"Apa kamu sudah menemukan informasi tentangnya, Jackson?"
"Sudah, Kak. Aku yakin dia adalah dady kita."
Dua bocah laki-laki berusia 7 tahun itu kini menatap ke arah layar komputer mereka bersama-sama. Mereka melihat foto seorang Pria dengan tatapan datar dan dingin. Namun, dia memiliki wajah yang sangat tampan rupawan.
"Jarret, Jackson apa yang kalian lakukan?" Tiba-tiba suara seseorang membuat kedua bocah itu tersentak kaget.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon emmarisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Meminta Ijin
Waktu berlalu sangat cepat. Ben selalu memantau perkembangan kondisi Giani. Namun, sepertinya wanita itu tidak pernah terlihat sakit atau apapun yang menunjukkan gejala orang hamil. Ben berpikir mungkin serumnya benar-benar gagal. Dia menarik Paolo untuk tidak lagi mengikuti Giani.
Lain halnya dengan apa yang dipikirkan oleh Ben, Giani saat ini sangat resah karena ketakutannya semakin menjadi. Selama 3 bulan sejak kejadian itu dirinya tidak mengalami menstruasi.
"Bagaimana kalau papa sampai tahu, dia pasti akan sangat kecewa dan marah besar padaku," gumam Giani lirih.
Meskipun dia mengalami gejala morning sickness, tapi itu hanya terjadi benar-benar di pagi hari dan ketika dia berada di laboratorium, Dia akan kembali bersemangat dan terlihat sehat. Dalam kesehariannya, Giani selalu memakai baju yang memang oversize. perut bawahnya mulai menyembul jika dia memakai pakaian yang ketat. Bahkan sekarang Giani jarang memakai celana Jeans. Dia memilih membeli beberapa celana berbahan jersey.
"Bagaimana ini?" Giani menggigit bibir bawahnya resah. Tiba-tiba ponsel Giani menyala, ada pemberitahuan dari E-mailnya. Wajahnya seketika berbinar. Ini adalah jawaban dari segala doanya.
"Ah, ini benar-benar kebetulan yang sangat bagus. Aku bisa memakai ini sebagai alasan. Papa pasti mau mengerti."
Sejak dipanggil oleh Ramos, tiga bulan yang lalu, Erick kini mulai jarang berbicara dengan Giani. Namun, pria itu sesekali masih mengawasi Giani dari tempatnya.
Saat jam makan siang, Giani pergi ke ruangan papanya. Dia mengetuk pintu sesaat, sampai suara papanya terdengar mempersilahkannya masuk.
"Apa papa sibuk?"
"Ya, Sayang, papa harus segera menyerahkan berkas ini pada tuan Benjamin."
"Aku hanya akan bicara 5 menit saja, Pah."
"Baiklah, katakan ada apa?" Gilbert menatap putrinya teduh.
"Aku akan melanjutkan studiku di Sidney."
"Apa kau bilang? apa universitas di sini buruk? kenapa mengambil study jauh-jauh ke sana?"
"Please, Pah. Aku benar-benar ingin melanjutkan studiku di sana," ujar Giani dengan tatapan memelas. Gilbert mendesah panjang.
"Nanti kita bicarakan lagi di rumah. Papa masih ada urusan dengan tuan Benjamin."
Gilbert segera pergi dari ruangannya meninggalkan Giani sendirian. Giani menatap punggung papanya dengan tatapan sendu.
"Maafkan aku, Pah," lirih Giani, setitik air mata menetes membasahi pipi gadis itu.
Gilbert memasuki ruangan Benjamin dengan wajah yang kalut. Giani adalah putri satu-satunya, dia bukan tak ingin Giani berkembang, tapi Gilbert khawatir akan ada yang menjahati putrinya saat ia berada jauh darinya.
"Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?" tanya Ben dengan suara beratnya.
"Ah, tidak ada, Tuan. Maafkan aku sedikit melamun."
Ben dapat menangkap raut kesedihan di wajah Gilbert. Apa jangan-jangan terjadi sesuatu dengan putrinya. Atau Giani sudah menceritakan kejadian 3 bulan yang lalu?
"Katakan saja kalau kau ada masalah."
"Tidak, ini bukan masalah di sini. Aku hanya sedang ada masalah dengan putriku. Dia ingin melanjutkan studinya di Sidney, tapi aku berat melepaskannya. Bagaimana jika ada yang menjahatinya, apalagi sekarang kasus pemerkosaan sedang marak terjadi."
Ben baru tahu, keresahan seorang ayah yang memiliki anak perempuan. "Bagaimana jika kau melarangnya pergi?"
"Dia akan mendiamkanku sampai aku mengijinkannya. Ah, maaf, Tuan. Saya tidak bermaksud untuk curhat pada anda."
"Santai saja," ujar Ben dengan nada datar. Dia menyeringai tipis, Gilbert malah justru ngeri melihat seringai tuannya itu.
***
Sementara itu, Giani ke kantin saat jam makan siang tinggal 15 menit. Dia sudah mengajukan ijin pulang lebih awal.
Giani memilih semua menu daging. Entah mengapa akhir-akhir ini air liurnya terasa semakin melimpah. Sampai-sampai Giani selalu membawa tisu dan kantong plastik kemana-mana.
Giani tak berani periksa ke dokter kandungan. Ia khawatir akan ada yang memergokinya. Dia hanya secara sembunyi-sembunyi mengkonsumsi tablet penambah darah dan asam folat. jika di tanya dari mana dia tahu, dia tahu dari go*gle.
Tanpa disadari oleh Giani, naluri keibuannya mulai muncul. Bahkan dadanya pun kini semakin mengembang.
Seusai makan, Giani mulai melajukan mobilnya membelah jalanan kota Melboune. Dirinya mampir ke apotik untuk membeli tespek dan susu untuk ibu hamil. Dia mungkin minim ilmu tentang kehamilan, tapi bukan berati dia bodoh. Giani adalah tipe wanita yang mau berusaha, Seperti saat ini, dia memasukkan semua barang-barang yang dia beli dari apotik tadi ke dalam kamarnya.
Setelah memasukkan semua benda-benda tadi ke dalam tempat yang aman, Giani merebahkan tubuhnya dan tak lama kemudian ia sudah terlelap.
Akhir-akhir ini Giani selalu merasa kepayahan dengan kondisi tubuhnya sendiri. Dia sering merasa mudah lelah dan selalu ingin tidur. Giani mulai merasakan perubahan itu sejak dia tidak datang bulan selama 2 bulan.
Giani tak tahu sudah sejak kapan dia tertidur. Ia terbangun saat merasakan sentuhan lain di keningnya.
"Apa kau sakit?"
"Tidak, Papa. Aku hanya lelah."
"Papa semakin tidak yakin melepaskanmu pergi sejauh itu. Apalagi papa tidak ada waktu untuk menjengukmu karena kerjaan papa tidak bisa ditinggalkan."
"Papa lebih menyayangi pekerjaan papa daripada aku?" tanya Giani dengan mata berkaca-kaca.
"Bukan begitu, Sayang."
"Please, Pah. Aku mau berkembang. Aku mau menjadi profesor sama seperti papa." Gilbert sesaat terdiam dan lalu mengangguk lemah.
"Baiklah, lakukan apapun yang kau mau, tapi ingat untuk selalu mengirimi kabar pada papa."
Giani mengangguk dan lalu memeluk papanya. Sekuat mungkin dia menahan air mata yang sudah berdesakan di pelupuk matanya.
"Terima kasih, Pah." Gilbert segera keluar dari kamar putrinya. Dia pun merasa sangat sedih harus berpisah dengan putri semata wayangnya, tapi pekerjaannya mengharuskan dia untuk tetap tinggal di Melbourne.
Profesor Gilbert sudah dipercaya Benjamin untuk menjadi penanggungjawab laboratorium medis milik pria yang terkenal sangat kejam itu. Namun, sejauh ini beruntungnya Gilbert tidak pernah merasakan kekejaman Benjamin.
Setelah papanya menghilang dari pandangan, Giani menelungkup di atas ranjangnya dan menangis. Dia juga sebenarnya tak ingin jauh dari papanya. Bagaimana pun juga Papanya adalah satu-satunya keluarga yang Giani miliki. Andaikan ibunya masih hidup. Mungkin sekarang Giani akan berkeluh kesah pada ibunya mengenai apa yang dia alami dan apa yang dia rasakan sekarang.
Giani bangkit dan mengambil satu alat tes kehamilan yang tadi dibelinya di apotik. Dia akan mencobanya sekarang.
Sesaat saat alat itu terkena kencingnya, Giani terus mengamati alat itu hingga saat dua garis biru tergambar jelas Giani menutup matanya. Meskipun sejak awal dia sudah mengira jika dirinya hamil, tapi tetap saja kenyataan itu sangatlah menyakitkan. Terlebih lagi, Giani tak tahu siapa yang telah menghamili dirinya.