Ketika seorang perempuan tidak ingin mempermainkan sebuah pernikahan yang baru seumur jagung, Humairah rela berbagi suami demi mempertahankan seorang pria yang ia cintai agar tetap berada dalam mahligai yang sama.
Aisyah Humairah menerima perjodohan demi balas budi pada orangtua angkatnya, namun siapa sangka pria yang mampu membuatnya jatuh cinta dalam waktu singkat itu ternyata tidaklah seperti dalam bayangannya.
Alif Zayyan Pratama, menerima Humairah sebagai istri pertamanya demi orangtua meski tidak cinta, obsesi terhadap kekasihnya tidak bisa dihilangkan begitu saja hingga ia memberanikan diri mengambil keputusan untuk menikahi Siti Aisyah sebagai istri keduanya.
Akankah Alif adil pada dua
Aisyahnya? atau mungkin diantara dua Aisyah, siapa yang tidak bisa bertahan dalam hubungan segitiga itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon wheena the pooh, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Aku Aisyah, aku rasa kita perlu bicara bertiga"
Kalimat itu membuat Humairah tersentak dari lamunannya, ia beralih menatap suaminya yang berdiri di samping wanita itu. Selain mengangguk tidak ada cara lain bagi Humairah, ia pun juga tidak ingin lari dari kenyataan mereka saat ini.
"Baik nona," jawab Humairah menganggukkan kepala perlahan.
Humairah berjalan mengiringi langkah Alif dan Aisyah memasuki ruangan, ia hanya tersenyum getir melihat suaminya dan wanita itu bergandengan tangan tidak saling melepas sejak tadi meski di hadapannya sekalipun.
"Humairah, duduklah"
Alif berbasa basi, ia seperti ingin maju menghampiri istrinya namun tangannya merasa tertahan oleh genggaman tangan sang kekasih yang lebih rapat dari sebelumnya.
"Baik pak"
"Tidak perlu kaku, kita bicara bukan sebagai orang asing di kantor ini melainkan sebagai orang yang akan menentukan masa depan perkawinan kita," ucap Alif pada Humairah.
Airmata yang menggenangpun sekuat tenaga Humairah tahan agar tidak jatuh.
"Kau sudah lihat bukan? Kami pasangan kekasih, saling mencintai. Bisakah kau mengizinkan pernikahan yang memang seharusnya menjadi milikku, namun kau lebih beruntung mendapatkannya duluan," ucap Syasya panggilan akrab Aisyah kepada Humairah yang duduk mematung yang tampak sedang menyiapkan hatinya oleh kenyataan obrolan yang akan ia hadapi saat ini.
Humairah masih diam, sungguh ia bingung terlebih ia gugup saat berhadapan dengan wanita cantik di hadapannya ini.
"Aku mohon Humairah," ucap Alif lagi, membuat Humairah menoleh ke arahnya dengan tatapan luka dihari ketiga puluh pernikahannya.
"Kau bisa membantu kami untuk bisa bersama dalam sebuah pernikahan, aku yakin kau wanita yang baik sesuai dengan tampilanmu berhijab, aku yakin pula kau bisa menerimaku sebagai madu meski seharusnya akulah satu-satunya wanita milik Alif, tapi tidak apa demi sebuah restu untuk menikah aku rela berbagi denganmu Humairah"
Kata demi kata menjadi sebuah kalimat menohok bagi pendengaran Humairah saat ini, bagaimana wanita itu dengan mudahnya berkata demikian, sebuah keputusan yang amat harus dipikirkan dengan hati dan pikiran yang luas namun ia seperti terdesak membuat sebuah pilihan saat ini terlebih obrolan dengan Alif tadi malam yang menyinggung soal perpisahan dan tetap memilih wanita impiannya padahal mereka baru saja menikah bulan lalu.
Tetes bening itu akhirnya jatuh juga di pipi mulus nan cantik milik Humairah, ia hanya bisa mengembangkan sebuah senyuman tipis, bibirnya bergetar ingin mengeluarkan pendapat namun seperti tertahan setelah mendapat sebuah tatapan mematikan dari kekasih Alif tepat menusuk jantungnya.
"Maafkan aku mas Alif dan nona Aisyah, bisakah kalian memberiku sedikit waktu lagi untukku menata hati disatu bulan pernikahan ini, menikah dengan mas Alif saja masih terasa seperti mimpi hingga sekarang, namun beberapa hari ini aku harus menerima kenyataan baru yang sama sekali diluar dugaanku, aku belum bisa menjawabnya"
Menarik napas sejenak lalu Humairah melanjutkan, "Ini pernikahan, ikatan suci di hadapan orangtua dan Tuhan. Tidak seharusnya kita mempermaikan kata sakral itu semudah yang kalian ucapkan, aku mengerti tentang kalian yang saling mencintai, ini bukan tentang cinta saja namun juga tentang masa depan kita. Keputusan untuk siap dimadu tidaklah muda nona, ada banyak konsekuensi yang akan kita hadapi nanti, ini pernikahan bukan sebuah permainan mas Alif."
"Aku juga harus memikirkan hatiku, masa depanku jika benar kita akan terikat bertiga dalam rumah tangga, namun perpisahan bukan juga solusi yang baik disaat aku telah resmi masuk dalam ikatan ini apalagi baru sebulan lalu kita menikah, lagi-lagi ku ingatkan mas Alif ini pernikahan bukan pacaran yang bisa saja kita putus kapan saja jika sudah tidak ingin bersama, berilah aku sedikit waktu untuk menentukan pilihanku"
Alif tampak frustasi, ia tidak berpikir wanita sepolos Humairah bisa juga berdebat seperti sekarang, ia kira mudah untuk membujuk istri pertamanya itu untuk ia segera menikahi Aisyah, Alif bisa saja menikah siri jika ia mau dan tidak perlu melakukan sejauh ini namun ia tidak mau sebagai lelaki ia menginginkan pernikahan impian bersama Aisyah bisa terwujud tanpa disembunyikan seperti pernikahan siri kebanyakan orang.
"Kau pandai juga dalam berbasa basi Humairah, baiklah mulailah berpikir dari sekarang, aku ingin pernikahan kami berlangsung tepat dihari jadi kami yang kedua tahun minggu depan. Aku sangat berterimakasih jika kau mau mengizinkan Alif menikah lagi, aku rasa kita akan menjadi madu yang baik nantinya"
Aisyah menjatuhkan kepalanya bersandar di dada bidang milik suami Humairah itu dengan sebuah senyuman, membuat Humairah ingin segera berlalu dari kemesraan mereka.
*****
Pada sepertiga malam ini, Humairah tampak sedang tergugu menangis sambil menadahkan kedua tangannya berdoa pada sang maha pencipta segala perasaan yang timbul dalam dadanya saat ini, cahaya yang temaram membuat hati dan perasaannya serta dingin yang dihasilkan AC kamarnya kian menusuk hingga ketulang.
Lama ia termangu setelah menjalankan dua rakaat demi meminta petunjuk bagi hatinya yang terasa pecah berkeping-keping memikirkan nasib pernikahannya saat ini.
Entah seolah sebuah petunjuk atau bukan, Humairah mulai berpikir jika ia memilih mengakhiri pernikahan tidakkah ia akan menyakiti banyak hati, ayah ibunya akan malu jika ia pulang sebagai janda yang baru menikah sebulan saja tentu akan malu satu kampung jika orang tahu, bagaimana pula mama Rika yang amat baik dan menaruh harapan banyak padanya sebagai menantu pilihan.
Belum lagi hatinya yang telah jatuh pada sosok Alif sebagai lelaki idaman semua wanita, meski begitu Alif memperlakukannya dengan baik selama menikah.
"Bukankah mas Alif berjanji akan adil nantinya?" gumam Humairah setelah kembali berbaring di ranjangnya.
"Aku tidak ingin pula menjadi janda semuda ini, aku mengharapkan pernikahan satu kali dalam hidupku, mungkin memang sudah takdirnya seperti ini. Ya Allah mantapkan hatiku jika memang sudah siap untuk dimadu diusiaku sekarang, menikah dengan perjodohan singkat aku tidak mau pula umur pernikahan ini ikut singkat jika aku salah dalam memilih keputusan"
"Bukankah ada banyak kisah poligami yang berhasil dijalankan dengan baik, jika aku pandai mengelola perasaanku mungkin semuanya akan berjalan lancar"
Lagi-lagi Humairah bicara pada angin, sebelum ia terlelap kembali pada sebuah mimpi yang membawanya hilang dibawah alam tidur seorang diri sebab malam ini Alif tidak pulang.
******
Seminggu kemudian, Alif yang sedang bersiap untuk fitting terakhir baju akad nikah yang akan ia kenakan esok hari.
Ia memeluk Humairah yang sedang mencuci piring, Humairah tersenyum mendapat sikap manis suaminya. Alif membalikkan tubuh Humairah agar berhadapan dengannya.
"Aku akan pergi, terimakasih banyak Humairah. Kau memang istri yang baik, kau bahkan mampu membujuk mama yang sekeras batu selama ini menentang niat kami menikah, aku bahagia Humairah, percaya padaku aku akan adil padamu nanti"
Alif menatap dalam manik istrinya itu dengan senyum sumringah, ia kecup kening Humairah dengan lama sebagai tanda ia sangat berterimakasih atas akan terwujudnya pernikahan impiannya bersama Aisyah.
"Iya mas, aku bahagia bila kau bahagia. Berhati-hatilah mengemudi, calon pengantin dilarang mengebut di jalan, semoga tidak ada kendala sampai besok"
"Amin.... Terimakasih sayang"
Alif tidak sadar bahwa ia tengah memanggil Humairah dengan sebutan sayang.
"Aku berangkat dulu, kau baik-baik di sini"
Humairah hanya mengangguk saja, namun baru beberapa langkah Alif meninggalkannya tiba-tiba ia merasa terhuyung saat pria itu kembali ke belakang memeluknya erat sekali.
"Mas Alif?"
Alif tidak menjawab, ia pun bingung kenapa ia begitu ingin memeluk Humairah dengan lama saat ini, Alif melepaskan tubuh istrinya namun meraih wajah Humairah untuk ia kecup bibirnya sangat lama, hanya mengecup namun mampu membuat Humairah kekurangan oksigen.
Alif melepasnya seraya terkekeh, "Bernapaslah dengan baik, aku akan pergi sekarang."
Humairah lagi-lagi hanya mengangguk saja tanpa berkata-kata. Senyumnya terbit saat punggung Alif kian menghilang di balik pintu.
"Semoga urusanmu lancar mas"
Keesokan harinya Humairah membantu Alif merapikan pakaian akad yang ia kenakan saat ini, "Kau sudah siap? Aku berdoa agar kau tidak salah dalam mengucapkan nama nona Aisyah nanti mas, aku takut kau menyebut Aisyah Humairah padahal yang benar adalah Siti Aisyah, jangan kebalik ya," canda Humairah sambil menepuk-nepuk dada suaminya tanda selesai menyematkan sebuah pin sebagai pemanis dada baju akad Alif.
Alif terkekeh, "Iya, aku bahkan lupa bahwa aku menikahi dua Aisyah dalam hidupku."
Humairah tersenyum, "Baiklah, kau sudah tampan dan ready untuk keluar."
"Terimakasih Humairah"
Istrinya kembali hanya mengangguk saja, sampai Alif keluar dari kamar hotel tempat mereka menyelenggarakan akad nikah sore itu.
Humairah meneteskan airmata, ia sungguh pandai menipu diri. Tidak ingin berlarut lama dalam kesedihan, ia memutuskan untuk masuk ke kamar sebelahnya dimana Aisyah tengah di dandani saat ini.
"Oh kebetulan sekali kau kemari Humairah, aku ingin kau yang memoles wajahku khusus akad nikah ini"
Humairah terkejut, ia mendekati calon madunya yang beberapa orang MUA sewaannya menjadi terheran-heran.
"Kau bisa make up wajahku khusus resepsi nanti malam saja, untuk akad aku ingin Humairah yang memolesnya," ucap Aisyah tiba-tiba.
"Aku tahu hasil make up mu bagus Humairah, aku melihat beberapa di akun sosial mediamu, aku ingin lihat apa kau benar-benar ikhlas menjadi maduku tergambar dari hasil cantik tidaknya wajahku setelah kau rias nanti"
Humairah tertegun, ia tidak mengira bahwa Aisyah mengetahui banyak tentangnya yang bisa merias wajah, karena sebelum menikah Humairah pernah mengikuti kursus make up dan sempat bekerja sampingan sambil kuliah menjadi MUA profesional, namun sayang Humairah tidak sempat menekuni pekerjaan itu setelah ia magang di kantor Alif.
"Baiklah jika kau memintanya," jawab Humairah yang segera mengambil posisi dengan memakai semua alat wanita yang menjadi MUA sewaan Aisyah yang masih menatap mereka berdua dengan heran.
"Cantik, aku suka hasil make up mu," ucap Aisyah.
"Iya karena aku ikhlas kau menjadi maduku, jika tidak mungkin sudah ku rusak wajahmu"
Aisyah menatap Humairah, "Aku hanya bercanda, aku senang kau suka nona Aisyah. Baiklah jangan biarkan calon mempelaimu menunggumu lama, segeralah bersiap aku akan keluar dulu."
Humairah tidak menunggu tanggapan Aisyah, ia keluar begitu saja, langkahnya terhenti saat bertemu pandang dengan lelaki paruh baya yang memakai jas mahal disisipi pin berbentuk peniti di dadanya.
"Tuan Imran, apa tuan ingin menemui nona Aisyah?"
"Aku tidak akan ikut campur urusan kalian, kalian telah dewasa aku harap ini keputusan yang paling baik diantara kalian bertiga"
Humairah kembali mengangguk, "Insyaallah tuan, aku ikhlas berbagi dengan putri tuan Imran. Mohon doa untuk kebaikan kami dimasa akan datang."
"Kau perempuan baik nak Humairah, senang bisa berkenalan denganmu"
Humairah mengangguk lagi lalu ia pamit pergi, lama tuan Imran menatap punggung Humairah yang kian menjauh, matanya berkaca-kaca.
"Matanya mirip dengan mendiang istriku, mata nak Humairah terasa tidak asing bagiku. Perempuan kuat dan tegar, kasihan dia"
Humairah memeluk mertuanya yang tidak berhenti menangis sejak acara akad dimulai.
"Sayang, terbuat dari apa hatimu? Kenapa kau bisa seperti ini Humairah, mama tidak rela ini menimpamu, mama merasa bersalah pada Aini dan Ihsan sudah mengambil putrinya hanya untuk terluka seperti ini"
"Aku bahagia bila mas Alif bahagia ma, seperti inilah seharusnya cinta. Aku belajar mengesampingkan ego untuk tidak memiliki mas Alif seutuhnya namun ada wanita lain yang juga berhak untuk itu. Mama jangan menangis lagi, aku sudah lebih siap sekarang semuanya butuh waktu saja"
Mama Rika menatap Humairah dengan kesal bagaimana bisa menantunya itu berkata dengan mudah.
"Mama doakan saja kami bisa akur bertiga, aku juga sudah banyak membaca dan belajar dari pengalaman kisah poligami yang ku baca dari berbagai artikel, aku sudah lebih menerima keadaan ini, tidak semua poligami itu buruk, mungkin Allah menyuruhku untuk belajar menjadi lebih sabar lagi dari sebelumnya, lebih dewasa lagi, mohon doa mama"
"Oh sayang" mama Rika kehilangan kata-kata, ia hanya bisa kembali tergugu menangis sambil memeluk Humairah.
Sampai Humairah merasa panas matanya, lalu jatuhlah airmata yang sejak tadi ia tahan setelah Alif berhasil melafalkan akad dengan baik, dengan begitu resmi sudah Humairah masuk dalam ranah tema poligami yang tidak semua wanita siap untuk satu kata itu.
"Aku bahagia kau bahagia mas Alif, semoga kau memenuhi janjimu untuk adil padaku yang mengharap sedikit saja balasan cinta darimu," gumam Humairah dalam hati, ia menatap Alif dan Aisyah bertukar cincin di hadapan para tamu.
Humairah mengembangkan senyumnya saat Alif menoleh padanya, "Aku mencintaimu mas Alif, berbahagialah seperti apa yang kau ingikan selama ini"
Kembali Humairah mengatakannya dalam hati, hati yang seakan telah patah dihantam sebuah batu besar terasa menghimpit dada, hati yang ia siapkan untuk kuat sekeras batu karang demi tetap berjalannya biduk rumah tangga bersama Alif Zayyan Pratama, pria yang membuatnya jatuh cinta dalam sekejap mata.
Hati yang Humairah siapkan untuk menutupi perasaannya, yaitu dengan menipu diri.