuk benar-benar bebas.

Sartika meraup air sungai dengan kedua tangannya, lalu mengusap wajahnya yang penuh debu dan keringat. Rasanya dingin dan menyegarkan, seolah membilas sebagian kecil ketakutan dan kelelahan yang masih melekat di tubuhnya.

Ia meneguk air itu perlahan, membiarkan kesegarannya mengalir di tenggorokannya yang kering. Setelah sekian lama bertahan dalam ketakutan dan penderitaan, bahkan seteguk air pun terasa seperti anugerah.

Laras menatapnya ragu-ragu. Sartika menyodorkan air di tangannya. "Minumlah, Laras. Kau butuh ini."

Laras menatap air itu, lalu beralih menatap Sartika. Ada keraguan di matanya, tetapi juga dorongan untuk percaya. Dengan tangan gemetar, ia ikut meraup air sungai dan meminumnya sedikit demi sedikit.

Mereka duduk di sana dalam keheningan, mendengarkan suara aliran air yang tenang.

Sartika menatap langit malam, lalu menoleh ke arah Laras. "Kita harus tetap bergerak. Tidak bisa diam di sini terlalu lama."

Laras mengangguk pelan. Meski tubuh mereka masih lemah, mereka tahu mereka tidak boleh berhenti sekarang.

Sartika menatap sekeliling dengan waspada. Hutan di sekitar mereka gelap dan sunyi, hanya diiringi suara gemericik air sungai serta nyanyian jangkrik di kejauhan. Namun, di balik ketenangan itu, ia tahu ada bahaya yang mengintai.

"Laras, kita harus tetap waspada," bisiknya. "Di hutan seperti ini, ada banyak hewan liar."

Laras menelan ludah, ketakutan kembali menghantui wajahnya. "Seperti… harimau?" suaranya gemetar.

"Bisa saja," jawab Sartika jujur. "Atau ular, serigala, mungkin juga babi hutan. Tapi kita akan baik-baik saja kalau tetap berhati-hati."

Mereka memutuskan untuk tetap dekat dengan sungai, karena air bisa menjadi penyelamat jika mereka haus atau butuh tempat membersihkan diri. Namun, mereka juga tahu bahwa sumber air sering kali menjadi tempat berkumpulnya hewan buas.

Sartika menggenggam tangan Laras erat. "Kita harus bergerak perlahan dan hindari membuat suara yang terlalu berisik. Kalau mendengar sesuatu yang aneh, kita berhenti dan bersembunyi."

Laras mengangguk cepat, meskipun jelas tubuhnya masih gemetar.

Mereka melangkah perlahan, menyusuri tepian sungai dengan hati-hati. Setiap ranting yang patah di bawah kaki mereka membuat jantung Sartika berdegup lebih kencang.

Tiba-tiba, di kejauhan, terdengar suara gemerisik dari semak-semak.

Sartika dan Laras langsung berhenti, menahan napas. Mata Sartika menyipit, mencoba melihat lebih jelas dalam kegelapan.

"Laras, jangan bergerak," bisiknya pelan.

Laras mematung, hanya bisa menatap Sartika dengan ketakutan.

Suara itu semakin dekat. Apakah itu hanya angin yang menggerakkan dedaunan? Ataukah sesuatu yang lebih berbahaya?

Sartika menggenggam sebuah ranting besar di tanah, bersiap jika ia harus melawan.

Mereka hanya bisa menunggu dalam diam, berharap bahwa apa pun yang ada di balik semak-semak itu bukanlah ancaman yang mematikan.

Setelah beberapa detik yang menegangkan, dari balik semak-semak, muncul seekor kelinci kecil berwarna coklat.

Laras hampir menangis lega, sementara Sartika menghela napas panjang, merasa sedikit konyol karena begitu tegang hanya karena seekor kelinci.

"Hanya kelinci…" gumam Laras, suaranya masih sedikit gemetar.

Sartika tersenyum kecil. "Ya. Tapi lebih baik kita tetap waspada. Bisa saja ada sesuatu yang lebih besar di luar sana."

Kelinci itu memandang mereka sejenak sebelum melompat kembali ke dalam semak-semak, menghilang ke dalam kegelapan.

Sartika menggenggam tangan Laras lagi. "Ayo, kita harus terus berjalan. Kita butuh tempat yang lebih aman untuk beristirahat."

Laras mengangguk, dan mereka kembali melangkah, kali ini dengan sedikit lebih tenang. Namun, pengalaman barusan mengingatkan mereka bahwa di hutan ini, mereka tidak pernah benar-benar sendirian.

Sartika melirik Laras yang berjalan di sampingnya dengan langkah semakin lemah. Perutnya berbunyi pelan, dan wajahnya tampak pucat.

"Kau lapar?" tanya Sartika.

Laras mengangguk ragu. "Ya… tapi tidak apa-apa. Aku bisa tahan."

Sartika tahu itu bohong. Mereka sudah berjalan cukup lama tanpa makanan yang layak, dan jika Laras terus seperti ini, ia bisa tumbang kapan saja.

Sartika menoleh ke sekitar, mencari sesuatu yang bisa dimakan. Hutan di sekitar mereka cukup lebat, tapi dengan cahaya remang-remang dari bulan, ia bisa melihat beberapa semak dengan buah kecil berwarna ungu tua.

Ia berjalan mendekat, memeriksa buah itu dengan hati-hati. "Aku pernah melihat ini sebelumnya," gumamnya. "Sepertinya aman."

Laras menatapnya dengan ragu. "Apa kau yakin?"

Sartika mengangguk. "Tidak ada pilihan lain. Tapi kita coba sedikit dulu."

Ia memetik satu buah, memasukkannya ke dalam mulut, dan mengunyah perlahan. Rasanya sedikit asam, tapi cukup segar. Ia menunggu beberapa saat untuk memastikan tidak ada reaksi aneh di tubuhnya sebelum mengambil lebih banyak.

"Rasanya aman," katanya sambil menyerahkan beberapa kepada Laras.

Laras masih ragu, tapi akhirnya mengambil satu dan memasukkannya ke dalam mulut. Saat rasa asam itu menyentuh lidahnya, ia mengerutkan dahi, tetapi tetap mengunyah dan menelan.

"Tidak buruk," katanya pelan.

Sartika tersenyum kecil. "Setidaknya cukup untuk mengisi tenaga sementara."

Mereka memakan lebih banyak buah itu sebelum melanjutkan perjalanan, berharap bisa menemukan tempat berlindung yang lebih baik, dan mungkin, sesuatu yang lebih layak untuk dimakan.

Setelah makan beberapa buah, tenaga mereka sedikit pulih, tapi Sartika tahu mereka tidak bisa terus bertahan hanya dengan itu. Mereka butuh sesuatu yang lebih mengenyangkan, atau setidaknya mencari sumber makanan lain di hutan ini.

Laras duduk di atas akar pohon besar, memeluk lututnya. Matanya masih menyiratkan kelelahan, tapi setidaknya ia tidak lagi gemetar.

"Kita harus mencari tempat berlindung sebelum hujan tiba," kata Sartika sambil memandang ke langit yang mulai berubah warna.

Laras mengangguk lemah. "Tapi… kita mau ke mana?"

Sartika menghela napas, mencoba berpikir cepat. Mereka tidak tahu di mana mereka berada, dan kembali ke jalan utama bukanlah pilihan. Jika mereka tertangkap lagi, kali ini mungkin mereka tidak akan mendapat kesempatan untuk melarikan diri.

"Kita cari tempat yang agak tersembunyi, tapi cukup dekat dengan sungai," kata Sartika. "Kalau ada air, kita bisa bertahan lebih lama."

Laras tidak membantah. Dengan langkah tertatih, mereka mulai menyusuri tepi sungai, berharap menemukan sesuatu yang bisa digunakan sebagai tempat perlindungan.

Setelah berjalan beberapa menit, mereka menemukan sebuah pohon besar dengan akar-akar yang menjalar, membentuk semacam rongga kecil di bawahnya.

"Tempat ini cukup aman untuk malam ini," ujar Sartika sambil memeriksa sekitar. "Kita bisa istirahat di sini."

Laras mengangguk, lalu perlahan duduk bersandar di akar pohon. Matanya mulai sayu, kelelahan benar-benar menguasainya.

Sartika duduk di sampingnya, tapi pikirannya masih berputar. Mereka butuh lebih dari sekadar tempat bersembunyi. Mereka harus mencari cara untuk keluar dari hutan ini tanpa kembali ke jalur yang bisa mempertemukan mereka dengan orang-orang Sri.

Angin malam mulai berhembus, membuat Sartika merapatkan tangannya di sekitar tubuhnya untuk menghangatkan diri.

Laras akhirnya tertidur, tapi Sartika tetap terjaga. Ia tahu malam ini mungkin akan panjang.

Dan ia harus tetap waspada.

1
atik
lanjut thor, semangat
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!